Di kota yang ramai dan penuh gemerlap,
aku berjalan sendiri,
mencari arti dalam hiruk-pikuk yang dingin.
Tapi suara gondang di hati memanggil,
“Horas ma di au, boru ni raja,”
bisiknya lembut seperti angin yang mengusap daun.
Rindu ini seperti ulos yang membungkus jiwa,
hangat dan penuh cerita,
tentang nenek yang menenun doa
dan bapak yang selalu bilang:
“Dang marhite do au, pangidoanmu marsada.”
Aku ingin pulang,
ke desa dengan rumah bambu,
ke ladang yang hijau dan danau yang tenang,
ke pelukan keluarga dan tawa pariban.
Kota boleh saja menjanjikan mimpi,
tapi tanah Batak adalah akar,
tempat aku tumbuh,
dan tempat aku akan selalu kembali.