Posted in

Di Bawah Naungan Dalihan Natolu

Cynthia Varissa Harefa

Sastra Indonesia A

Matahari baru saja menanjak ketika Damar kembali ke kampung halaman setelah lima tahun merantau ke Jakarta. Bukan karena ingin, tapi karena harus. Ayahnya, Opung Sori, telah wafat seminggu yang lalu, dan sebagai anak laki-laki satu-satunya dalam keluarga besar Harahap, ia wajib pulang, menghadiri mangupa dan mangulosi, serta mengambil peran penting dalam adat Dalihan Na Tolu.

Damar turun dari bus kecil yang mengantarnya ke Padangsidimpuan, lalu naik ojek menuju Desa Simarpinggan, desa kelahirannya yang terletak di kaki gunung Lubuk Raya. Desa itu tak banyak berubah, kecuali jalanan yang kini lebih rata dan beberapa rumah telah berganti cat cerah. Namun, satu hal yang tetap sama: tatapan para tetua, tajam dan penuh ekspektasi.

“Ho do anak sihaporas, na mangapuli parhundul-hundulan ni huta on,” kata Tulang-nya, Pak Panggabean, saat mereka bertemu di rumah duka.

Damar menunduk sopan. Ia tahu makna kata-kata itu: “Kau anak yang terpelajar, yang diharapkan membenahi hubungan antar keluarga dan kampung ini.”

Tulang adalah saudara laki-laki ibu, dan dalam falsafah Dalihan Na Tolu, ia termasuk siampudan, orang yang harus dihormati. Dalam struktur itu, Damar juga punya peran sebagai somba marhula-hula, tunduk dan patuh pada keluarga pihak ibu, sambil tetap memelihara hubungan baik dengan anak boru—pihak keluarga istri (jika ia sudah menikah).

Damar belum menikah. Dan justru itu yang menjadi pangkal masalah.

**

“Amang, kami sudah berdiskusi. Kau sudah cukup umur. Waktu Opung-mu masih hidup, ia sudah memilihkan calon. Anak dari keluarga Tanjung,” kata Pamannya, Abang tertua ayahnya yang kini menjadi raja parhata di keluarga mereka.

“Anak Tanjung?” Damar mengerutkan kening.

“Na jolma na denggan. Turunan raja-raja sipirok. Amang Tua-mu sudah bicara dengan hula-hula mereka. Tinggal engkau saja yang belum memberi jawaban.”

Damar menelan ludah. Di Jakarta, hatinya telah terlanjur terpaut pada seorang perempuan keturunan Jawa, bernama Ajeng. Mereka bertemu saat kuliah dan kini bekerja di perusahaan yang sama. Tapi ia belum berani bercerita pada siapa pun di kampung.

“Kenapa harus dipilihkan? Apakah aku tidak bisa memilih sendiri?” tanyanya pelan.

Sejenak, suasana berubah dingin. Tulang-nya memandangi Damar tajam, sementara Amang Tua menghela napas panjang.

“Dalihan Na Tolu bukan sekadar adat. Ia adalah pilar keharmonisan. Kau bukan hanya anak individu, tapi anak dari marga Harahap. Jika kau menikah dengan orang di luar adat, maka Dalihan Na Tolu pincang satu kaki. Siapa yang akan menjadi anak boru, siapa yang akan menjadi hula-hula? Apa kau ingin memutus mata rantai itu?”

**

Malam itu, Damar duduk di tepi halaman rumah. Udara dingin menusuk, tapi pikirannya lebih dingin. Ia mengingat perbincangan dengan Ajeng beberapa bulan lalu, ketika ia berkata ingin memperkenalkannya pada keluarga.

“Aku tahu kamu dari budaya yang kuat, Dam. Aku siap belajar. Tapi, bisakah kita tetap menjalani hidup sebagai kita, bukan hanya sebagai representasi adat?”

Saat itu Damar mengangguk. Tapi kini, di tengah tekanan keluarga, ia mulai ragu. Apakah mungkin menjembatani cinta dan adat?

**

Keesokan harinya, upacara adat mangulosi berlangsung. Damar, sebagai anak laki-laki, mendapat ulos ragi hotang dari hula-hula ibunya. Tangisan dan tawa bersahut-sahutan. Para tetua mengucap syair adat:

“Sai tibu do ulos ni roha, tu anak na marsangap; Sai rap do hata ni dongan, tu pariban na marsipangan.”

(Mudah-mudahan ulos dari hati ini jatuh kepada anak yang terhormat; mudah-mudahan rukunlah kata-kata antara teman dan saudara sepupu.)

Dalam tradisi Angkola, pariban—anak dari saudara ibu dan saudara ayah—dianggap jodoh terbaik karena menjaga silsilah dan kekeluargaan. Maka wajar jika Damar dijodohkan dengan gadis Tanjung, yang masih dalam lingkaran pariban.

Usai acara, ia memberanikan diri bicara dengan Tulang dan Amang Tua.

“Bolehkan saya bertanya satu hal, Amang?”

“Boleh, Amang.”

“Apakah Dalihan Na Tolu tidak bisa menerima orang luar suku sebagai bagian dari keluarga?”

Tulang-nya mengerutkan dahi. “Bisa. Tapi sulit. Butuh upacara khusus, dan pengakuan resmi dari raja parhata dan hula-hula. Kami khawatir, anak yang bukan dari adat kita, tidak akan mampu menjalani beban adat.”

“Bagaimana kalau dia bersedia belajar?”

Tulang dan Amang Tua saling pandang. Hening beberapa detik, sebelum suara berat Amang Tua terdengar.

“Kalau begitu, bawa dia ke mari. Biar kami lihat. Biar kami ajar. Tapi ingat, Amang, adat itu bukan hanya aturan. Ia adalah jalan hidup. Kalau dia hanya sekadar datang, lalu pergi tanpa mau bersatu hati dengan Dalihan Na Tolu, maka kita semua yang rugi.”

**

Damar kembali ke Jakarta dengan hati bercampur harap dan takut. Ia menceritakan semuanya kepada Ajeng.

“Jadi… kamu ingin aku datang ke kampungmu dan ikut belajar adat?” tanya Ajeng.

“Ya. Bukan untuk dipaksa jadi Batak. Tapi untuk menunjukkan bahwa kamu menghormati adatku.”

Ajeng terdiam lama. Lalu akhirnya mengangguk. “Kalau itu penting buat kamu dan keluargamu, aku mau. Tapi jangan paksa aku jadi orang lain. Aku ingin diterima sebagai diriku.”

**

Dua bulan kemudian, Ajeng tiba di Simarpinggan. Berbaju kebaya sederhana, ia menyapa Tulang dan hula-hula dengan sopan. Ia bahkan belajar beberapa ungkapan Batak, dan mendengarkan cerita adat dengan penuh perhatian.

Keluarga besar Harahap perlahan mencair. Ajeng tidak sempurna dalam ucapan, tapi tulus dalam sikap.

Saat rapat parhata dilakukan, suara Tulang terdengar lebih lembut.

“Anak ni boru Jawa on, memang bukan pariban, bukan na martutur Batak. Tapi rohana somba, hatana jujur. Sai jadi do anak boru nami.”

(Anak perempuan dari Jawa ini memang bukan saudara, bukan dari garis Batak. Tapi hatinya hormat, ucapannya jujur. Biarlah jadi anak boru kami.)

**

Pernikahan mereka akhirnya dilangsungkan secara adat dan nasional. Dalam upacara itu, Ajeng mendapat ulos pinuncaan, tanda bahwa ia telah diterima dalam tatanan Dalihan Na Tolu sebagai istri, sebagai boru, dan sebagai bagian dari marga Harahap.

Damar menatap Ajeng dari kejauhan, saat gadis itu dengan gugup tapi percaya diri menyambut ulos dari hula-hula-nya. Di hatinya, ia tahu satu hal pasti: adat tidak harus menjadi tembok. Ia bisa jadi jembatan, selama dijalani dengan cinta dan rasa hormat.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *