Kenangan masa lalu itu memang sulit untuk di lupakan, momen indah layaknya harus di kenang.
Sarina pun terdiam melihat satu kata-kata dari akun media sosial yang bertuliskan
“Jangan bersedih karena kita berpisah tetapi tersenyumlah karena pernah bersama”
Kata itu layaknya sebagai penenang sejenak akan rindu yang tak kunjung kapan berahir menjelang
tidur di malam itu, yang entah bagaimana hujan tetap mengguyur dari sore hingga malam larut
tanpa jeda. Di luar jendela kamar, titik-titik hujan menari di atas genting, menciptakan irama sendu
yang seolah menjadi latar bagi ingatan yang berputar di kepala Sarina. Ia masih duduk berselimut
di ujung ranjang, memegang ponsel yang layarnya sudah redup, tetapi kata-kata itu masih melekat
jelas di benaknya.
Besok paginya suasana mendung disertai hujan tipis sisa semalam menyiram lembah Mandailing
Natal pagi itu. Embun masih menggantung di daun-daun kopi yang tumbuh subur di perbukitan
Desa. Suara tangis anak kecil bercampur dengan panggilan azan subuh dari kaki bukit,
membangunkan kampung kecil itu dari tidurnya yang damai.
Di sebuah rumah panggung berarsitektur tradisional Mandailing, sarina seorang gadis muda tengah
sibuk menuang air mendidih ke dalam saringan kopi berbahan kain. Tangannya cekatan,
gerakannya anggun, seolah ia mewarisi semua keahlian ibunya yang dulu terkenal sebagai penyaji
kopi terbaik di desa. Gadis berusia dua puluh dua tahun yang mewarisi kecantikan tenang dan mata
redup dari almarhumah ibunya. Sarina pun memberikan kopi yang telah ia seduh pada ayahnya.
“Minumlah, pak.”
Ayah sarina menyeruput sedikit, lalu mengangguk puas.
“Ima do kopi na so boi salup dohot roha”
Sarina tersenyum kecil mendengar perkataan ayahnya yang berarti Inilah kopi yang selalu bisa
menyatu dengan hati ,sarina memang tinggal berdua dengan ayahnya, Amang sati Lubis, seorang
petani kopi yang dihormati di kampungnya. Meski usianya sudah senja, Amang sati masih kuat
berjalan menyusuri bukit untuk mengurus kebun kopinya. Hidup mereka sederhana, namun penuh
cinta dan tradisi. Setiap pagi, Sarina akan menyeduh kopi untuk ayahnya sebelum ia turun ke
ladang atau pasar.
Namun pagi itu berbeda. Seorang tamu datang dari kota, membawa bau aspal panas dan debu
perkotaan yang terasa asing di antara kesejukan aroma kayu manis dan cengkih. Pria itu turun dari
mobil hitam mengkilap dengan langkah ragu, matanya menyapu rumah-rumah kayu yang berjajar
seperti puisi lama. Ia tampak asing, namun tak sepenuhnya membuat kecemasan.
“Sarina, kau masih ingat dia?” tanya Amang Sati sambil menyipitkan mata, menatap pria muda
yang kini berdiri di depan rumah mereka.
Sarina menatapnya lama. Matanya membelalak, seakan waktu memutar ulang ke masa lalu yang
tak pernah ia sangka akan kembali.
“Damar?” Jantung Sarina bedetak kencang dan hatinya bercampur aduk senang serta terharu tak
percaya akan apa yang sedang ia lihat di depannya.
Pria itu tersenyum kaku. “Iya, Sarina. Aku pulang.”
Damar. Nama itu sempat menghilang dari perbincangan warga kampung sejak sepuluh tahun lalu.
Ia anak seorang pengusaha kopi yang dulu cukup disegani. Namun, ketika keluarganya pindah ke
kota Medan demi pendidikan dan usaha orang tuanya yang lebih luas, Damar pergi tanpa pamit
pada sarina, suasana perkotaan yang ramai tak membuatnya lupa akan kisahnya dulu bersama
sarina sewaktu di desa.
Kini ia kembali, bukan sebagai anak muda yang canggung, tapi lelaki dewasa dengan raut penuh
kenangan. Sarina tak menyangka, bayangan masa remaja yang ia simpan rapat selama ini, kembali
muncul di depan matanya. Damar adalah cinta pertamanya.
“Apa yang membawamu kembali?”
tanya Sarina saat mereka duduk di teras rumah, memandangi kabut yang masih bergelayut di
puncak bukit.
“Ibuku ingin pulang. Katanya, dia tidak betah jika jauh dari kampung halaman. Lalu aku pikir,
mungkin sudah saatnya aku kembali juga. Lagi pula, aku punya alasan lain.”
Sarina menatapnya sejenak. “Alasan apa?”
Damar tidak segera menjawab. Ia tersenyum kecil, lalu memalingkan wajahnya ke arah ladang.
Desa kecil itu memang tak banyak berubah. Masih ada suara kicauan burung layaknya desa di
pagi hari tetapi ada juga suara bisik-bisik para ibu di depan rumah sembari menumbuk beras dan
menjahit kain ulos. Kembalinya Damar menjadi topik hangat. Banyak yang bilang, anak kota tak
akan tahan dengan udara dingin dan adat yang ketat.
Namun yang paling kerap dibicarakan adalah kedekatannya kembali dengan Sarina. Mereka
memang pernah dekat saat sekolah. Sarina selalu membawakan pisang goreng buat Damar yang
tak suka sarapan. Sejak saat itu, mereka seperti dua bayangan yang tak terpisah hingga SMA.
“Kau tahu, waktu kau pergi, aku sempat ingin menyusul,” kata Sarina suatu sore.
“Kenapa tidak?”
“Karena aku tahu, perempuan Mandailing tidak seharusnya mengejar. Kami diajarkan menunggu,
menjaga martabat.”
Damar menunduk. Ia merasa bersalah. “Aku minta maaf.”
Sarina tersenyum. “Tidak perlu. Kini kau sudah kembali.”
Cinta yang tumbuh kembali di antara Sarina dan Damar bukan tanpa rintangan. Amang Sati mulai
gelisah. Ia tahu, meski Damar anak Mandailing juga, hidup di kota telah mengubah cara
pandangnya akan norma dan adat yang mungkin telah ia lupakan.
“Kau tahu, anakku,” kata Amang Sati suatu malam, “Cinta bukan sekadar perasaan. Di sini, kita
punya adat. Bila ia benar ingin menjadikanmu pendamping hidupnya, ia harus datang bukan hanya
membawa janji, tapi juga membawa harapan yang dihormati adat.”
Sarina memahami maksud ayahnya. Adat istiadat disana mengajarkan, lamaran bukan sekadar
kedatangan pria membawa cincin. Ada “markobar” (musyawarah antara pihak keluarga),
“martuppol” (perjanjian pertunangan), dan “mangalehen ulos” (pemberian ulos sebagai simbol
restu).
Ketika Damar datang kembali ke rumah Sarina, ia duduk dengan sopan di depan Amang Sati.
“Amang, izinkan saya meminang putri Amang. Saya sudah bicara pada hula-hula kami. Kami akan
datang markobar pekan depan.”
Amang Sati mengangguk, matanya menerawang.
“Adat Mandailing tidak ringan, Damar. Tapi kalau niatmu baik, kami akan sambut dengan baik.”
Seminggu kemudian, keluarga Damar datang ke rumah Sarina. Mereka membawa “pananda”:
sirih, buah, uang tanda, dan seekor ayam jantan. Di ruang tamu, dua keluarga duduk berhadap-
hadapan, membahas silsilah, latar belakang, dan kesiapan kedua belah pihak.
Prosesi berjalan hangat. Wajah Sarina memerah saat namanya disebut dalam perjanjian. Setelah
kesepakatan dicapai, Damar menyematkan cincin di jari Sarina. Ibunda Damar mengalungkan ulos
kepada calon menantunya, simbol restu dan penerimaan keluarga.
“Sai ro di roham do pe ho, anakku?”
Sarina mengangguk, suaranya bergetar. “Sai ro, Inang. Naso tarida rohana, alai sai tarsongon do
rohana.”
Yang berarti “Kau bahagia, anakku?”
“Bahagia, Inang. Tak bisa dijelaskan, tapi hati ini terasa tenang.”
Di luar rumah, warga bersorak. Beberapa anak kecil menari-nari, sementara kaum ibu menyiapkan
masakan untuk “pesta adat” kecil.
Hari pernikahan pun tiba. Dengan iringan musik khas mandailing, Sarina melangkah anggun
menuju pelaminan. Ulos disampirkan di bahunya, simbol bahwa ia kini boru ni ruma, istri yang
akan menghidupkan rumah dan adat.
Damar, mengenakan pakaian adat lengkap dengan bulang-bulang di kepala, menatap istrinya
dengan mata berkaca-kaca.
“Kau tahu,” bisik Damar saat mereka duduk di pelaminan, “Aku pernah takut kehilanganmu.
Tapi kini aku tahu, pulang ke kampung ini bukan hanya untuk ibuku. Tapi untukku sendiri.
Untuk kita.”
Sarina tersenyum. “Di bawah naungan andung dan adat, cinta kita tumbuh. Dan aku siap
menjaganya.”
Dan hari itu, di tengah ladang kopi, tanah basah, dan nyanyian lagu-lagu adat mandailing yang
mengiringi para penari tortor, cinta mereka bersemi sepenuhnya. Damar menggenggam tangan
Sarina, lalu berbisik.
“Sai tibu do au, ro di jabu on. Sai tu ho do au, boru ni ruma na marsahala.”
Sarina membalas dengan mata berkaca “Sai tu ho do pe au, dainang. Sude do marsipature huta
na.”
Yang berarti “Akhirnya aku pulang ke rumah ini. Dan kamu adalah istri yang akan menjaga
semuanya.”
“Aku juga padamu, kekasih. Bersama kita jaga kampung ini.”