Posted in

Sepucuk Cinta Ombus Ombus

Jill Avilla Perangin angin

Sastra Indonesia B 2022
https://www.instagram.com/jillavyl

“Beberapa luka mungkin terlihat sederhana, namun sakit nya selalu berasa. Kita tidak pernah bisa memilih takdir. Bagaimana mengubah nya?, bahkan aku tidak tau apa jawaban nya sampai sekarang.”

Beberapa luka mungkin terlihat sederhana, namun sakitnya selalu berasa. Mia tahu betul itu. Sejak kecil, hidupnya dipenuhi luka-luka yang tak sempat mengering. Luka yang karena ditinggal ibu yang memilih pergi tanpa kabar sejak ia masih berumur Tujuh tahun. Luka karena ayah yang wafat ketika ia masih terlalu kecil untuk mengerti arti kehilangan. Luka karena harus menjadi “ibu” bagi tiga adiknya, padahal usianya sendiri belum cukup untuk memahami semua isi dunia. Mia berkeringat baja sejak kecil. Hari-harinya bukan tentang bermain boneka atau belajar menari, tapi tentang menghitung sisa uang belanja dan cara membuat adik-adiknya kenyang dengan seiris singkong dan setengah bungkus mi instan yang bahkan mereknya bukan indomie.

Pagi itu, tubuh Mia demam. Kepalanya berat, pandangannya sedikit berputar putar, tapi tangannya tetap cekatan membungkus lima roti kacang, satu roti selai srikaya dan lima belas ombus-ombus, Ia tahu betul, kalau dia tidak jualan hari ini, adik-adiknya tak akan bisa makan. Dengan langkah pelan, ia susuri lorong pasar yang ramai, membawa tas rotan berisi jajanan buatan tangannya sendiri. Beberapa ibu rumah tangga menyapanya, membeli beberapa kue sambil bertanya kabarnya. Mia hanya tersenyum kecil. ‘‘Puji Tuhan, sadarion na larissan panjualan ku”. bou capnya tersenyum sambil menyodorkan uang kembalian kepada pembeli terakhir. Suaranya serak, bahkan tubuhnya yang hampir goyah tapi senyum itu tetap selalu terukir disana. Senyum seorang anak yang tak pernah diberi waktu untuk mengeluh.

Mia tak tahu seperti apa rasanya hidup tanpa beban. Menjadi santai dan tidak melakukan apa pun adalah kemewahan yang tak pernah ia rasakan. Sejak kecil, ia sudah dituntut dewasa. Sepulang sekolah, ia membantu tetangga menjual kue basah Dari sana, Mia belajar cara membuat bolu kukus, dadar gulung, dan tentu saja ombus-ombus. Ia menyukai kue itu bukan hanya karena rasanya yang manis, tetapi juga karena ayahnya pernah berkata: “Molo nga balga ho Mia, Marjualan ma ho kue ombus-ombus on, kue ni halak hita do i.” Hanya itu bakat warisan yang bisa di berikan oleh ayah nya kepada Mia, Kalimat itu terus ia genggam, bahkan setelah suara ayahnya hanya tinggal gema dalam ingatannya, ia mengamanahkan pesan terakhir ayahnya, semampunya.

Keluarga mereka berasal dari sebuah dusun kecil di pinggir Danau Toba. Ayahnya dulu seorang nelayan yang suka bernyanyi lagu Batak saat menarik jala. Mia ingat laku kesukaan Ayahnya adalah lagu boru Panggoaraan, ayah mungkin bermimpi Semua anaknya bisa bersekolah tinggi meskipun harapan itu akhirnya di patahkan oleh realita yang Ada. Mereka bukan keluarga kaya, tapi Mia ingat ia pernah merasakan bahagia. Hingga satu hari, ibunya pergi begitu saja meninggalkan mereka dengan alasan yang bahkan tidak pernah dijelaskan. Sejak itu, Mia berhenti menjadi anak-anak. Ia mencuci baju, memasak, membangunkan adik-adiknya untuk sekolah, lalu pergi menjajakan kue sambil menahan laparnya meski kadang kala ia memakan sisa kue yang Ada, rasanya akan selalu lapar, semua itu dilakukannya tanpa keluhan, hanya dengan doa yang ia bisikkan saat malam tiba: “Tuhan, jaga adikku, kalau aku harus jatuh.” Ucapnya membatin.

Tahun ini, Mia menginjak usia Delapan belas. Ia harusnya duduk di bangku SMA, mengenakan seragam putih abu dan belajar tentang impian. Tapi hidup terlalu mahal untuk dia beli dengan mimpi. Ia tak punya waktu belajar. Saat anak-anak lain sibuk merancang masa depan, Mia sibuk menghitung sisa tepung dan gula. Untuk menyambung kehidupan dia dan adiknya, meskipun begitu, ia masih sempat mengajarkan adik bungsunya menulis huruf batak, beberapa ungkapan lainnya. Menurut nya adik adiknya harus belajar sedikit agar bisa hidup di kerasnya dunia ini.

Mereka tertawa bersama, meskipun perut terasa sama-sama lapar. Mia dan adik adik nya biasa ikut memancing di danau untuk mencari lauk makanan namun Mia yang sulit membagi waktunya kadang hanya mendapat ikan yang hanya cukup untuk sekali atau dua kali makan. “Kita harus tahu asal kita,” katanya pada adiknya, “jangan malu jadi orang Batak, Sekali pun kita miskin ucap Mia, Teriaknya keras kembali menggema.

Sore itu hujan deras, setelah berkeliling dari gang ke gang, tubuh Mia limbung. Keringatnya dingin, dadanya sesak. Ia sempat duduk di bawah pohon beringin dekat Gereja Hkbp, menatap langit yang kelabu. “Tuhan,” gumamnya pelan, “kalau hari ini terakhirku, tolong beri makan adik-adikku besok.” Ia memeluk tas rotannya, kemudian nafasnya mulai tak beraturan. Dalam tas itu masih ada satu ombus-ombus terakhir yang belum sempat Mia jual.

Orang-orang kemudian menemukannya tergeletak di sana, dengan tangan menggenggam kuat tasnya, dan senyum kecil di bibir yang pucat. Mereka membawanya ke puskesmas terdekat, tapi nyawanya tak sempat tertolong. Kata dokter, tubuhnya kelelahan dan tidak kuat menahan infeksi lambung yang dibiarkannya terlalu lama. Tapi mereka tidak tahu betapa kuatnya anak itu selama ini menahan semua luka seorang diri.

Di rumah kecil dengan tembok bata, tiga adik Mia menunggu tanpa tahu bahwa kakak mereka tidak akan pernah pulang Mereka mengira Mia hanya sedikit lambat hari itu. Namun ketika beberapa bou dan tante serta tetangga datang dengan mata sembab dan tas rotan di tangan, tangis itu pecah. Di dalam tas, hanya ada uang hasil jualan, sisa roti yang masih hangat, dan satu ombus-ombus yang belum sempat dijual, kue terakhir yang dibuat dengan cinta seorang kakak.

***

Beberapa bulan kemudian, sebuah papan kecil dipasang di depan rumah mereka: “Ombus-Ombus Mia, “Manisnya Tak Pernah Mati.”Slogannya. Para tetangga membantu mereka melanjutkan usaha kecil itu. Kini, setiap orang yang membeli ombus-ombus di kampung itu akan tahu kisah tentang seorang gadis yang tak pernah berhenti di cintai Dan mencintai, bahkan hingga napas terakhirnya. Dan setiap gigitan kue itu, mereka bilang, terasa sedikit lebih hangat seolah olah Mia masih ada di sana, tersenyum menawarkan cinta dengan cita rasanya kemudian mengajarkan dunia arti kata “kuat” dengan caranya.

Seiring waktu, kisah Mia menjadi cerita yang diwariskan dari mulut ke mulut di desa itu. Guru-guru di sekolah mereka menceritakannya saat pelajaran moral, orang-orang tua mengulangnya kepada anak cucu mereka sebagai teladan, dan banyak perempuan muda di kampung itu kini percaya bahwa kekuatan tidak selalu datang dari otot atau suara keras tapi dari cinta yang diam-diam bekerja tanpa pamrih. Dari tangan yang mengasuh tanpa mengeluh. Dari hati yang memilih memberi, bahkan saat tak punya apa-apa.

Bertahun-tahun sejak kepergian Mia rumah kecil itu tak pernah benar-benar sepi. Wajah-wajah kecil yang dulu bergantung padanya kini mulai belajar berdiri sendiri, meski tertatih. Mereka menjaga resep buatan kakaknya seperti menjaga pusaka, mengaduk adonan dengan hati-hati, seolah di tiap takaran tepung dan gula, tersimpan secuil kenangan.

“Ombus-Ombus Mia” kini bukan lagi sekadar kue kampung. Ia berubah menjadi cerita. Menjadi pelajaran hidup, Menjadi pengingat bahwa cinta sejati seorang kakak kadang tak bersuara, tapi hadir dalam wujud paling sederhana dan dalam senyapnya pengorbanan, dalam hangatnya sepotong kue yang dibagi di tengah lapar tiba.

Anak-anak sekolah sering mampir ke lapak kecil di depan rumah itu, membeli kue sambil mendengar kisah tentang seorang kakak yang tak sempat mengenal masa mudanya.berlaga tangis untuk sepenggal kisah sedih, seorang gadis kecil yang memilih menjadi pelita bagi orang lain, meski harus membakar habis dirinya sendiri.

Mia tak pernah sempat bermimpi menjadi dokter, guru, atau penulis. Tapi kisah hidupnya telah menyembuhkan, mengajar, dan menuliskan makna baru tentang arti menjadi manusia. Ia membuktikan bahwa kita tak perlu besar untuk menjadi berarti. Tak perlu pangkat untuk menjadi pahlawan.

Dan bagi siapa pun yang menggigit ombus-ombus buatan adik-adiknya sekarang, ada rasa manis yang lebih dari sekadar gula merah. Ada jejak air mata dan tawa yang dulu ditinggalkan Mia. Yang akan selalu di ingat adik adik Mia, Ada semangat yang tidak ikut mati bersama jasadnya. Semangat yang terus berbisik.

“Hidup bukan tentang apa yang kita dapat, tapi tentang apa yang sanggup kita beri. Bahkan ketika tak ada apa-apa lagi yang tersisa.”

Karena dalam dunia yang sering melupakan hal-hal kecil, Mia adalah bukti bahwa cinta yang tulus sekecil apa pun tak akan pernah benar-benar hilang. Ia akan tinggal. Di ingatan. Di cerita. Dan dalam setiap ombus-ombus yang dibuat dengan cinta.

Salam Mia cepucuk cinta ombus ombus ~

TAMAT

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *