Di sebuah desa kecil di pinggiran Danau Toba, tinggal seorang pemuda bernama Johan. Sejak kecil, ia dibesarkan oleh ibunya, Nai Nadeak, seorang janda yang hidup sederhana sebagai penenun ulos. Yang selalu mengganggu pikiran Johan adalah satu hal: ia tidak pernah tahu marganya.
Di sekolah, teman-temannya memanggilnya Johan saja. Tidak ada Si di depan namanya, tidak ada marga yang membanggakan seperti Siregar, Sinaga, atau Nainggolan. Suatu hari, saat kelassedang membahas silsilah keluarga Batak, gurunya bertanya, “Johan, apa margamu?”Ia terdiam.
Teman-temannya mulai berbisik, beberapa tertawa kecil.Setelah kelas usai, Johan pulang dengan hati panas. Di rumah, ia menatap ibunya yang sedang menenun ulos dengan cahaya matahari sore menguning di belakangnya. “Mak… kenapa aku nggak punya marga?” tanyanya pelan, tapi dalam. Ibunya berhenti menenun.
Mata tuanya tampak berat menatap benang-benang warna-warni yang tak lagi bersinar.“Kau punya marga, Johan,” kata ibunya lirih. “Tapi aku sembunyikan. Untuk melindungimu.” Johan bingung. “Melindungi dari apa, Mak?” Ibunya berdiri, mengambil sebuah kotak kayu tua dari bawah ranjang. Di dalamnya ada selembar ulos kecil yang sudah usang, dan di baliknya terselip foto lelaki muda berpakaian adat Batak. Di belakang foto itu tertulis: “Si Raja Parhusip”.“Dia ayahmu,” ucap ibunya. “Dan dia dari marga yang dulu disingkirkan dari tanah ini.”
Johan memandang ibunya dengan mata membelalak.“Dulu, ayahmu berasal dari keluarga yangkuat, kaya, dan disegani. Tapi juga dibenci, karena satu kesalahan besar—pengkhianatan dalam perang tanah adat puluhan tahun lalu. Karena itu, marganya dikutuk. Siapapun yang memakai nama itu dianggap pembawa sial.”
“Apa marganya, Mak?” tanya Johan dengan suara bergetar.
“Si Ompusunggu.”
Johan merasakan dadanya bergetar. Ia pernah mendengar marga itu. Dulu sangat berkuasa, tapi namanya nyaris tak pernah disebut lagi. Seperti dihapus dari sejarah.“Kenapa Mak sembunyikan semua ini?” katanya lirih.“Karena aku tak ingin kau dihina. Tak ingin kau disingkirkan. Tapi sekarang… mungkin sudah waktunya.”
Dua minggu kemudian, Johan berdiri di tengah balai adat desa. Ia memakai ulos warisan ayahnya, dan suaranya lantang di hadapan tetua-tetua.“Aku Johan, anak dari Si Ompusunggu. Aku tidak malu dengan darah yang mengalir di tubuhku. Aku datang bukan untuk menghidupka dendam, tapi mengembalikan nama yang hilang.”
Desa hening. Beberapa orang tua menatapnya dengan ragu. Tapi dari pojok ruangan, seorang tetua berdiri. Namanya Ompu Silaban, yang pernah berperang bersama ayah Johan.“Anak muda,” katanya berat. “Kau punya keberanian. Itu sudah cukup untuk membuat margamu hidup kembali.”
Dan di hari itu, Johan tidak lagi hanya Johan. Ia menjadi Johan Si Ompusunggu, dan dari dirinya, marga yang hilang kembali berdiri—bukan dengan kekuasaan, tapi dengan kebenaran dan keberanian.
Setelah pengakuan itu, Johan merasa bangga, tapi juga cemas. Sejak hari itu, banyak mata menatapnya dengan rasa ingin tahu—sebagian dengan hormat, tapi tidak sedikit pula dengan curiga.Di malam hari, ibunya berkata, “Kau tahu, Nak… margamu dulu bukan hanya dihormati karena kekuatan, tapi juga ditakuti karena ilmu warisan yang mereka jaga.”
“Ilmu?” tanya Johan.“Ilmu dari leluhur yang bisa membaca cuaca, menyembuhkan orang, bahkan—kalau perlu—mengutuk.” Jawab mak nya.Johan tertawa kecil. “Itu mitos, Mak.”Tapi ibunya tak tertawa. “Jangan anggap remeh darahmu, Johan. Ada yang masih hidup… dan sedang menunggumu.”
Keesokan harinya, Johan mendapat undangan aneh. Sebuah surat diikat dengan benang merah tergantung di pohon nangka depan rumahnya. Isinya hanya satu kalimat:
“Datanglah ke makam Si Raja Parhusip malam ini. Kau akan tahu siapa dirimu sebenarnya.”
Ibunya melarang keras. Tapi Johan, didorong rasa penasaran dan keberanian yang mulai tumbuh dalam dirinya, tetap pergi.
Di tengah malam, di bawah langit Toba yang gelap dan berkabut, Johan melangkah menuju makam tua yang nyaris tak terawat. Di sana, berdiri sosok tua berjubah hitam dengan tongkat berukir kepala singa.
“Kau datang juga, pewaris darah lama,” ucapnya. Suaranya serak, tapi penuh wibawa.
“Siapa kau?”
“Ompu Boru Sinambela, dukun adat terakhir yang menyaksikan kehancuran margamu.”
Lalu ia menyuruh Johan duduk. Di hadapan batu nisan sang ayah, ia menaburkan abu dari kantung kecil, dan mulai menceritakan hal yang mengguncang:“Ayahmu dibunuh bukan oleh orang luar, Johan. Tapi oleh saudara sesama Batak. Karena iri. Karena takut dia akan menjadi
Raja Adat berikutnya. Mereka menuduhnya mengkhianat, tapi sebenarnya… mereka yang berkhianat. ”Johan menggertakkan gigi. “Siapa mereka?”
“Keturunan mereka masih ada. Dan beberapa di antaranya kini duduk sebagai tetua desa.”
Malam itu Johan tak bisa tidur. Ia kini tahu bahwa pengkhianatan masa lalu belum sepenuhnya hilang. Ia juga tahu, hidupnya akan berubah. Tapi ia tak ingin membalas dendam.Ia ingin keadilan.
Hari demi hari, Johan mendekati satu per satu orang tua di desa. Ia tidak menantang, tapi bertanya. Ia menggali cerita. Sedikit demi sedikit, kebenaran muncul ke permukaan.Sampai akhirnya, di upacara besar Pesta Bona Taon, Johan berdiri di tengah ratusan orang sambil membawa dua benda: Ulos ayahnya dan sebuah batu pusaka yang ia temukan di makam leluhur.
“Dulu,” katanya, “marga Si Ompusunggu dihancurkan bukan karena bersalah. Tapi karena takut. Takut pada perubahan. Hari ini, aku tidak minta balas. Tapi aku minta hak kami kembali—tempat kami di antara marga-marga yang lain.”Orang-orang hening. Beberapa menangis. Tetua yang dulu paling keras menolak Johan, kini menunduk.
Dan malam itu, untuk pertama kalinya dalam 40 tahun, gondang ditabuh untuk Si Ompusunggu.Johan berdiri, menatap langit Danau Toba yang cerah. Ia tahu, perjuangannya belum selesai. Kini, setiap kali orang menyebut nama Johan Si Ompusunggu, mereka tidak lagi menatap dengan curiga. Mereka menatap dengan hormat
Karena ia telah membuktikan bahwa:
Warisan bukan untuk dibanggakan semata, tapi untuk dijaga, ditebus, dan dihidupkan kembali. Dan bahwa marga, sebesar apapun sejarah kelamnya, selalu bisa ditegakkan kembali—bukan dengan kekerasan, tapi dengan keberanian, kebenaran, dan niat tulus untuk memperbaiki. Marga Yang hilang kini sudah Kembali
Selesai