Posted in

Tepung Tawar Terakhir

Liyasa Fattah Nasution

Sastra Indonesia B 2022
https://www.instagram.com/liyasanst

Sore merambat pelan di Kampung Tanjung Pura, sebuah desa tua di tepian Sungai Asahan, Sumatera Utara. Angin dari sungai berembus membawa bau lumpur dan asin laut, menyusup ke sela-sela pohon kelapa dan rumah panggung kayu. Di ujung kampung, seorang perempuan tua bernama Mak Siti sedang menumbuk beras kunyit di dalam lesung batu, ditemani suara serangga senja dan desir dedaunan.

Di dalam rumah, Rafi, cucu laki-laki satu-satunya, menatap koper kecil di pojok kamar. Ia akan berangkat kuliah ke Medan malam ini, meninggalkan kampung halamannya demi mengejar cita-cita menjadi dokter. Ia diterima di universitas ternama di kota, sesuatu yang membuat bangga Mak Siti dan seluruh warga kampung.

Namun dadanya terasa sesak.

Aku takut, Mak,” ucap Rafi saat Mak Siti masuk membawa daun pandan dan sirih.

Mak Siti tersenyum kecil. “Takut itu biasa. Tapi jangan sampai kau lupa asalmu. Sebab siapa yang tak tahu asalnya, mudah hilang di mana pun dia berpijak.”

Ia duduk di samping cucunya. Tangan tuanya meraih kepala Rafi dan mengelusnya perlahan. “Nanti malam kita buat tepung tawar. Seperti waktu kau disunat dulu. Seperti waktu ayahmu hendak pergi ke laut yang terakhir kali.”

Rafi diam. Ia mengingat wajah ayahnya seorang nelayan yang tak pernah kembali dari pelayaran terakhir. Sejak saat itu, hanya Mak Siti yang menjadi rumah dan pelindung baginya.

Namun yang belum Rafi katakan adalah bahwa ia sedang bimbang. Bukan hanya takut meninggalkan kampung, tapi juga karena tawaran beasiswa dari lembaga luar negeri yang baru ia terima pagi itu. Sebuah kesempatan langka untuk belajar kedokteran di Singapura. Ia belum sanggup memberitahu Mak Siti.

Di satu sisi, impian menjadi dokter bisa lebih cepat tercapai. Di sisi lain, tawaran itu menuntutnya untuk pergi jauh lebih lama, dan lebih jauh dari akar tempatnya tumbuh.

Ritual di Bawah Cahaya Lampu Petromaks

Malam itu, rumah panggung Mak Siti terang oleh lampu petromaks dan sinar lilin. Di ruang tengah, tikar pandan digelar, dan Rafi duduk bersila dengan kain songket warna biru laut yang dibelikan Mak Siti seminggu lalu di pekan Tanjung Balai.

Perempuan-perempuan kampung membawa nampan berisi air bunga tujuh rupa, beras kunyit, kapur sirih, bunga rampai, dan limau purut. Laki-laki tua mengenakan teluk belanga dan kain pelikat. Seorang tok batin penjaga adat memimpin doa dalam bahasa Melayu pesisir yang kental, campuran antara kata-kata Arab dan bahasa kuno setempat.

Ya Allah, Tuhan Yang Maha Menjaga, lindungi anak ini di tanah seberang. Tabahkan hatinya, sehatkan tubuhnya, dan kuatkan jiwanya untuk kembali membawa ilmu.”

Satu per satu, tetua menyentuhkan jari ke air bunga, lalu ke tangan, bahu, dan ubun-ubun Rafi. Mereka menepuk pelan dengan daun sirih dan menaburkan beras kunyit sebagai lambang berkat dan restu.

Ketika giliran Mak Siti, suasana menjadi hening. Dengan suara gemetar tapi tegas, ia berkata, “Tepung tawar ini bukan sekadar adat, Rafi. Ini tali yang mengikat kau ke tanah ini. Ke sungai, ke laut, ke sejarah. Jangan kau potong tali itu.”

Air matanya jatuh saat daun sirih menyentuh kepala cucunya.

Rafi ingin bicara soal beasiswa itu. Namun kata-katanya tertahan. Ia hanya memeluk Mak Siti erat-erat.

Medan adalah dunia yang berbeda. Suasana hiruk pikuk kota, gedung tinggi, dan orang-orang dengan langkah cepat membuat Rafi sempat goyah. Namun setiap kali ia merasa kehilangan arah, ia mengingat suara Mak Siti, aroma bunga rampai, dan tepukan daun sirih di ubun-ubunnya.

Dilema terus mengganggu pikirannya. Ia tahu waktunya semakin sempit untuk menjawab tawaran dari luar negeri itu. Ia berdiskusi dengan dosen pembimbingnya, juga teman-teman dekatnya, tapi semua tak bisa memberi jawaban yang ia cari.

Puncaknya, di bulan ketiga, Mak Siti jatuh sakit. Surat kabar dari rumah datang bersama kabar itu. Rafi pulang diam-diam selama tiga hari, menjenguk Mak Siti yang terbaring lemah. Di situ, ia akhirnya mengungkapkan semuanya.

Mak Siti tak terkejut. Ia menatap cucunya dalam-dalam, lalu berkata, “Kalau kau harus pergi jauh, pergilah. Tapi pulanglah saat waktu memanggilmu. Ilmu tak kenal batas negeri. Tapi ingat, bukan negeri yang membesarkanmu.”

Air mata Rafi jatuh di telapak tangan neneknya.

Akhirnya, ia menolak tawaran luar negeri itu. Tidak karena takut, tapi karena ia telah memilih jalan pulang. Ia ingin menjadi dokter bukan demi nama besar, tapi demi memberi makna. Dan makna itu, ia temukan di antara riak Sungai Asahan dan doa Mak Siti.

Ia belajar dengan tekun. Tak jarang harus bekerja paruh waktu untuk mencukupi kebutuhan hidup. Ia menolak untuk menyerah. Ia ingin pulang membawa gelar, membawa perubahan, dan membawa kebanggaan untuk Mak Siti dan kampung halamannya.

Tiga Tahun Kemudian

Pagi itu, kabar gembira menggema di kampung: Dokter Rafi pulang. Ia baru menyelesaikan studi dan menolak tawaran kerja di kota. Ia ingin kembali, membuka klinik kecil di tanah kelahirannya. Ingin membantu orang-orang yang dulu hanya mengandalkan jamu atau pergi berobat ke kota dengan biaya tinggi.

Mak Siti sudah sangat renta. Tapi hari itu, ia kembali mengenakan kebaya kuning kunyitnya, duduk di beranda sambil menunggu iring-iringan motor dan becak datang dari pelabuhan kecil.

Namun takdir berkata lain. Beberapa kilometer dari pelabuhan, kendaraan yang membawa Rafi tergelincir di jalan licin karena hujan. Kecelakaan itu menewaskan Rafi di tempat. Ia tak sempat melihat wajah Mak Siti, tak sempat menginjak tanah yang dirindukannya selama tiga tahun.

Berita itu mengguncang kampung. Pekikan duka menggema dari ujung ke ujung. Mak Siti, yang telah menunggu dengan harap, hanya mematung. Air matanya tak mengalir, hanya tubuhnya yang perlahan merosot ke lantai beranda, memeluk kain songket biru laut yang telah ia siapkan untuk cucunya.

Pemakaman Rafi digelar dengan adat kampung. Tok batin memimpin doa dan ritual terakhir, dan kali ini, tepung tawar bukan untuk keberangkatan atau penyambutan, tapi sebagai pengantar pulang yang terakhir.

Mak Siti menepuk kepala jenazah cucunya dengan sirih dan beras kunyit, tangannya bergetar hebat. “Kau tetap pulang, Nak… Walau bukan seperti yang kuharap. Tapi janji sudah kau tepati.”

Hari itu, hujan turun membasahi Sungai Asahan. Di dalam rumah panggung yang hening, hanya tinggal harum limau dan daun pandan yang tersisa.

Langit malam itu kelabu. Bintang-bintang tertutup awan. Namun di hatinya, Mak Siti tahu, cucunya tak pernah pergi terlalu jauh. Bau sirih, limau, dan kunyit akan selalu membawa ingatan pulang, meski tubuh tak bisa lagi kembali.

Dan di antara doa-doa yang terus dipanjatkan, Mak Siti masih percaya: Tepung tawar terakhir itu bukan akhir, melainkan awal dari pulangnya jiwa yang tak pernah lupa tanah asal.

TAMAT

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *