Posted in

Tarian Cinta di Tanah Serdang

Tria Darwati

Sastra Indonesia B 2022
https://www.instagram.com/triadarwatii

Zainudin berdiri di depan cermin yang memantulkan bayangan dirinya dalam balutan baju adat berwarna kuning kunyit yang dilengkapi dengan aksesoris lainnya. Sosok yang dilihatnya di cermin adalah selayaknya keindahan duniawi bagi kaum hawa. Bagaimana tidak? Tubuh tinggi dengan bahu lebar dan dada bidang, meneriakkan pesona lelaki dewasa yang menjadi rujukan bagi banyak tatap mata. Penampilannya kala itu sungguh sempurna, andai saja tidak ada kalut kesedihan dan kesengsaraan yang terpancar dari sinar matanya. Setelah beberapa kali helaan napas yang harapannya mampu membawa pergi kemelut di kepala, lelaki itu beranjak meninggalkan ruangan tempatnya mempersiapkan diri untuk menghadapi hal yang menunggunya di luar sana.

Kilau keemasan mentari di langit pagi menjelang siang hari itu sedikit menyilaukan, menyulut euforia kebahagian dan keceriaan bagi orang-orang yang berkumpul di bawah tenda berhiaskan kain-kain indah, menanti prosesi sakral yang akan segera berlangsung. Semua orang antusias menantikan kedatangan dua insan yang telah disatukan semesta untuk berlabuh di pelaminan. Di bawah tenda yang sama, Zainudin juga menantikan gilirannya untuk memberikan persembahan paling berharga dari dirinya untuk kedua mempelai yang berbahagia. Riuh obrolan dari orang-orang di sekelilingnya menjadi melodi yang membawa jiwa Zainudin kembali ke masa lalu.

Saat itu, tiga tahun lalu, Zainudin hanyalah seorang pemuda yang baru saja lulus dari pendidikannya di kota. Ia kembali ke kampung halamannya di Perbaungan, Serdang Bedagai dengan gelar sarjana di belakang namanya. Ia memutuskan kembali ke kampung halamannya untuk menerapkan dan membagikan ilmunya di bidang seni. Seni sudah menjadi bagian yang melekat erat dalam dirinya. Zainudin tumbuh besar dengan gelora seni yang melingkupi jiwanya. Kecintaannya pada seni mungkin setara dengan cintanya terhadap diri sendiri. Sederhananya, seni adalah jiwanya.

Pada mulanya, kepulangannya disambut hangat oleh keluarga dan masyarakat di sekitarnya. Di kampung kecil mereka, sangat jarang dapat ditemukan seorang sarjana. Biasanya, muda-mudi yang telah lulus sekolah menengah hanya akan dihadapkan pada dua pilihan, antara bekerja atau menikah. Jika itu laki-laki, maka bekerja menjadi pilihan utama. Jika itu perempuan, maka menikah sudah hampir pasti akan dipilih. Namun, Zainudin memilih untuk keluar dari kebiasaan kebanyakan orang di kampungnya. Berbekal kecerdasan dan kecintaannya terhadap seni, ia memupuk keberanian untuk keluar dari kampung dan menimba ilmu di kota.

Oleh karena itu, banyak orang yang menaruh mata padanya. Beberapa di antaranya merasa kagum, dan beberapa lainnya menatap dengan pindar remeh di mata. Tidak heran, sebab Zainudin hanyalah anak dari petani yang hanya memiliki sepetak sawah. Keputusannya untuk berkuliah dan mengambil jurusan seni tari pun tak luput menjadi alasan mengapa sebagian orang meremehkannya. Mereka beranggapan seni tidak akan menghasilkan banyak uang, apalagi seni tari. Lagipula bagi sebagian orang, menari adalah sesuatu yang seharusnya cukup dilakukan oleh perempuan. Berlenggak-lenggok di hadapan banyak orang tidak sepatutnya dilakukan laki-laki.

“Seni tu tanda elok, Bu. Elok tu tak pandang laki ke, perempuan ke, same je.” Itu yang selalu ia katakan setiap kali ibunya mengadu tentang celotehan orang-orang yang mengganggu ketenangan.

Zainudin lumayan bersyukur karena ia memiliki kepercayaan diri yang tinggi. Omongan orang yang meremehkannya tidak berdampak banyak pada dirinya. Semangatnya dalam menyalurkan ilmunya tetap berkobar, dan itu terwujud dengan didirikannya sebuah sanggar tari sederhana yang ia kelola sendiri. Awalnya memang hanya ada segelintir gadis remaja yang berhasil ia rayu untuk bergabung menjadi anak didiknya. Itu pun sudah mampu membuatnya senang bukan kepalang. Ia terus berusaha sekuat tenaga melatih mereka hingga mampu bersaing dalam kompetisi. Selepas itu, banyak anak perempuan yang berdatangan untuk ikut kelas menari.

Hingga sosok seindah purnama itu datang dengan sinar mata malu-malu yang mampu menyentuh sesuatu yang berada jauh di lubuk hatinya. Selayaknya cerita romansa picisan, jatuh cinta pada pandangan pertama agaknya tepat untuk menggambarkan situasi yang terjadi padanya.

“Nama saya Maryam.” ujarnya kala itu.

Maryam adalah seorang gadis muda yang baru saja lulus sekolah menengah. Ia merupakan putri dari salah satu orang terpandang di kampungnya. Gadis itu terkenal dengan keanggunan dan pribadi yang lemah lembut. Sebuah keindahan yang tidak hanya terlukis di fisik, tetapi juga tersalurkan melalui tindak tutur dan tingkah lakunya.

“Saya Zainudin.” Keduanya berjabat tangan untuk saling memperkenalkan diri. Jabatan tangan mereka kala itu menjadi tanda berawalnya kisah yang akhirnya masih menjadi misteri.

Sejak hari itu, Maryam menjadi salah satu anak didik Zainudin di sanggar tarinya. Keahlian Maryam dalam menari terus meningkat. Setiap gerakan tubuhnya bagaikan liukan ilalang yang tersentuh angin, lentur, ringan, seolah tanpa beban.

Pada suatu hari di siang yang cerah, Zainudin mendatangi Maryam yang sedang membantu seorang anak didik di sanggar untuk berlatih. Ia berniat menyampaikan sesuatu yang diyakininya akan membuat gadis itu senang—semoga saja.

“Maryam, dah habis latihan ke belum?” tanyanya sembari mendekati sosok yang berdiri di tengah aula sanggar.

“Dah hampir habis, Bang. Kenape ?” jawab sekaligus tanya dilontarkan Maryam.

“Ada perihal yang nak aku cakap.”

“Perihal penting ke?”

Zainudin menghela napas untuk mengurai gugup. Keringat dingin mulai muncul di dahinya, selaras dengan detak jantung yg menggebu. Kedekatan yang terjalin di antara mereka selama beberapa saat ini telah menumbuhkan perasaan membahagiakan yang seringkali menciptakan gelenyar aneh di hatinya. Walaupun belum berpengalaman, tetapi Zainudin yakin itu adalah penanda cinta. Maka, berbekal keyakinan akan perasaannya, Zainudin berniat mengutarakan apa yang ia rasakan pada Maryam. Zainudin pun mengangguk, “Ya, penting.”

Keduanya saling berhadapan di tengah aula sanggar yang saat ini kosong. Hanya ada mereka bedua di dalamnya. Zainudin diam-diam sibuk menenangkan detak jantungnya yang berdetak kian kencang. Maryam di depannya telah siap mendengarkan apa yang hendak disampaikan Zainudin. Melihat Zainudin yang tak kunjung bersuara, ia pun melontarkan tanya, “Abang nak cakap ape?”

“Eee… Abang nak cakap, tarian baru yang Abang ceritakan sebelum ni dah selesai. Gerakan dan instrumen dia dah rampung.” jawab Zainudin.

“Wah, betul ke? Ayo, tunjuk lah kat aku!” tanggap Maryam dengan binar antusias di mata indahnya.

Sejenak Zainudin terpaku pada senyum dan sorot mata yang ditampilkan Maryam. Rasanya seperti ada ribuan kupu-kupu yang beterbangan di dalam perutnya. Menanggapi permintaan Maryam, Zainudin berjalan ke arah pemutar lagu di pojok ruangan. Menghidupkan sebuah instrumen yang sudah ia garap untuk mengiringi tarian barunya. Suara musik mengudara, bersamaan dengan itu Zainudin mulai menari di hadapan Maryam. Setiap gerakannya seolah memiliki kekuatan magis yang mampu menyalurkan perasaan. Lagi dan lagi, Maryam selalu dibuat kagum olehnya.

Musik pengiring berhenti, digantikan gema tepuk tangan dari telapak tangan Maryam. Ia mengambil langkah kecil yang sedikit tergesa ke arah Zainudin, “Tarian tu lawa benar, Bang. Ape nama dia?” tanyanya.

“Tarian ni kuberi nama Kembara Dua Belas.”

“Kembara Dua Belas? Ape maknanye?”

Zainudin menatap mata Maryam sebelum menjawab, “Kembara Dua Belas mewakili dua belas tahapan perjalanan cinta sepasang insan, dimulai sejak pertemuan pertama hingga akhir bahagia di singgahsana pengantin.”

Entah apa yang salah, pandangan keduanya terkunci di mata satu sama lain. Seolah waktu di sekitar mereka terhenti, segalanya sunyi senyap, hanya suara detak jantung yang mengisi. Zainudin kembali melanjutkan, “Tahapan itu dimulai dari perjumpaan, perkenalan, pendekatan, saling mengenal lebih jauh, menyatakan perasaan, menerima perasaan, bertukar janji, mengikat janji, meminta restu, bertunangan, mempersiapkan perkawinan, dan berakhir di singgahsana pengantin. Sebuah perjalanan indah yang panjang, dan aku merangkumnya dalam gerakan tari untuk membuatnya semakin indah.” jelasnya masih dengan tatapan mata yang tertaut dengan gadis di depannya.

Semburat merah terlihat di pipi Maryam. Semakin parah ketika Zainudin menggenggam kedua tangannya tanpa aba-aba. Genggaman itu kian erat dan terasa sedikit basah, sebab tangan keduanya berkeringat akibat gugup.

“Maryam, sejak pertemuan pertama kite hingga sekarang ni, kita dah lalui empat tahapan. Hari ni aku berniat melanjutkannya ke tahapan berikutnya. Setelah banyak malam yang kulalui untuk merenungkan ini, aku berakhir pada satu keyakinan tentang perasaan yang kumiliki. Mungkin ini akan terdengar sedikit menggelikan, tapi yakinlah bahwa apa yang akan kukatakan adalah sebenar-benarnya isi hatiku.” Zainudin berhenti sejenak untuk mengontrol detak jantung dan tangannya yang gemetar, “Aku mencintaimu, Maryam. Maukah kau menjalani tahapan demi tahapan lainnya bersama dengan aku?”

Maryam terpaku dalam keterkejutan. Walaupun selama ini ia diam-diam juga menyimpan rasa yang sama untuk Zainudin, tetapi apa yang baru saja ia dengar bukanlah sesuatu yang ia perkirakan akan terjadi. Butuh waktu lumayan lama untuk gadis itu menanggapi pernyataan Zainudin, sebelum akhirnya satu anggukan tanpa kata ia berikan. Itu sudah lebih dari cukup untuk menjelaskan bahwa ajakan dan permintaan Zainudin diterima olehnya. Siang itu, hubungan keduanya resmi memasuki tahapan yang lebih serius.

Setelahnya, hubungan mereka terus berkembang. Hingga tibalah saatnya untuk mengakuinya kepada keluarga. Zainudin datang berkunjung ke kediaman Maryam untuk menyampaikan keseriusan niatnya terhadap Maryam. Ia berhadapan dengan ayah dari gadis pujaan hatinya di sebuah ruang tamu luas. Duduk berhadapan dengan sosok penuh wibawa itu sedikit banyak membuat Zainudin merasa kecil. Apalagi melihat dan merasakan secara langsung kenyamanan rumah besar itu. Diam-diam keraguan mulai menyergapnya.

“Ade perihal ape Nak Zainudin kunjungi rumah kami?” Suara berat Tuan Hasan menyadarkan Zainudin dari lamunannya.

“Saya datang hendak menyampaikan niat baik yang berkaitan dengan putri Anda.” ungkapnya mengawali percakapan serius itu.

“Maksudnye?”

“Seperti yang Anda tahu, saya dan Maryam dah lumayan lame saling mengenal. Seiring berjalannya waktu, perasaan lebih dari kawan mulai tumbuh di antara kami. Sebab tu, hari ni saya datang nak menyampaikan niatan tulus saya terhadap Maryam kepada Anda.”

“Maksudnye kau nak meminang Maryam?” tanya Tuan Hasan dengan nada rendah.

“Itu jika Anda berkenan merestui hubungan kami.”

Sejenak hening melanda ruangan itu. Tuan Hasan terdiam seperti menimbang-nimbang untuk menyampaikan jawaban dari pernyataan Zainudin.

“Nak Zainudin, dengar! Maryam tu putri saya satu-satunya. Sebagai seorang ayah, tentu saja saya ingin putri kesayangan saya hidup bahagia. Sejak kecil Maryam selalu terpenuhi segala kebutuhannya, semua yang dia mahu selalu saya wujudkan. Apa yang saya miliki saat ini adalah untuk menjamin kehidupan dia tak kekurangan suatu apa pun. Terkait pasangan hidup pulak, tentu harapan saya Maryam akan mendapatkan suami yang dapat mengurus dia lebih baik dari saya.” ujar Tuan Hasan dengan raut serius.

Mendengar itu, Zainudin hampir dapat menebak apa yang sebenarnya ingin disampaikan pria paruh baya itu. Ia mengepalkan kedua tangannya untuk menjaga keberaniannya tetap hidup.

“Saya faham. Untuk itu saya berjanji akan melakukan apa pun untuk pastikan kehidupan Maryam tercukupi.”

“Saya tak perlukan janji-janji, Nak Zainudin. Saya dah dapat lihat ketidakmampuan kau untuk memenuhi keinginan saya. Saat ini kau hanya bekerja sebagai guru tari. Berape yang kau dapat dari sana?”

Zainudin hanya mampu terdiam. Bayangan dan angan indah yang sebelumnya melayang-layang dalam pikirannya seketika buyar digantikan tekanan yang hadir dari pernyataan Tuan Hasan.

“Saya tak berniat jadi penghalang dalam hubungan kalian, tetapi saya tak ingin pulak bertaruh untuk masa depan Maryam. Lagipula sebelum ni, kami dah berniat menyandingkan Maryam dengan anak dari kenalan saya. Maryam memang belum tahu hal itu, itulah sebabnya dia tak cakap pada kau.” jelasnya.

Seluruh tubuhnya lemas tak bertenaga. Bahkan untuk mengangkat kepalanya yang sejak tadi menunduk rasanya luar biasa berat. Apa yang harus ia lakukan? Bodohnya ia yang tidak mempersiapkan diri untuk menerima penolakan.

Mungkin ia memang pengecut. Benar-benar pengecut karena pada akhirnya ia memutuskan pulang dan sibuk dengan rasa sakitnya sendiri, hingga lupa memperjuangkan cintanya. Lupa pula bahwa pujaan hatinya juga merasakan sakit yang sama, atau mungkin lebih parah sebab lelaki bodoh yang dicintainya tak mampu memperjuangkannya. Pada akhirnya perjalanan cinta mereka terhenti di tahap kesembilan.

Bayangan masa lalu itu memudar kala riuh suara sorakan orang-orang mengudara kala kedua mempelai duduk di singgahsana pengantin. Zainudin sempat terpaku menatap sosok di atas singgahsana pengantin sesaat, sebelum kewarasannya kembali dan memilih mengalihkan pandangan. Perempuan yang duduk di sebelahnya mendekat dan berbisik, “Ayo, bersiap-siap.”

Zainudin mencoba menetralkan raut wajahnya yang ia yakini tidak sedap dipandang, lalu tersenyum kecil sekaligus mengangguk. Keduanya beranjak untuk mempersiapkan diri sebelum penampilan.

Musik bernada ceria mengudara di tengah pesta meriah, sepasang insan saling berdiri berhadapan. Seiring irama musik, keduanya mulai menggerakkan tubuh untuk memperlihatkan sebuah tarian indah yang sarat akan makna membahagiakan. Tarian cinta itu dibawakan dengan indah, memanjakan mata-mata yang melihat dengan gerakannya yang hidup.

Zainudin menunjukkan keahliannya dengan baik. Setiap gerakan yang dilakukannya mampu mencerminkan makna tarian itu. Tari Kembara Dua Belas. Tarian cinta yang ia ciptakan sebagai bagian dari perjalanan cintanya dulu. Kini tarian itu telah sempurna, sebab ditampilkan pada tahapan akhir perjalanan cinta seseorang.

Meskipun perjalanan cintanya harus kandas di tengah jalan, setidaknya tarian ciptaannya mampu mengantarkan pujaan hatinya menuju tahap akhir perjalanan cintanya. Maryam kini telah menuntaskan perjalanan cinta miliknya. Zainudin ikut berbahagia dan mengharapkan kebahagiaan kekal untuk Maryam.

Bersamaan dengan berakhirnya tarian yang ia lakukan, maka perjalanan cintanya juga resmi berakhir. Apakah akan ada perjalanan cinta lainnya di hidupnya? Biarkan semesta yang menentukan.

Tamat

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *