Posted in

Kenangan Kelam di Ladang Bunga

Eyme Nanda Vechihota Br. Sitepu

Sastra Indonesia B 2022

Langit di atas Desa Lingga mendung, seolah ikut berduka atas kepergian Boru Tarigan ibu dari Genta. Jalan tanah becek setelah hujan, dan aroma kayu basah bercampur bunga kopi yang mulai mekar memenuhi hidung Genta begitu ia turun dari mobil sewaan. Ia berdiri memandangi rumah panggung yang dulu ia tinggalkan lima belas tahun lalu. Tak ada yang benar-benar berubah, hanya lebih sunyi. Atapnya masih berlapis ijuk, dinding kayu nya mulai lapuk, dan di terasnya tergantung Uis Nipes yang sekarang lebih mirip kain tua ketimbang simbol adat.

Genta menarik napas dalam. Ada gemuruh kecil dalam dadanya, seperti suara gempa dari masa lalu yang belum selesai berdentum.

“Lain kel kuakap aku, padahal bas rumahku nge aku…” bisiknya lirih.
(Aku merasa asing, padahal ini rumahku.)

Seorang lelaki tua berdiri di samping rumah, mengenakan gotong (ikat kepala khas Simalungun) dan memegang tongkat kayu. Ia adalah Kalak Simalungun, tetangga sekaligus sahabat ayah Genta.

“Genta, nggo ndekah kam la kuidah,” katanya pelan sambil mengangguk hormat.
(Genta, sudah lama tak melihatmu.)

Genta membalas dengan anggukan kaku. Ia tak tahu harus bicara apa. Lidahnya kelu oleh perasaan bersalah yang tak pernah ia sampaikan kepada siapa pun. Ia datang hanya untuk satu hal memakamkan ibunya, lalu pergi lagi sejauh mungkin dari tanah ini. Tapi tanah ini… tak semudah itu melepaskannya.

Malam pertama di rumah itu begitu sunyi. Angin menderu dari sela-sela papan, dan suara jangkrik terdengar seperti nyanyian duka. Di ruang tamu, tongkat kayu tua tergantung di atas pintu. Tongkat itu tongkat panaluan yang dulu digunakan dalam ritual pengusiran roh jahat.Genta menggigit bibir. Ia ingat betul malam saat tongkat itu digunakan dalam upacara penyembuhan setelah tragedi kebakaran yang menewaskan Rena, sahabat kecilnya.

Dan sejak malam itu, hidupnya tak pernah sama lagi.

(Halaman 2)

Keesokan harinya Genta terbangun dari tidurnya dengan napas terengah. Dadanya berdebar hebat. Dalam mimpi, ia melihat ladang bunga terbakar. Api menjilat bunga mawar dan kenanga yang dulu ia tanam bersama Rena di belakang sekolah. Di tengah kobaran itu, seorang anak perempuan berdiri diam. Matanya hitam, kulitnya legam terbakar, dan mulutnya berbisik.

“Labo salah ndu, Genta… lang salah ndu…”
(Bukan salahmu, Genta… bukan salahmu…)

Ia bangkit dari tikarnya, wajah penuh keringat dingin. Di luar, angin menderu keras, dan pohon jeruk tua di halaman seperti melambai-lambai dalam kegelapan. Ia menatap bayangan sendiri di cermin tua warisan ibunya. Mata itu mata yang dulu penuh rasa ingin tahu kini seperti kolam lumpur yang menyembunyikan terlalu banyak luka.

Keesokan paginya, ia berjalan menyusuri gang kecil menuju pasar. Beberapa orang masih mengenalinya, tapi sapaan mereka penuh hati-hati. Ia tahu mereka membicarakan masa lalu. Kabar tentang Rena dan Genta tak pernah benar-benar hilang dari kampung ini. Di dekat lapak sayur, ia bertemu Nande Riris, yang dulunya menjadi guru TK-nya.

“Inget ndu dengan anak ah, Genta? Usur sungkun Rena,Ja Genta?Bas ja Genta?Nggo mulih Ia?”. Saut Inang Riris sambil menegur.
(Masih ingat anak itu, Genta? Rena selalu tanya, ‘Mana Genta? Genta di mana? Sudah pulang?’)

Genta hanya bisa tersenyum kecil. Lidahnya kelu.

Setelah membeli beberapa bunga dan air, ia berjalan ke belakang rumah ke tempat yang sudah lama tak disentuh, ladang bunga Rena. Dulu, ladang itu milik orangtua Rena. Tapi setelah kebakaran, tanah itu dibiarkan terbengkalai, ditumbuhi ilalang tinggi dan rumput liar. Ketika ia melangkah ke dalamnya, udara di sekeliling terasa lebih dingin.

Di tengah ladang, di bawah pohon meranti yang sudah keropos, ia menemukan sesuatu. Sebuah gelang kayu kecil dengan ukiran bunga di sisinya, setengah terkubur tanah. Genta memungutnya dengan tangan gemetar. Itu milik Rena. Ia tahu betul karena dialah yang dulu membuatkannya sebagai hadiah ulang tahun.

Dan saat jemarinya menyentuh gelang itu, ia mendengar suara samar yang tak asing:

“Pikirken ndu lah aku…”
(Pikirlah tentang aku…)

 (Halaman 3)

Genta menatap gelang kayu itu lama sekali, seolah benda kecil itu mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan yang telah lama ia kubur. Angin berdesir perlahan, membawa aroma kenanga yang tak seharusnya ada di ladang yang terbengkalai ini. Ia merinding. Udara di sekelilingnya mendadak lebih sunyi dari biasanya, seperti alam ikut menahan napas.

Di sekeliling pohon meranti, rerumputan terinjak seperti ada yang baru saja lewat. Genta menoleh cepat, tapi tak ada siapa pun. Ia menunduk, lalu meletakkan gelang itu di saku jaketnya. Langkahnya berat saat ia kembali ke rumah. Di kepalanya, suara itu masih menggema “Pikirken ndu lah aku…”suara Rena yang telah lama mati, tapi kini hidup kembali dalam benaknya.

Malamnya, Genta duduk di ruang tengah. Ia menyalakan lampu teplok dan lilin seperti yang biasa dilakukan ibunya saat menggelar ngayu-ngayu, ritual refleksi dari rasa syukur dan ketenangan jiwa. Di depannya, ia meletakkan gelang kayu dan sebatang kemenyan. Asap tipis mengepul naik, menari di udara, menciptakan bayangan yang membentuk wajah samar.

“Kalau memang kau masih di sini, Rena… aku minta maaf,” gumamnya pelan. 

“Hari itu aku… aku takut. Aku lari. Aku tinggalkan kau di rumah itu sendirian.”

Suara pintu berderit pelan. Tidak ada angin. Tidak ada orang.

Genta beranjak pelan. Saat ia menoleh ke arah pintu dapur, ia melihat sosok perempuan berdiri di ambang pintu. Tubuhnya kurus, rambutnya panjang menjuntai, dan matanya gelap seperti lubang tak berdasar. Genta mundur, dadanya sesak. Tapi sosok itu tak bergerak. Ia hanya berdiri. Menatapnya. Lalu pelan-pelan membuka mulutnya.

“Genta… La pernah aku ercian kel banndu…”
(Genta… aku tak pernah membencimu…)

Suara itu seperti gema dari dalam tanah. Dalam sekejap, tubuh Genta terasa berat. Lututnya lemas, dan ia terjatuh duduk. Ketika ia menatap lagi ke arah sosok itu, sudah tak ada siapa-siapa. Hanya pintu yang bergoyang perlahan, dan api lilin yang menari lebih liar dari sebelumnya.

Untuk pertama kalinya sejak bertahun-tahun lalu, Genta menangis. Bukan hanya karena takut. Tapi karena hatinya mulai terbuka untuk menerima kebenaran,bahwa ia telah menyimpan luka, dan Rena mungkin atau entah apa masih menunggu maaf itu sejak lama.

 (Halaman 4)

Keesokan paginya, Genta bangun dengan perasaan yang jauh lebih ringan, meskipun ingatan tentang malam itu masih menggerogoti pikirannya. Ia tahu bahwa kedatangan Rena dalam bentuk bayangan bukan sekadar kebetulan. Ada sesuatu yang belum selesai, dan itu membutuhkan penutupan. Genta memutuskan untuk melakukan apa yang dulu tidak ia lakukan, kembali ke ladang bunga tempat Rena meninggal.

Ia membawa sebuah tongkat panaluan yang tergantung di dinding rumah. Tongkat itu dulu dikenakan oleh kakeknya dalam upacara adat, dan konon, tongkat tersebut memiliki kekuatan untuk mengusir roh jahat dan membawa kedamaian bagi yang masih berduka. Genta tahu ia harus melakukan sesuatu yang lebih dari sekadar berdoa. Ia harus menghadapinya.

Ladang bunga itu kini berbeda. Tanahnya lebih gersang, dan tak ada lagi bunga kenanga yang dulu ia tanam bersama Rena. Semua yang ada hanyalah ilalang dan semak-semak liar. Genta berdiri di tengah-tengah ladang, memejamkan mata, dan memusatkan pikirannya pada setiap kenangan yang terhubung dengan tempat ini.

“Timai…”
(Tunggu…)

Suara itu, lagi. Kali ini lebih jelas. Ia membuka matanya dan memandang sekitar, seolah mencari asal suara itu. Tak ada siapa pun. Hanya dirinya, ladang yang luas, dan angin yang berhembus lembut.

Dengan hati-hati, Genta mendirikan tongkat panaluan itu, menutup wajahnya dari dunia luar. Ia duduk bersila di tanah, menutup matanya lagi, dan mulai mengucapkan mantra dalam bahasa Karo yang dipelajari dari kakeknya.

“Kerina si enggo-enggo,si ngga benei,mari reh kena ras kami gelah na damai…”
(Semuanya yang telah hilang, yang tersembunyi, mari datang bersama damai…)

Saat ia mengucapkan kata-kata itu, udara di sekelilingnya terasa semakin dingin. Tiba-tiba, bayangan di hadapannya mulai terbentuk. Bayangan itu semakin jelas seorang gadis muda, wajahnya yang tak asing, dengan rambut panjang menjuntai. Itu adalah Rena.

Ia berdiri di sana, tak berbicara, hanya menatap Genta dengan mata yang seolah menyimpan semua kenangan dan penyesalan. Genta menundukkan kepala, dan untuk pertama kalinya, ia merasa bisa berbicara dengan jujur kepada dirinya sendiri.

“Rena… aku minta maaf. Aku takut. Aku takut kehilanganmu. Aku… aku tak tahu harus berbuat apa. Aku lari karena itu lebih mudah. Tapi aku tahu, selama ini aku melarikan diri dari diriku sendiri,” kata Genta dengan suara serak.

Rena tersenyum, wajahnya yang dulu ceria kini hanya bayangan, namun senyum itu membawa kedamaian. Ia mengulurkan tangannya, namun tidak menyentuh Genta. Bayangannya mulai memudar, dan suara angin terdengar pelan.

“Lang pernah aku merawa, Genta. Lapernah aku lawes. Kam lalap bas jenda.”
(Aku tidak marah, Genta. Aku tidak pernah pergi. Kau akan selalu ada di sini.)

Seketika, bayangan itu hilang, dan ladang kembali sunyi. Genta membuka matanya, meletakkan tongkat panaluan di sampingnya, dan merasa ada sesuatu yang mengalir dalam dirinya. Ada ketenangan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.

Ia berdiri, menatap ladang itu sekali lagi, lalu berlutut di atas tanah. Genta mulai menanam kembali bunga kenanga dan mawar, bunga yang dulu mereka tanam bersama. Tanah yang dulu kering dan terbakar kini terasa hidup kembali. Seperti hati Genta, yang perlahan-lahan mulai menerima kenyataan bahwa ia tidak bisa melarikan diri selamanya.

 (Halaman 5)

Beberapa minggu setelah ritual itu, Genta merasa ada perubahan dalam dirinya. Ia tidak lagi terjebak dalam bayang-bayang masa lalu yang kelam. Keputusan untuk tinggal di Desa Lingga lebih lama mulai terlihat sebagai langkah yang tepat. Meskipun suasana desa masih terasa berat dengan kenangan lama, Genta merasa lebih dekat dengan tanah kelahirannya. Ladang bunga yang dulu terbengkalai kini mulai dihiasi dengan tanaman baru yang ia tanam sendiri kenanga, mawar, dan sedikit anggur bali yang ia beli dari pasar. Setiap pagi, ia merawat ladang itu, dan setiap malam ia bermeditasi di sana, berbicara kepada diri sendiri tentang pengampunan dan ketenangan.

Pagi itu, di bawah pohon meranti yang sudah berakar kuat, Genta menggali tanah dan menanam bibit baru. Tidak ada lagi ketakutan dalam dirinya. Hanya ada kedamaian yang menyelimuti setiap langkahnya. Sesekali, ia mengingatkan diri untuk tidak menghindari rasa sakit, karena itu adalah bagian dari proses penyembuhan.

Di sebuah meja kecil di ruang tamu rumah tua, Genta menyusun rencana baru. Ia menghabiskan waktu untuk membuka klinik kecil di desa, yang bertujuan untuk membantu orang-orang yang terjebak dalam kesulitan emosional dan trauma termasuk dirinya sendiri. Setiap kali ada yang datang bercerita tentang kehilangan, tentang ketakutan, Genta tidak hanya memberikan nasehat. Ia memberi mereka ruang untuk mendengarkan diri mereka sendiri, seperti yang ia lakukan dengan dirinya sendiri di ladang bunga itu.

Hari demi hari, Genta merasa semakin kuat, seolah tanah ini telah menyerap luka-lukanya, menggantinya dengan kekuatan yang tak terlihat. Seperti ladang bunga yang perlahan kembali mekar, ia pun kembali menemukan rasa damai yang dulu hilang.

Pada suatu sore yang tenang, Genta duduk di tepi ladang, menatap ke arah langit. Langit tampak berwarna oranye kemerahan, dan udara terasa segar. Ia teringat pada ibu dan Rena. Ia tahu mereka ada di sini di dalam setiap bunga yang tumbuh, dalam setiap angin yang berhembus, dan dalam setiap kenangan yang kini bisa ia terima tanpa rasa sakit.

“Aku kembali, Rena. Aku kembali untuk tinggal, untuk membuka hati yang lama terkunci,” bisiknya pelan. Ia menatap ladang yang kini dipenuhi bunga kenanga dan mawar. Bunga-bunga itu, seperti dirinya, telah kembali tumbuh, meski melalui perjalanan yang berat. Namun kini, Genta tahu bahwa ia tak lagi sendiri. Masa lalu telah menerima dirinya, dan kini saatnya ia merangkai hidup baru.

Dengan sebuah senyum, Genta menutup mata, membiarkan angin mengelus wajahnya. Ia merasa damai, seolah seluruh desa ikut menyambutnya kembali dengan penuh cinta dan pengampunan. Ladang bunga yang dulu menjadi saksi bisu dari sebuah tragedi kini berubah menjadi tempat penyembuhan, tempat ia menemukan kembali dirinya.

Dan di antara setiap kelopak bunga yang tumbuh, Genta tahu bahwa bayang-bayang masa lalu tidak akan pernah benar-benar pergi. Namun, sekarang ia bisa melihatnya dengan cara yang berbeda sebagai bagian dari perjalanan hidup yang penuh makna.

TAMAT

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *