
Kabut pagi kala itu menyelimuti perbukitan Pematang Raya, Kabupaten Simalungun. Kebun-kebun teh tampak hijau segar memanjakan mata siapa saja yang memandang. Suara klakson kendaraan masih senyap terdengar samar-samar. Detak jam dinding bangunan rumah tua sederhana dengan atap rumbia masih terdengar jelas. Saat sebuah organisasi rahasia bernama Parhabonaron beroperasi dalam senyap di dalam rumah tua itu. Mereka bukan penegak hukum resmi juga bukan orang yang memiliki kekuasaan maupun jabatan yang setiap orang dambakan, namun menjunjung tinggi filosofi Habonaron do Bona “kebenaran adalah pangkal segalanya”. Tugas mereka membalas dendam atas ketidakadilan yang tak tersentuh hukum. Apakah hal ini legal? Tentu saja, kalau hukum saja tidak mampu melakukan tugasnya lantas mengapa tidak. Motto itu tertempel di dinding rumah tua itu, di sampingnya terdapat foto dengan bingkai berwarna coklat dengan senyum ramah dari lima orang yang ada di dalamnya.
Suatu hari, Parhabonaron menerima permintaan dari seorang wanita tua bernama Inang Boru Saragih. Anaknya, Darel, meninggal setelah menjalani operasi sederhana di Rumah Sakit Bahal Batu. Dokter yang menangani, dr. Parulian Simbolon, dikenal memiliki koneksi kuat dengan pejabat setempat. Kasus malapraktik ini ditutup tanpa penyelidikan.
“Ham, tolonglah kami. Anak kami sehat sebelum operasi masi bisanya dia itu lari-lari sama kawannya, tapi tetiba habis operasi dia koma. Kami yakin kalau di rumah sakit dr. Parulian ada yang tidak beres,” pinta Inang Boru dengan mata berkaca-kaca, inang terdengar sangat putus asa sekali.
Ketua Parhabonaron, Amang Raja Girsang, mengangguk pelan sambil menatap keempat rekannya, lalu ia mengatakan dengan lantang. “Habonaron do Bona, Inang. Kami akan mencari kebenaran.”
Penyelidikan dimulai. Mereka pun langsung bergegas ke area bawah tanah rumah tua itu. Ternyata di sana terdapat banyak sekali alat-alat canggih yang digunakan untung menangani setiap kasus yang mereka terima. Terdapat sistem operasi komputer yang canggih, mobil klasik yang bisa mengganti plat nomornya sendiri dan juga mobil van yang digunakan untuk mengangkut semua peralatan yang dibutuhkan.
Seminggu mereka menyamar menjadi bagian dari staf rumah sakit, seperti menjadi cleaning service dan juga staf administrasi namun hasilnya nihil, mereka tidak menemukan apa pun yang mencurigakan di sana justru semua terlihat normal tanpa ada tanda-tanda adanya malapraktik.
Mereka pun terlihat sudah tidak semangat lagi untuk menangani kasus itu.
“Kurasa Inang itu salah lah we, bisa jadikan anaknya emang koma ya karena emang efek dari operasi,” ucap Ucok, pria 30 tahunan yang menyamar jadi cleaning service.
“Kenapa pulak abang bisa cakap kek gitu?” Maria pun bertanya dengan rasa penasarannya.
“Gini Maria, kami udah ngikutin segala aktivitas dokter itu tapi ku tengok baik-baik ajanya dia, justru sering dia ngobatin opung-opung yang udah pikun.” Penjelasan Tondang terdengar masuk akal bagi Maria.
Namun, setelah mereka kembali dari percakapan yang membingungkan itu mereka mendapati sebuah kejanggalan bahwa setiap opung yang dirawat oleh dr. Parulian merupakan opung-opung sebatang kara yang sudah tidak memiliki keluarga lagi. Hal ini lantas menjadi sebuah petunjuk dari teka-teki yang mereka coba untuk selesaikan.
Mereka juga menemukan bahwa di ruang operasi dr. Parulian terdapat sensor yang bisa berbunyi apabila terdeteksi adanya kamera yang sedang merekam di dalamnya. Namun, dalam penyamaran sebagai pasien, anggota Parhabonaron bernama Lawei Damanik berhasil merekam percakapan di ruang operasi antara dr. Parulian dan seorang pria misterius. Lawei bisa merekam kejadian tersebut tentunya dengan bantuan dari Maria yang jenius. jarang terlihat di ruang operasi. Ternyata di ruang operasi bukan dr. Parulian yang menangani tetapi pria misterius tersebut yang entah datang dari mana. Ia mengaku sebagai asistennya. Lebih mencurigakan lagi, hampir semua pasien yang dioperasi meninggal, atau bahkan koma dan karena tidak ada lagi keluarga maka dr. Parulian lah yang menerima klaim asuransi yang sangat besar.
“Pastikan operasi besok gagal. Semakin banyak klaim asuransi, semakin besar keuntungan nami,” ujar dr. Parulian.
Pria itu menjawab dengan ragu. “tapi dok, bagaimana kalau kita sampai ketahuan?”
“Ito tenang saja, hukum sudah kubungkam dengan uang asuransi itu.”
Suara dering telepon melengking di dalam ruang operasi, di sana terbaring Lawei yang sedang menyamar menjadi pasien telah dibius untuk dilakukan operasi. Namun, staf penjaga mengatakan kalau pasien yang di dalam ternyata tertukar dengan pasien yang seharusnya benar-benar akan dioperasi. Tetapi, percakapan tadi telah berhasil direkam oleh Lawei melalui kacamata canggihnya.
Dengan bukti yang telah dikumpulkan, Parhabonaron mengumpulkan keluarga korban dan mengadakan upacara Maranggir di tepi Danau Toba. Upacara ini bertujuan untuk menyucikan diri dan pikiran, memohon pembersihan dari roh jahat yang telah merenggut nyawa orang-orang tercinta.
Dalam upacara tersebut, Amang Raja Girsang berkata, “Habonaron do Bona. Kebenaran harus ditegakkan. Kita akan membawa kasus ini ke hadapan masyarakat dan menuntut keadilan.”
Berita tentang kejahatan dr. Parulian menyebar luas. Tekanan publik memaksa pihak berwenang membuka kembali penyelidikan. Akhirnya, dr. Parulian dan komplotannya ditangkap dan diadili.
Namun, proses hukum tidak berjalan mulus. Selama persidangan, muncul fakta lain bahwa dr. Parulian memiliki hubungan dengan tokoh berpengaruh yang melindunginya. Hakim yang menangani kasus ini menerima suap serta ancaman, dan beberapa saksi kunci menghilang secara misterius bahkan tak seorang pun tahu keberadaan mereka.
Pada akhirnya, dr. Parulian dibebaskan karena kurangnya bukti yang mengaitkannya langsung dengan perdagangan organ. Komplotannya dihukum ringan, sementara dalang utama tetap bebas.
Keluarga korban merasa kecewa dan putus asa. Mereka tahu bahwa meskipun hukum bisa dibungkam, kebenaran akan selalu menemukan jalannya. Namun, keadilan yang mereka harapkan tidak kunjung datang.
Keesokan harinya, saat Lawei mengendarai mobil klasik sendiri dengan diikuti mobil van rekannya di belakang ia merasakan sesuatu yang janggal dari mobil tersebut, terdapat bunyi aneh dari bawah kolong mobil. Ia lantas menghantam stir ke kiri ke arah jalanan yang kosong dan benar mobil itu meledak. Ketiga rekannya yang melihat kejadian itu dari dalam mobil van lantar teriak histeris memanggil Lawei. Mereka mengira bahkan Lawei telah tewas meledak bersama dengan mobil klasik itu. Ternyata Lawei berhasil meloncat keluar dari mobil sebelum meledak.
Mereka lantas mencari tahu sumber dari ledakan itu, lalu….
“Kurasa ini disengaja bang,” celetuk Maria.
“Kau benar sekali Maria, untung saja aku sempat menyelamatkan diri.”
“Tapi siapa pelakunya?” tanya Ucok dan Todang kompak.
“Kita harus mencari tahu, pelakunya tentu menginginkan aku mati, maka besok kita harus membuat acara pemakaman sungguhan agar kita bisa menangkap siapa pelaku dibalik ini semua.”
Keesokan harinya upacara pemakaman dilakukan dengan hikmat seolah itu benar terjadi, padahal Lawei sedang berusaha keras untuk menemukan siapa pelaku dari ledakan itu.
Kematian palsu Lawei tentunya memunculkan pelakunya, ia datang sendiri ke pemakaman Lawei dengan mengucapkan, “Habonaron Do Bona kau bilang? Kau sudah menghancurkan hidupku, maka kau harus ikut hancur bersamaku.” Benar, dr. Parulian yang mengatakan hal itu semua dihadapan peti mati palsu Lawei.
Untungnya hal itu berhasil direkam oleh kamera tersembunyi yang ada di balik peti mati palsu Lawei. Semua hal itu lantas disebarkan ke seluruh sosial media agar semua orang tahu betapa buruk dan menakutkannya dr.Parulian. ia telah mendapatkan sanksi sosial yang begitu pantas.
Namun, hal ini tidak membuatnya jera, ia justru berencana untuk mengganti nama dan memulai kegilaannya lagi di tempat baru. Hal ini berhasil dicegah oleh organisasi Parhabonaron, mereka lantas menculik dr. Parulian untuk memberikan sanksi yang lebih berat lagi yang tidak bisa dilakukan oleh hukum yang berlaku.
Parhabonaron menggambarkan perjuangan sekelompok kecil dalam masyarakat untuk menegakkan kebenaran di tengah ketidakadilan yang tidak tersentuh oleh hukum formal. Filosofi “Habonaron do Bona“, yang berarti “kebenaran adalah pangkal segalanya”, menjadi landasan moral bagi mereka untuk bertindak demi keadilan.
Dalam masyarakat Simalungun, filosofi ini telah lama dihayati sebagai pedoman hidup, menekankan pentingnya kejujuran, integritas, dan tanggung jawab sosial. Nilai-nilai ini mendorong individu untuk bertindak benar dalam segala aspek kehidupan, termasuk dalam menghadapi ketidakadilan.
Parhabonaron, meskipun bukan siapa-siapa bahkan bukan juga lembaga resmi, menunjukkan bahwa masyarakat memiliki peran penting dalam menegakkan keadilan, terutama ketika sistem hukum tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Melalui kerja sama, solidaritas, dan keberanian, mereka berhasil mengungkap kebenaran yang tersembunyi dan memberikan harapan bagi mereka yang terpinggirkan. Kebenaran tidak bisa selamanya disembunyikan. Meskipun tantangan dan rintangan menghadang, semangat untuk mencari dan menegakkan kebenaran harus tetap menyala. Dengan menjunjung tinggi nilai-nilai luhur seperti yang terkandung dalam filosofi “Habonaron do Bona“, masyarakat tentunya mampu menciptakan lingkungan yang lebih adil dan beradab.
TAMAT