Kabut masih menggantung di lereng Bukit Barisan saat ayam jantan berkokok dari kejauhan. Desa
Tigabinanga, di dataran tinggi Karo, perlahan bangun dari tidurnya. Rumah-rumah panggung
berderet rapi, sebagian sudah dilapisi seng, sebagian masih beratap ijuk dan berdinding papan.
Aroma kayu bakar menyeruak dari dapur-dapur rumah, menyatu dengan bau embun dan rumput
basah.
Melani br. Ginting berdiri di depan cermin kecil di kamarnya yang sempit. Ia membetulkan
selendang merah-hitam bermotif gorga Karo yang disampirkan ke bahunya. Di luar, ibunya, Inang
br. Tarigan, sedang menggiling andaliman dengan batu pipisan. Di kejauhan, suara gong kecil dari
keteng-keteng mengiringi berita duka dari dusun sebelah.
“Melani, cepat kau ke ladang! Ayahmu sudah berangkat sejak subuh!” seru ibunya dari dapur.
Melani menghela napas. Ladang, rumah, masak, dan acara adat itulah dunia yang diwariskan
kepadanya. Tapi sejak ia menyelesaikan SMA di Kabanjahe dan kembali ke kampung, hatinya
gelisah. Ia ingin melanjutkan sekolah ke Medan, menjadi guru seperti Bu Nuraini, satu-satunya
guru perempuan yang pernah menginspirasi hidupnya.
Di ladang, Ayahnya, Bapak Ginting, sedang mencangkul tanah keras. Usianya sudah melewati
lima puluh, namun punggungnya masih tegap. Ia berhenti sebentar ketika melihat anak gadisnya
datang.
“Melani, kau sudah besar, Darma Perangin-angin datang lagi tadi pagi. Dia bawa tuak nira dan
seikat jeruk manis. Kau tahu maksudnya.”
Melani memalingkan wajah. Darma memang lelaki baik. Tampan, ramah, dan dari keluarga
terpandang. Tapi ia tidak mencintainya. Cintanya tertambat pada buku, pada mimpi mengajar
anak-anak desa lain, pada papan tulis dan kapur putih.
⸻
Malam harinya, keluarga mereka menerima kunjungan dari pihak Darma. Mereka membawa buah
tangan sirih, kue tradisional, dan sebotol tuak. Duduk berjejerlah para laki-laki tua, berbicara
dalam nada datar namun penuh makna. Di antara mereka ada kalimbubu dan sembuyak, yang
membahas soal “nini rante” jodoh yang dianggap sudah terjalin sejak kecil.
Melani duduk di ruang belakang, mendengar semuanya dari celah dinding. Dadanya sesak. Ia ingin
bicara, ingin menyampaikan isi hatinya, tapi tahu suara seorang anak perempuan dalam urusan
adat bukanlah suara yang didengar pertama kali. Ia mengambil buku catatan kecil dan menulis satu
kalimat yang membuatnya gemetar:
“Aku ingin menjadi perempuan Karo yang menulis sejarahnya sendiri.”
Keesokan harinya, ia memberanikan diri bicara kepada ibunya.
“Mak, aku tidak mau menikah sekarang. Aku ingin sekolah ke Medan. Aku sudah daftar ke
universitas, ada beasiswa.”
Ibunya menatapnya lama. Matanya teduh tapi dalam. Di wajahnya terukir garis-garis waktu dan
beban adat.
“Anakku, kau tahu kita ini siapa. Perempuan di sini tidak hidup untuk dirinya sendiri. Kau anak
kami, anak adat. Kalau kau pergi, siapa yang akan jaga ladang? Siapa yang akan bantu urus rumah
ketika pesta besar datang?”
Melani menunduk. Ia paham benar beban itu. Sejak kecil ia diajari bagaimana menyambut tamu,
bahkan menari dalam upacara.
Hari-hari berikutnya sunyi. Kabar tentang keinginan Melani menyebar di kampung. Ada yang
memujinya diam-diam, tapi lebih banyak yang mencibir. “Beru Ginting yang pintar itu ingin jadi
orang kota. Nanti lupa dia sama ladangnya.” Bisik-bisik semacam itu membuat Melani semakin
ragu.
⸻
Tiga hari sebelum acara lamaran resmi, Melani berdiri di tengah jambur, tempat seluruh kampung
biasa berkumpul. Malam itu api unggun dinyalakan. Orang-orang duduk bersila, mengenakan
pakaian adat. Di sana ada Darma, keluarganya, bahkan tetua kampung.
Dengan suara bergetar namun jelas, Melani bicara:
“Aku menghormati semua yang diajarkan padaku. Aku cinta kampung ini, aku cinta adat kita. Tapi
izinkan aku membawa adat ini lebih jauh. Aku ingin jadi guru, supaya anak-anak tahu siapa
mereka, tahu bahasa Karo, tahu sejarahnya. Aku akan kembali, Mak. Aku akan pulang. Tapi
sekarang, izinkan aku pergi.”
Suara angin malam seolah berhenti. Semua diam. Bahkan Darma hanya menunduk.
Tiba-tiba suara Pak Pinem, tetua adat, terdengar:
“Kalau Beru Ginting ingin menuntut ilmu, biarlah. Jangan tahan air yang deras mengalir, nanti
akan banjir. Tapi ingat, jalanmu bukan meninggalkan adat. Jalanmu adalah membawa adat ke
tempat yang lebih tinggi.”
Beberapa ibu meneteskan air mata. Inang br. Tarigan menggenggam tangan anaknya dan
tersenyum pelan. Di matanya masih ada ragu, tapi juga bangga.
⸻
Seminggu kemudian, Melani berangkat ke Medan. Di dadanya ada doa-doa orang kampung yang
kini diam-diam berharap: agar perempuan pertama dari desa itu yang pergi untuk belajar bisa
membawa pulang cahaya.
Di stasiun bus Kabanjahe, ia menatap ke arah bukit. Kabut tipis menyelimuti puncaknya. Ia tak
tahu kapan akan kembali, tapi satu hal pasti ia akan pulang. Dan ketika ia kembali, ia ingin menjadi
perempuan yang bukan hanya hafal landek dan jambar, tapi juga bisa menuliskannya,
mengajarkannya, dan menjaganya agar tak hilang ditelan waktu.