
Jegan pulang dengan wajah lesu, pekerjaan akhir-akhir ini terasa sangat berat, Jegan harus lembur beberapa hari terakhir karena kini harga kebutuhan di kota besar ini terasa semakin mencekik. Tinggal di kota tidak lagi senyaman saat pertama kali ia datang, sekarang gaji yang Jegan peroleh hanya cukup untuk bertahan, bukan untuk hidup. Sejak beberapa bulan terakhir Jegan berencana pulang ke kampung halamannya di Karo. Jegan mulai merasa asing di kota yang dulu ia puja, ia rindu tanah yang bisa dipijak tanpa merasa ditelan. Maka ia akan pulang, membawa tekad, tanah kampung harusnya lebih ramah. Ia ingin menanam, memanen, dan hidup dari apa yang tumbuh. Setelah menerima gaji bulan ini, Jegan sudah memantapkan hatinya untuk kembali ke Desa Kawar tanah kelahirannya. Dia berencana mengelola tanah yang dulu diwariskan padanya, berbekal tekad dan sedikit uang Tabungan yang akan dijadikan modalnya, lagi pula desanya berdiri di tanah yang subur, tak akan sulit untuk memulai usaha pertanian di sana.
—
Jegan merasa saat ini rohnya sudah kembali ke tubuhnya, dia merasa terlahir kembali setelah menghirup udara jernih di desanya. Jegan sudah kembali, kembali ke tanah tempat dia bertumbuh. Pedasaan yang asri, suasana yang tenang, ini yang ia butuhkan, bukan hiruk pikuk kota yang mencekam itu. Sore ini Jegan berjalan-jalan berniat menyapa kembali alam yang membesarkannya, sungguh ia rindu tanah ini, tanah yang juga ia harapkan akan memeluknya hingga ia tua. Semilir angin yang berhembus, udara dingin dan kabut yang akan segera duduk ke tanah seolah menyambutnya, mengirim sapa untuk ia yang kembali pulang.
Setelah berjalan-jalan cukup lama Jegan memutuskan kembali ke rumah, dia akan menyampaikan niatnya yang akan tinggal di kampung, dan tidak berencana kembali ke kota. Dia akan mengelola lahan pertanian milik kedua orangtua-nya.
Pak, buk sepertinya aku akan tinggal di kampung saja, tak tahan lagi aku tinggal di kota, aku akan bertani saja membantu kalian mengurus lahan. Jegan menyuarakan niatnya kepada orangtua-nya.
Sudah sejak lama kami meminta kau pulang nak, kau saja yang keras kepala bertahan di kota. Kalau begitu niat mu besok ikutlah kami kita biar kita bersihkan dulu kau, kita akan ke danau kawar untuk Erpangir ku lau.
Loh untuk apa kita upacara-upacara segala, aku ini hanya niat bertani, menanam, dan mengelola tanah ku, aku tak terkena sial, untuk apa pula tradisi seperti itu. Jegan membantah niat orangtua-nya untuk melakukan tradisi pembersihan diri.
Nak bukan maksud kami menuduh engkau terkena sial, ini sudah jadi tradisi kita, supaya kedepannya langkah dan niatmu berjalan lancar. Ini bukan soal tanamanmu, ini soal bagaimana kau menyentuh dan mengelola tanah. Ibu Jegan menjelaskan.
Ayolah bu, zaman sudah maju, untuk apa lagi tradisi seperti itu, aku tak perlu membersihkan diri segala, memangnya niat ku jahat? Aku tak akan mengekploitasi tanah ini, lagi pula aku ini tidak kotor niat ku baik, lagi pula aku lahit di sini, tak mungkin tanah ini menelanku. Sepertinya Jegan sudah jengah, setelah bertahun-tahun tinggal di kota, dia tidak berpikir akan melakukan tradisi yang menurutnya kolot ini, setengah dari pemikirannya masih tertinggal di kota.
Jegan, saat ini mungkin niatmu baik, tapi tidak ada yang tau hati manusia kedepannya. Bolang Jegan menyahut, sepertinya beliau baru saja kembali, entah dari mana. Bolangnya Pak Kalimbubu merupakan penatua adat di kampung ini.
Bolang aku sangat menghormatimu, tapi tolong jangan paksakan niat kalian padaku, tak akan ku lakukan uparaca apapun itu. Bukan karna bolang penatua adat bolang tau seluk beluk hatiku. Jegan enggan mengindahkan ucapan bolangnya, perkataan itu justru menyulut api hatinya.
Jegan bersihkan dulu dirimu, Siram dulu hatimu, baru kau bisa menanam dengan berkat. Setelah mengatakan itu bolangnya berlalu.
Setelah perdebatan itu mereka semua hanya diam, Jegan menolak dengan kelas melakukan tradisi itu. Tanah ini membesarkannya, tak akan mungkin memakannya. Besok dia akan langsung memulai pekerjaannya, memperluas dan membersihkan lahan pemberian orangtua-nya.
—
Perjalanan pulang tidak hanya membawa Jegan kembali ke kampung, tapi juga ke sunyi yang pernah ia lupakan. Jalan-jalan tanah merah, suara serangga, dan bau humus dari hutan tua menyambutnya seperti pelukan ibu yang tak pernah benar-benar marah. Di lereng timur Danau Lau Kawar, ia melihat petak-petak tanah kosong yang akan dikelolanya. Pagi itu ia mulai menebas semak, mencangkul dalam, menanam bibit dengan tangan yang belum sempat bersih dari ambisi kota. Pak Kalimbubu, bolangnya yang pendiam, menatap sembari bermonolog dalam hati, Semoga niat mu tidak berubah, ketika tanah ini memberikan mu kehidupan.”
—
Lima tahun telah berlalu, niat untuk hidup dengan mengelola tanah kini berubah, Jegan kini mulai lupa diri, hasil bumi yang diperolehnya membuatnya lupa niat awalnya, yang hanya ingin mengelola. Setahun yang lalu dia memperluas tanah hingga ke kaki gunung, orangtua-nya, kakeknya dan beberapa warga lain sudah memperingatkannya agar tidak menjadi serakah. Mereka mengatakan untuk mengelola apa yang menjadi miliknya, tapi Jegan enggan mendengarnya, pikirnya dia hanya memperluas sedikit, anggap saja membersihkan kaki gunung dari Semak yang menutupinya, sungguh pemuda ini telah lupa diri.
Sore itu pak Kalimbubu tergesa-gesa pergi ke ladang untuk menemui cucunya yang keras kepala itu, seorang warga mengadu bahwa Jegan menebang pohon di lahan kosong yang merupakan tanah adat. Kemungkinan pemuda itu akan memperluas lahan ke tanah adat, dan itu tidak bisa dibiarkan. Cucunya itu sudah menjadi orang serakah, jangan sampai alam marah padanya. Sesampainya di sana di ladang, pak Kalimbubu tercengang melihat Jegan yang mulai membakar semak yang sudah dia tebas sebelumnya. Dengan langkah yang yang memburu pak Kalimbubu berusaha memadamkan api dengan menggunakan dahan yang entah diperolehnya dari mana. Melihat kedatangan bolangnya yang memadamkan api, Jegan tampak tak senang dia berusaha menghentikan pak Kalimbubu.
Apa yang bolang lakukan, sejak pagi aku Lelah membersihkan ini, jangan seenaknya memadamkan api yang ku hidupkan. Dengan marah Jegan menarik lengan pak Kalimbubu agar segera berhenti memadamkan api.
Tak cukupkah kau hidup dari lahan yang kau punya? Jangan serakah nak, setahun lalu juga sudah ku peringatkan untuk tidak memperluas lahan mu ke kaki gunung, tak sedikit pun kau indahkan, sekarang kau mau perluas hingga ke mana? Tong-tong beru ukur, manok man teken. Tanah ini bukan milikmu, jangan sampai tanah ini marah padamu nak. Pak Kalimbubu berusaha tenang menjelaskan kegelisahannya, berharap pemuda ini segera sadar.
Tak akan tanah ini marah padaku, lihat kan selama lima tahun ini semua berjalan baik, aku menghasilkan banyak uang dari tanah ini, ini tanah kelahiranku mana mungkin dia marah padaku.
Dengar nak, tanah ini sudah menghidupimu lebih dari yang kau butuhkan, seharusnya kau sadar bahwa itu sudah lebih dari cukup. Jangan serakah Jegan, Ayam saja tahu batasnya untuk bertengger. Jangan sampai kau melupakan bahwa seharusny aku harus menjaga alam bukan merusaknya.
Apa yang ku rusak bolang? Aku membersihkan lahan ini untuk ku pergunakan, mana mungkin ku rusak. Sebaiknya bolang pulang saja, jangan merecoki pekerjaan ku.
—
Setelah perdebatan itu pak Kalimbubu pulang kembali, dengan harapan bahwa cucunya segera sadar, dan tidak lagi berusaha memperluas lahan. Tanpa sepengetahuannya Jegan kembali menyalakan api setelah gelap mulai turun, berpikir bahwa tidak ada lagi warga yang lewat dan melihatnya memperluas lahan. Jegan menyalakan api berharap bahwa besok pagi dia kembali lahan ini sudah bersih dan siap diolah. Api mulai menyala, Jegan tersenyum senang tak mungkin bolangnya pak Kalimbubu datang lagi. Angin berhembus membuat nyala api semakin tinggi melalap semua semak dengan begitu cepatnya. Nyala api mulai melebar dan kini mendekati lahan pertanian yang Jegan kelola sebelumnya. Jegan khawatir api akan ikut melalap tanamannya, dia panik berlari kesana kemari menyirami api yang mendekat ke lahannya. Angin sepertinya sedang bersenang-senang, berhembus kesana kemari, membuat manusia yang termakan tekad ini panik.
Jegan berusaha sekuat tenaga agar api tidak membakar lahannya, dia dengan panik melibasi semak yang sudah di lalap api dengan dahan tanaham, berharap api ini padam dan tidak merusak tanamannya. Namun alam sepertinya sedang senang bermain-main, angin yang berhembus terasa semakin kencang, membuat api menyala dengan besarnya. Jegan dengan sisa tenaganya tak mampu lagi melawan, api yang dinyalakannya bukan hanya membakar lahan pertanian yang beberapa hari lagi akan dipanen, tapi juga membakar sebagian legannya. Jegan pontang panting berusaha menjauh dari api, namun angin seolah mengejarnya, membuat api ikut membakar tubuhnya. Jegan berguling di tanah usaha yang dia lakukan untuk memadamkan api yang membakar pakaiannya. Dengan tubuh lemah yang kehabisan tenaga, jegan terkapar menatap lahannya yang habis di lahap api, sungguh dia menyesal, tak seharusnya begini, Bukan begitu seharusnya. Tapi yang tumbuh bukan daun.
TAMAT