Posted in

Lisan Bertuah, Dendang dari Ujung Muara

Zahra Arifa

Sastra Indonesia B 2022

Senja menghias indah di langit dengan warna jingga yang lembut di pinggiran Sungai Deli. Aliran air berdesir tenang, membawa serta daun-daun kering dan kicauan suara-suara burung yang kembali ke sarang. Asrinya alam membawa seseorang ke tepian sungai, tepat di bawah pohon ketapang yang tua, duduk seorang pemuda bernama Amir, menghadap aliran air sambil memegang buku catatan dan pena yang mulai kehabisan tinta. Suara desir angin dan bau tanah lembap melengkapi suasana sekitar dan menjadi irama latar bagi pikirannya yang penuh kata-kata.

“Abang masih menulis tentang cerita kampung kita?” suara lembut Dina, adik Amir, memecah kesunyian. Gadis kecil itu datang membawa segelas air dan beberapa potong kue bingka ambon yang sengaja dibawa dari rumah untuk dimakan bersama abangnya disana.

Amir mengangguk sambil tersenyum. “Iya, Dik. Aku ingin semua orang tahu kalau Sungai Deli ini bukan hanya aliran air, tapi juga tempat lahirnya kisah dan makna,” jelas Amir kepada adiknya sambil memakan kue.

Dina duduk di sebelahnya, menatap sungai. “Tapi bang, kawan-kawan di sekolah sering bilang, kalau di Sungai Deli sekarang kotor. Nggak banyak yang suka datang ke sini,” ucap Dina mengadu kepada abangnya.

Amir menatap aliran yang mulai surut. “Itulah sebabnya kita harus menulis dan memberitahu orang-orang melalui tulisan kita, Dina. Supaya orang ingat, dulu sungai ini adalah nadi kehidupan orang Melayu Deli. Tempat orang mandi, mencuci, berdendang, dan bercerita. Jangan sampai semua itu hilang.” Tutur Amir kepada dina yang menyimak dengan seksama.

Malam itu, setelah azan maghrib berkumandang dari surau kecil di seberang sungai, Amir dan Dina berjalan menuju rumah Pak Hasan. Bangunan rumah dari kayu berpanggung itu berdiri kokoh dengan ornamen ukiran-ukiran khas Melayu. Di teras rumah, Siti yaitu sahabat Amir, sudah duduk sambil memetik alat musik gambus. Petikannya mengalun lembut, seolah mengiringi napas malam.

“Pak Hasan sedang duduk diruang tamu beliau masih menyusun naskah cerita lama,” kata Siti pelan sambil tersenyum, “Katanya, sebelum cerita-cerita itu benar-benar hilang dari ingatan, beliau ingin menitipkannya pada generasi kita.”

Amir mengangguk paham. “Kita harus bantu beliau.” Ucap Amir sambil bersila duduk diseberang Siti bersama adiknya.

Tidak lama kemudian, Pak Hasan keluar dari dalam rumah membawa gulungan kertas yang terlihat agak usang. Wajahnya yang keriput dihiasi senyum memancarkan kedamaian. “Kalian datang tepat waktu. Malam ini, aku ingin berkisah tentang cerita lama ‘Dendang dari Ujung Muara’. Cerita ini sudah jarang disampaikan.” Ucap Pak Hasan kepada mereka bertiga.

Mereka pun duduk melingkar menghadap Pak Hasan seperti menunggu beliau bercerita. Pak Hasan, lelaki tua berjanggut putih dan berkain sarung batik usang, tersenyum lembut. Siti duduk di sebelah Amir, membawa buku sketsa di pangkuannya, sementara Dina, adik Amir yang ceria, bersandar di tiang rumah.

“Baiklah, anak-anak. Kali ini, aku akan menceritakan tentang Putri Lela Mayangsari, seorang putri cantik yang bukan hanya jelita paras, tapi kuat jiwa dan hatinya.”

“Apa yang membuatnya istimewa?” tanya Dina, matanya membesar.

“Putri Lela Mayangsari memiliki paras yang begitu cantik sehingga membuat banyak raja dari negeri seberang ingin datang dan meminangnya. Namun, ia memiliki satu syarat ‘siapapun yang ingin menikahinya harus mampu melewati ujian yang sangat sulit’.” ujar Pak Hasan sambil menatap ke arah pohon ketapang di halaman.

Siti memiringkan kepala. “Ujian apa itu?”

“Ujiannya adalah menaklukkan seekor ular raksasa yang menjaga taman bunga terindah di ujung muara kerajaan. Banyak yang mencoba, tapi semuanya gagal dan kembali dengan tangan hampa.”

Kisah dimulai ….

Di negeri yang jauh, di pinggiran Sungai Deli, tinggallah seorang pemuda bernama Iskandar Abidin. Ia adalah anak dari penjaga hutan dan memiliki kemampuan yang unik ia bisa berbicara dengan hewan. Sejak kecil, ia belajar memahami suara angin dan nyanyian burung.

Suatu hari, Iskandar mendengar kabar bahwa Putri Mayangsari, sang putri dari Kerajaan Bunga Serumpun, telah diculik oleh seekor ular raksasa. Taman bunga kerajaan yang berada di ujung muara kini diselubungi kabut gelap, dan rakyat jatuh dalam kesedihan.

Iskandar memutuskan untuk berangkat. Ia berjalan melintasi hutan lebat, melewati rawa, dan mendaki bukit. Di perjalanan, ia bertemu seekor burung hantu tua bernama Lelara.

“Aku tahu jalan ke ujung muara, tapi kau harus berhati-hati. Ular itu bukan seperti ular biasa,”kata Lelara dengan suara serak.

Di tengah perjalanan, mereka bertemu seekor harimau besar bernama Tuah. Harimau itu awalnya mengaum marah, tapi Iskandar berhasil menenangkannya dan menceritakan tujuannya.

“Kalau kau datang untuk menyelamatkan sang putri, aku akan ikut. Tapi jangan kau lukai ular itu,” ucap Tuah.

Mereka pun bertiga menuju ujung muara. Di tengah kabut lebat, ular raksasa muncul, sisiknya memancarkan warna kilau hijau kehitaman.

“Kau datang untuk melawanku?” desis ular.

“Aku datang untuk menyelamatkan Putri Mayangsari, tapi bukan dengan kekerasan,” jawab Iskandar.

Ular itu terdiam. Lama kemudian, ia berkata, “Aku dikutuk. Dulu aku adalah pangeran yang tamak. Aku ingin memiliki semua bunga di taman ujung muara ini. Kutukan ini mengajariku kesepian.”

Iskandar mendekat. “Mungkin sudah waktunya kau diampuni. Jika kau membantu kami, mungkin kutukanmu akan terangkat.”

-Tamat-

Amir terdiam setelah mendengarkan kisah yang diceritakan oleh Pak Hasan, lalu berseru, “Bagaimana kalau kita membuat cerita sendiri, berdasarkan kisah Putri Lela Mayangsari? Kita bisa membuat versi kita sendiri!”

“Aku setuju sama ide itu!” ujar Siti, matanya bersinar. “Kita bisa membuat karakter baru.”

Pak Hasan mengangguk pelan. “Setiap cerita mengandung nilai. ada pesan didalam cerita yang kalian buat supaya cerita kalian tidak cuma dibaca, tapi juga memberikan pengalaman baru.”

Mereka pun mulai menyusun kisah baru….

Angin sore yang membawa aroma khas dari tanah basah berembus lembut. Di antara desiran air Sungai Deli yang tenang, suara Pak Hasan masih menggema dalam benak Amir. Malam itu setelah mendengar dongeng, mereka pulang membawa semangat yang baru. Namun dalam hati Amir, terbit satu tekad kisah-kisah rakyat ini harus dijaga, tidak boleh hilang bersama arus sungai yang terus mengalir ke muara.

Keesokan harinya, Amir duduk di teras rumahnya. Kertas-kertas berserakan, pulpen di tangan tak berhenti menari. Siti datang membawa setumpuk kertas dengan sketsa gambar. “Aku menggambar tokoh-tokoh dari cerita kita malam itu,” katanya riang.

Amir mengangguk. “Bagaimana kalau kita buat kumpulan cerita rakyat Melayu Deli, dan kita masukkan karya kita juga? Nanti kiita bisa masukkan ke dalam bentuk digital. Pakai bahasa yang mudah dimengerti anak-anak.”

Siti setuju. “Tapi kita harus menyusun ulang cerita-cerita dari Pak Hasan. Banyak yang belum pernah ditulis.”

Dina yang menguping dari balik jendela ikut berseru, “Ajak Pak Hasan lagi, Bang!”

Hari itu juga mereka mengunjungi Pak Hasan kembali. Lelaki tua itu sedang duduk di bawah pohon jambu sambil menatap sungai.

“Pak, kami ingin membuat buku digital. Kumpulan cerita Melayu Deli. Boleh kami dengar lagi cerita-cerita dari masa kecilmu?” tanya Amir.

Pak Hasan tersenyum. “Wah, kalian memang anak-anak hebat. Cerita itu bukan cuma punya saya, tapi punya kita semua. Ayo kita sama-sama lestarikan lisan bertuah ini.”

Dan mulailah hari-hari dimana mereka sibuk mendengar berbagai kisah dari Pak Hasan. Setiap sore, mereka duduk mendengarkan Pak Hasan. Tentang Bujang Jambul, tentang Hantu Bidai, tentang asal usul Kampung Keling. Cerita-cerita itu ditulis ulang, direkam, dilukis, dan diolah dalam bentuk digital oleh Amir dan Siti.

Amir, dengan bantuan Siti yang juga pintar menggunakan desain digital, mulai membuat situs kecil. Mereka menyebutnya “Dendang Sungai” platform yang mereka isi dengan kisah-kisah Melayu Deli dan bisa diakses siapa saja.

“Kita tidak hanya menuliskan cerita,” kata Amir, “kita juga harus merekam suara Pak Hasan menceritakannya, agar lisan itu tidak padam.”

Mereka mengajak anak-anak kampung membaca ulang cerita-cerita itu dan merekamnya. Siti membuat ilustrasi dari tokoh-tokoh cerita rakyat. Dina mengumpulkan suara-suara alam gemericik sungai, burung murai, suara beduk magrib, untuk mengiringi dan melengkapi isi cerita.

Tak lama, kumpulan cerita mereka mulai dikenal. Sekolah-sekolah dasar di sekitar mulai memutar cerita-cerita itu di kelas. 

Satu malam, ketika hujan deras mengguyur desa mereka, Sungai Deli meluap. Beberapa rumah terendam, termasuk rumah Pak Hasan. Mereka semua mengungsi ke balai desa.

Namun yang paling membuat Amir cemas adalah buku catatan tua milik Pak Hasan yang berisi coretan-coretan cerita rakyat. Bersama Siti, ia kembali ke rumah Pak Hasan yang mulai surut airnya.

“Buku itu harus kita selamatkan,” kata Amir. Di dalam rumah yang masih becek, mereka menemukan buku itu di bawah meja, basah dan mulai rusak.

Namun sebagian besar isinya telah mereka salin dan disimpan dalam bentuk digital. Amir menatap Siti. “Ini alasan mengapa kita harus mendokumentasikan semuanya. Kalau hanya disimpan dalam lisan dan kertas, semuanya bisa hanyut kapan saja.”

Pak Hasan yang menyusul mereka hanya mengangguk lirih. “Sungai bisa membawa lumpur, tapi kalian telah mengalirkan cerita. Lisan itu kini tidak akan hilang.”

Beberapa bulan kemudian, kumpulan cerita “Dendang Sungai” resmi diterbitkan di aula sekolah desa. Warga berkumpul. Anak-anak menampilkan drama dari salah satu cerita rakyat. Siti memamerkan ilustrasinya, dan Amir membacakan puisi yang ia tulis dari perjalanan mereka

“Dari hilir kami datang, membawa dendang,
Lisan lama kami petik jadi terang,
Di pinggir Deli, kisah tak mati,
Kami tulis dengan hati, warisan tak boleh pergi.”

Pak Hasan duduk di depan, air matanya menetes pelan menyaksikannya. Ia tahu, apa yang telah lama ia jaga, kini tak lagi tergantung pada usia dan ingatan. Anak-anak muda telah meneruskannya.

Malam itu, saat semua pulang, Amir duduk di tepi sungai. Ia memandang ke arah hilir, di mana sungai Deli mengalir menuju laut, membawa serta suara, cerita, dan kenangan.

Dina datang menyodorkan teh hangat. “Abang, cerita kita tak akan hanyut, kan?”

Amir tersenyum. “Tidak, Din. Selama ada yang mendengar dan meneruskan, cerita itu akan tetap hidup.”

Dan di ujung muara itu, lisan bertuah pun terus berdendang.

Cerpen ini memberi gambaran pentingnya untuk menjaga tradisi lisan Melayu Deli dalam bentuk modern. Dari sebuah kampung di pinggir Sungai Deli, tiga tokoh anak muda dan seorang legenda kampung membawa warisan budaya menuju era digital. Dalam cerita, air bukan hanya sebagai simbol, namun juga menjadi jembatan penyambung warisan. Melalui semangat melestarikan dan cinta akan budaya, “Lisan Bertuah”.

TAMAT

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *