Posted in

Langit di Atas Surau

Najwa Naila

Sastra Indonesia C 2022
https://www.instagram.com/najwanailaa

Di kaki bukit yang sejuk, di antara pohon kopi dan sawah yang menguning menjelang panen, berdiri sebuah desa kecil bernama Huta Godang. Di tengah-tengah desa itu, ada sebuah bangunan tua dari papan, dengan atap seng yang sudah berkarat dan tiangnya mulai miring seperti bangunan yang sudah layak tapi itulah surau tua peninggalan leluhur, tempat orang-orang kampung itu berkumpul untuk shalat, mengaji, dan bersilaturahmi. Namun sekarangsurau itu dijaga oleh seorang lelaki tua yang sederhana dan bersahaja, namanya Pak Ramli Lubis.

Pak Ramli adalah satu di antara sedikit orang yang masih kuat menjaga tradisi. di usianya yang sudah lebih dari tujuh puluh tahun, rambutnya putih, kulitnya hitam yang terbakar panas matahari, tapi semangatnya masih terang benderang. Setiap pagi sebelum adzan Subuh berkumandang, ia sudah berdiri di depan surau dengan sarung songket dan baju koko lusuh miliknya, menyapu halaman, menyalakan lampu minyak, dan menyiapkan air untuk wudhu dari tempayan di samping surau.

Desa Huta Godang dikenal sebagai desa Mandailing yang kuat dalam Islam dan adat. Di sini, orang saling memanggil dengan sebutan “uda,” “amang,” atau “inang.” Jika ada anak lahir, semua orang datang membawa beras. Jika ada kematian, semua tetangga turut membantu. Di sinilah Pak Ramli merasa hidupnya berarti, karena ia bisa melihat masyarakat hidup dalam dalihan na tolu tiga tungku kehidupan: hormat kepada orang tua, rukun dengan sesama, dan kasih sayang terhadap saudara.

Suatu hari, datanglah seorang remaja dari kota Medan yang tak lain ia adalah Ilham, cucu laki-laki Pak Ramli. Ibunya menyuruh Ilham untuk tinggal selama dua bulan liburan sekolah di kota, Ilham terbiasa dengan internet, kafe, dan jadwal sekolah yang padat. Tapi di kampungwaktu berjalan lebih lambat. Tak ada Wi-Fi, tak ada bioskop. Awalnya Ilham mengeluh. Tapi semua berubah ketika ia mulai mengikuti kegiatan Opungnya.

Setiap sore, Ilham ikut duduk di surau bersama anak-anak kampung. Mereka mengajar belajar tajwid, dan mendengarkan kisah-kisah nabi. Pak Ramli tidak pernah memarahi murid-muridnya. Ia hanya menasihati dengan lembut. Kadang diselingi dengan humor, kadang dengan cerita masa kecilnya.

“Ilham,” kata Pak Ramli suatu sore setelah salat Ashar, “kau tahu kenapa orang Mandailing kuat memegang Islam?”

(Ilham menggeleng)
“Karena sejak zaman nenek moyang, kita diajarkan bahwa adat dohot ugamo adat dan agama harus berjalan bersama. Kita tak bisa memilih salah satu dan meninggalkan yang lain. Kita bersyukur kepada Tuhan, tapi juga menghormati orang tua. Kita rajin shalat, tapi juga tidak lupa gotong royong.”

Ilham mulai membuka mata. Ia ikut membantu menyapu surau, menimba air, dan menggiling kopi bersama Opungnya. Ia bahkan mulai belajar membaca huruf Arab gundul dari kitab kuning warisan Opungnya itu. Ia menyaksikan bagaimana masyarakat kampung saling bantu-membantu tanpa pamrih. Bagaimana ketika ada sunatan, warga datang bergotong royong ada yang masak, ada yang pasang tenda, dan ada yang baca marhaban.

Pada suatu malam Jumat, setelah pengajian rutin, Pak Ramli mengajak Ilham duduk di tangga surau.

“Lihat bintang-bintang itu, Ham,” katanya sambil menatap langit. “Langit di atas kampung ini tak berubah sejak Opung kecil. Tapi dulu, orang lebih rajin menatapnya. Sekarang, orang terlalu sibuk menatap layar.”

Ilham tertunduk. Ia merasa tersindir, tapi juga tersentuh. Ia sadar, di kota ia sibuk mengejar waktu, nilai sekolah, dan hiburan. Tapi di kampung ini, ia menemukan makna hidup yang selama ini hilang.

Waktu dua bulan berlalu cepat. Saat tiba waktunya kembali ke Kota Medan, Ilham merasa berat hati. Ia memeluk Pak Ramli erat-erat dan menyerahkan sebuah buku catatan kecil.

“Ini, Opung. Saya tulis semua cerita Opung. Tentang adat, tentang agama, tentang surau, dan tentang bintang-bintang itu.”
Pak Ramli membuka buku itu. Di halaman pertama tertulis:
“Langit di Atas Surau — Catatan dari Huta Godang.”
Pak Ramli menatap cucunya dengan mata berkaca-kaca.
“Kau jaga ini baik-baik, Nak. Kalau nanti Opung tak ada, jangan biarkan surau ini kosong. Jangan biarkan anak-anak lupa ngaji. Jangan biarkan orang lupa adat.”
(Ilham mengangguk)
“Insya Allah, Opung. Suatu hari saya kembali ke sini. Bukan cuma sebagai cucu, tapi sebagai
penerus.”

Malam itu, Ilham naik mobil kembali ke kota Medan. Tapi hatinya tertinggal di surau kayu kecil itu. Di bawah langit yang luas dan sunyi, tempat ia belajar tentang arti Islam, adat, dan makna pulang.

Pesan Moral:
Dalam masyarakat Mandailing, agama dan adat bukan hanya warisan—mereka adalah cahaya hidup. Dan langit di atas surau adalah saksi, bahwa selama hati masih terbuka, ilmu dan kebaikan akan selalu menemukan jalannya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *