Di sebuah warung kopi tubruk di Panyabungan, Mandailing Natal, tiga orang pria paruh baya duduk melingkar sambil menyeruput kopi hitam pekat dari gelas kecil. Asap mengepul dari rokok kretek yang mereka hisap, bercampur dengan aroma kopi yang khas.
“Dengar-dengar anak si Amang Siregar sudah kerja di Jakarta,” ujar Pak Tua Lubis sambil mengaduk-aduk kopinya dengan sendok kecil.
“Baginda namanya. Pintar anak itu, dapat beasiswa S2 di UI,” sahut Pak Doli Nasution. “Tapi kasihan juga, harus meninggalkan kampung halaman.”
Pak Amang Siregar, ayah Baginda, hanya tersenyum tipis. “Begitulah nasib anak Mandailing. Harus merantau untuk mencari kehidupan yang lebih baik. Tapi saya berpesan padanya, jangan lupakan asal-usul dan jangan malu dengan identitas kita.”
“Betul itu,” angguk Pak Tua. “Di luar sana, orang suka menggeneralisasi. Katanya orang Mandailing itu pelit, perhitungan. Padahal kita cuma hemat dan punya prinsip.”
“Mudah-mudahan anak-anak kita yang merantau bisa membuktikan bahwa stereotip itu salah,” harap Pak Doli sambil meneguk kopinya habis.
Pak Amang menatap jauh ke arah jalan yang menuju ke luar kota. “Saya yakin Ginda akan baik-baik saja. Anak itu sudah saya didik dengan nilai-nilai kita. Siapa tahu, dia malah akan membawa pulang menantu untuk kita,” ucapnya sambil tertawa kecil, tidak tahu bahwa doanya akan segera terkabul dengan cara yang tak terduga.
“Manipol ya?” Celetuk Rini sambil tertawa ringan. “Ketemu Mandailing ya hati-hati dompet kosong.”
Sepasang mata Baginda Siregar langsung menyipit. Sudah ratusan kali pemuda keturunan Mandailing itu mendengar lelucon semacam ini. Manipol—Mandailing Polit, julukan yang dilontarkan pada etnis Mandailing dengan stereotip pelit dan perhitungan.
“Maaf, Pak Haji tidak terima lelucon berbau SARA,” jawab Baginda setengah bercanda, setengah kesal.
Mereka bertemu di kantin kampus Universitas Indonesia. Baginda—yang akrab dipanggil Ginda—adalah mahasiswa S2 Administrasi Fisika, sedangkan Rini baru saja selesai sidang tesis S2 Komunikasi Politik.
“Santai, Gin. Kawan saya banyak yang dari Mandailing. Mereka bilang sendiri begitu,” ujar Rini sambil menyeruput es teh manisnya. “Lagian aku cuma bercanda.”
“Tidak semua stereotip itu lucu, Rin. Kami memang hemat, tapi bukan berarti pelit. Orang Mandailing itu pekerja keras, kami tidak suka membuang-buang hasil kerja keras.” Ginda menjelaskan dengan tenang, meskipun dalam hati masih sedikit tersinggung.
Rini terdiam sejenak, menyadari bahwa candaannya mungkin sudah kelewatan. “Maaf, Gin. Tidak bermaksud menyinggung.”
“Sudahlah, mungkin bagi kamu yang tumbuh di Jakarta dan dari keluarga berada, hemat dan berencana itu aneh. Apalagi dengan stereotip Sumatera Utara yang suka bicara blak-blakan,” ujar Ginda sambil tersenyum tipis.
“Hei, jangan bawa-bawa Jakarta dong! Kita juga punya stereotip sendiri,” protes Rini.
Pertemuan pertama yang kurang mengenakkan itu berlanjut menjadi perdebatan panjang tentang stereotip etnis di Indonesia. Awalnya agak tegang, namun lama-kelamaan mereka mulai menikmati diskusi tersebut. Dari satu topik melebar ke topik lain, dari diskusi serius hingga obrolan ringan tentang film dan musik.
Tanpa sadar, waktu berlalu begitu cepat. Kantin kampus sudah mulai sepi ketika Ginda melirik jam tangannya.
“Astaga, sudah jam lima! Aku harus pulang,” ujar Rini panik. “Ibu kost saya kalau sudah malam suka curiga.”
“Biar kuantar,” tawar Ginda spontan.
“Serius? Tapi rumah kostku di Depok lho,” Rini memperingatkan.
Ginda tertawa kecil. “Memangnya kenapa? Aku juga tinggal di Depok kok.”
“Tapi nanti bensinnya habis. Manipol loh,” goda Rini sambil tertawa, kali ini dengan nada yang jelas bercanda.
“Justru karena Manipol, aku punya rencana. Kita bisa naik KRL, lebih hemat dan ramah lingkungan,” balas Ginda sambil tersenyum hangat.
Tiga bulan berlalu sejak pertemuan pertama mereka. Ginda dan Rini semakin dekat. Mereka sering menghabiskan waktu bersama di perpustakaan kampus, berdiskusi tentang tesis masing-masing, atau sekadar makan siang bersama.
Rini mulai mengenal sosok Ginda yang berbeda dari stereotip yang ia pegang sebelumnya. Ginda memang hemat dan penuh perhitungan dalam mengelola keuangan, tetapi ia sangat dermawan ketika menyangkut hal-hal yang penting.
“Gin, kalau boleh tahu, berapa persen sih dari gajimu yang kamu tabung?” tanya Rini suatu hari ketika mereka sedang makan siang di warteg langganan mereka.
“Sekitar 40 persen,” jawab Ginda tanpa ragu. “20 persen untuk keluarga di kampung, 10 persen untuk sedekah, sisanya baru untuk kebutuhan sehari-hari dan makan di luar.”
Rini terkesiap. “40 persen? Itu banyak sekali.”
“Tradisi kami begitu, Rin. Hidup sederhana, tapi tidak pelit untuk hal-hal yang penting,” jelas Ginda. “Ayahku dulu berpesan, ‘Hemat pangkal kaya, rajin pangkal pandai.’ Kami sering dikira pelit karena tidak suka pamer kekayaan atau membuang-buang uang.”
“Tapi kan sedekah 10 persen itu justru banyak. Kenapa orang-orang malah bilang Manipol?” tanya Rini penasaran.
Ginda tersenyum. “Karena yang terlihat hanya penampilan luarnya saja. Orang Mandailing tidak suka pamer kebaikan. Sedekah ya sedekah, tidak perlu diumumkan.”
Sore itu, Ginda mengajak Rini ke rumah kontrakannya di Beji, Depok. Ginda tinggal bersama tiga temannya yang juga mahasiswa S2 UI. Rumah sederhana itu tertata rapi, meskipun perabotannya tidak banyak.
“Maaf ya rumahnya sederhana,” ujar Ginda saat membukakan pintu untuk Rini.
“Ini sudah bagus kok. Rapi lagi,” puji Rini tulus.
Di ruang tamu, mata Rini tertuju pada sebuah papan berisi jadwal dan daftar keuangan yang ditempel di dinding.
“Itu apa, Gin?” tanya Rini penasaran.
“Oh, itu jadwal patungan dan pembagian tugas rumah. Kami berempat ada sistem rotasi untuk belanja, masak, dan bersih-bersih. Jadi semuanya adil dan teratur,” jelas Ginda.
Rini mengangguk kagum. “Pantas rumahnya bersih. Di kost putriku mah berantakan.”
“Begitulah kami. Semuanya harus terencana dan teratur. Bukan pelit, tapi efisien,” ujar Ginda sambil tersenyum.
“Kalau begini sih, julukan Manipol harusnya jadi kebanggaan ya. Mandailing yang pandai mengelola,” komentar Rini.
“Nah, itu baru benar!” Ginda tertawa.
Keduanya menghabiskan sore dengan mengobrol dan memasak bersama. Ginda membuktikan bahwa hemat tidak berarti tidak bisa bersenang-senang. Ia mengajari Rini cara membuat arsik, makanan khas Mandailing, dengan bahan-bahan sederhana namun tetap lezat.
Enam bulan kemudian, hubungan Ginda dan Rini semakin serius. Ginda memutuskan untuk memperkenalkan Rini kepada keluarganya di Panyabungan, Mandailing Natal, Sumatera Utara.
“Kamu yakin mereka akan suka padaku?” tanya Rini cemas saat mereka dalam perjalanan dengan bus dari Medan menuju Panyabungan.
“Tentu saja. Kenapa tidak?” Ginda balik bertanya.
“Yah, aku kan bukan orang Mandailing. Bukan Nasution, Lubis, atau Siregar,” jawab Rini ragu.
Ginda menggenggam tangan Rini erat. “Jaman sudah berubah, Rin. Orang tuaku sangat terbuka. Mereka lebih peduli kamu orangnya seperti apa, bukan dari mana asalmu.”
Sesampainya di Panyabungan, Rini disambut hangat oleh keluarga Ginda. Rumah panggung khas Mandailing yang besar itu ramai oleh sanak saudara Ginda yang ingin bertemu dengan “calon menantu dari Jakarta”.
“Jadi ini Rini yang sering dibicarakan Ginda,” sambut Ibu Ginda dengan senyum hangat. “Cantik ya, pantas Ginda betah di Jakarta.”
Rini tersipu malu, sementara Ginda hanya tersenyum canggung.
Selama seminggu di Panyabungan, Rini belajar banyak tentang budaya Mandailing. Ia belajar bahwa orang Mandailing sangat menghargai kekerabatan dan gotong royong. Sistem dalihan na tolu (tungku yang berkaki tiga) menjadi landasan hubungan sosial mereka, di mana semua anggota masyarakat terhubung dalam sistem kekerabatan yang saling menghormati.
Rini juga mengerti kenapa orang Mandailing terkenal hemat dan penuh perhitungan. Di tanah kelahirannya, mereka harus bekerja keras untuk bertahan hidup. Kehematan adalah bentuk penghargaan terhadap hasil kerja keras tersebut.
“Uda Ginda itu sangat bertanggung jawab,” cerita Lia, adik perempuan Ginda, suatu sore ketika mereka sedang mencuci piring. “Sejak Ayah sakit-sakitan, dia yang membiayai sekolah kami semua. Meskipun gajinya tidak seberapa, tapi dia selalu mengirim uang tepat waktu.”
Rini tertegun. “Jadi itu alasan dia sangat hemat?”
Lia mengangguk. “Dia sangat pandai mengatur keuangan. Dari kecil sudah rajin menabung. Kami sering menertawakannya dulu, tapi sekarang kami bersyukur. Berkat dia, aku dan adik-adik bisa sekolah hingga kuliah.”
“Dia tidak pernah cerita,” gumam Rini.
“Dia tidak suka membicarakannya. Katanya itu kewajiban sebagai anak sulung,” jelas Lia.
Malam terakhir di Panyabungan, keluarga Ginda mengadakan acara makan malam spesial. Berbagai hidangan khas Mandailing tersaji di meja: gulai ikan arsik, saksang, rendang sapi, dan aneka sayuran. Tidak ada yang “pelit” dalam jamuan tersebut.
Setelah makan malam, ayah Ginda meminta waktu berbicara berdua dengan Rini. Dengan sedikit cemas, Rini mengikuti pria paruh baya itu ke beranda rumah.
“Rini, apa pendapatmu tentang stereotip Manipol?” tanya ayah Ginda langsung.
Rini terkejut dengan pertanyaan tersebut, namun ia menjawab dengan jujur. “Awalnya saya juga percaya stereotip itu, Om. Bahkan saya pernah mengejek Ginda dengan sebutan itu. Tapi setelah mengenal Ginda dan keluarga di sini, saya mengerti bahwa itu hanya kesalahpahaman.”
Ayah Ginda tersenyum puas. “Bagus. Kami memang diajarkan untuk hidup hemat dan tidak boros. Tapi kehematan itu punya tujuan, bukan karena pelit.”
“Saya mengerti sekarang, Om,” jawab Rini.
“Dan satu lagi,” tambah ayah Ginda, “kami juga diajarkan untuk menjaga komitmen dengan sungguh-sungguh. Kalau sudah berjanji, harus ditepati. Itulah prinsip hidup kami.”
Rini mengangguk, mulai memahami ke mana arah pembicaraan ini.
“Ginda sudah bercerita banyak tentangmu. Dia serius denganmu. Apakah kamu juga serius dengannya?” tanya ayah Ginda to the point, khas orang Mandailing yang blak-blakan.
“Saya sangat serius dengan Ginda, Om,” jawab Rini mantap.
“Bagus. Karena di keluarga kami, kalau sudah membawa seseorang ke rumah, artinya sudah siap untuk melangkah ke tahap selanjutnya,” ujar ayah Ginda sambil tersenyum.
Enam bulan kemudian, Ginda dan Rini melangsungkan pertunangan sederhana di Jakarta. Acara dihadiri oleh keluarga kedua belah pihak dan beberapa teman dekat.
“Ternyata Manipol itu bukan pelit, tapi pintar mengelola,” bisik Rini pada Ginda saat mereka berdiri bersama menyambut tamu.
“Sudah kubilang kan? Kami hemat untuk hal-hal yang tidak penting, tapi royal untuk hal-hal yang bernilai,” jawab Ginda sambil mengedipkan mata.
“Seperti pernikahan kita nanti?” goda Rini.
“Tepat. Untuk itu, aku sudah menabung sejak lama,” Ginda menggenggam tangan Rini erat. “Tapi yang paling berharga bukan pesta mewahnya, melainkan komitmen kita untuk hidup bersama.”
Rini tersenyum haru. Di balik julukan Manipol yang kerap dijadikan bahan lelucon, ia menemukan sosok yang bertanggung jawab, pekerja keras, dan penuh kasih sayang. Stereotip yang dulu ia pegang erat kini luruh, digantikan oleh pemahaman dan penghargaan terhadap budaya yang berbeda.
“Aku mencintaimu, Manipol-ku,” bisik Rini dengan nada menggoda.
“Aku juga mencintaimu, gadis Jakarta yang boros,” balas Ginda sambil tertawa kecil.
Dan begitulah, cinta mereka tumbuh di atas perbedaan, mengatasi stereotip, dan membuktikan bahwa di balik julukan ada kisah yang lebih dalam untuk dipahami.
Lima tahun kemudian…
Di warung kopi tubruk yang sama di Panyabungan, tiga orang pria paruh baya kembali duduk melingkar. Kali ini, mereka disertai oleh seorang pria muda dan seorang wanita yang sedang menggendong bayi.
“Jadi begitulah ceritanya, Pak Tua,” ujar Baginda sambil menyeruput kopi tubruknya. “Rini dulu juga percaya stereotip Manipol itu. Tapi sekarang, dia malah yang paling rajin mengatur keuangan keluarga.”
Rini tertawa sambil menimang-nimang bayinya. “Belajar dari suami. Ternyata hemat itu bukan berarti pelit. Kami bisa nabung untuk beli rumah dan biaya melahirkan tanpa utang.”
“Nah, itu dia,” sahut Pak Doli Nasution. “Anak muda sekarang mulai mengerti. Kehematan itu investasi untuk masa depan.”
Pak Tua Lubis mengangguk sambil mengamati cucu Pak Amang yang sedang tertidur nyenyak. “Mudah-mudahan anak ini nanti juga bangga dengan warisan budaya kita. Tidak malu menjadi orang Mandailing.”
“Pasti,” jawab Ginda mantap. “Kami akan mengajarinya nilai-nilai tradisional, tapi juga membukakan pikirannya untuk menerima perbedaan.”
Pak Amang tersenyum bangga memandangi anak dan menantunya. Doanya di warung kopi lima tahun lalu benar-benar terkabul. Tidak hanya Ginda berhasil membawa pulang menantu, tapi juga membawa perubahan cara pandang terhadap stereotip yang selama ini melekat pada orang Mandailing.
“Omong-omong,” ujar Rini sambil menyerahkan bayinya kepada Ginda, “teman-teman saya di Jakarta sekarang sering bertanya tentang budaya Mandailing. Mereka penasaran dengan sistem dalihan na tolu dan filosofi kehematan kita.”
“Bagus itu,” komentar Pak Doli. “Berarti stereotip negatif perlahan mulai berubah.”
“Yang penting,” tambah Pak Amang, “kita sendiri jangan pernah malu dengan identitas kita. Kalau kita bangga dan bisa menjelaskan dengan baik, orang lain juga akan menghargai.”
Matahari mulai condong ke barat ketika mereka mengakhiri sesi ngopi sore itu. Ginda dan Rini bersiap pulang ke Jakarta keesokan harinya, membawa cerita indah tentang bagaimana cinta dapat mengatasi prasangka dan stereotip.
Saat mobil mereka melaju meninggalkan Panyabungan, Rini menatap keluar jendela ke arah hamparan sawah dan perbukitan yang hijau.
“Gin, aku mau anak kita nanti besar dengan memahami kedua budaya. Jakarta dan Mandailing,” ujarnya lembut.
“Pasti. Dia akan jadi anak yang bangga dengan asal-usulnya, tapi juga terbuka dengan perbedaan,” balas Ginda sambil menggenggam tangan istrinya.
Di balik mereka, warung kopi tubruk itu masih ramai dengan cerita-cerita para lelaki tua yang menghabiskan sore dengan secangkir kopi hitam. Dan di sana, cerita tentang Manipol yang merajut cinta akan terus dituturkan kepada generasi mendatang, sebagai bukti bahwa di balik setiap stereotip, selalu ada kebenaran yang lebih indah untuk dipahami.
Tamat