
Saudara kembar Lompo dan Rapo tengah menyusuri Sungai Barumun untuk mencari udang. Sesekali mereka menemukan berbagai jenis ikan mulai dari yang kecil, sedang, hingga besar. Tak lupa, mereka yang menyentuh air pun dihibur oleh anak-anak lain dari Desa Hasahatan.
Setelah seharian bergelut dan berpetualang di sungai, mereka berjalan menyusuri persawahan dan semak belukar menuju jalan pintas ke rumah.
Mereka adalah anak-anak yang cerdas, rajin, dan soleh. Begitulah yang disampaikan sang Opung kepada orang-orang yang kerap menanyakan kabar cucu-cucunya. Maka setiap kali azan berkumandang, mereka selalu berdoa dan menunaikan kewajiban kepada Tuhannya.
Kedua anak yang ceria itu masih berusia 10 tahun. Usia tersebut bukanlah usia yang tepat untuk menjalani hidup tanpa kehadiran kedua orang tua. Mereka sedari kecil hingga tumbuh besar dirawat oleh orang yang mereka sebut Opung Duma. Sang Opung sudah berstatus janda, ia tetap memelihara mereka meskipun cara berjalannya membutuhkan banyak keringat.
Lompo kerap kali membantu wanita tua itu pergi ke pasar sementara, Ropo membantu Opungnya membersihkan rumah, memang kedua anak ini sangat berbakti kepada Opung tercinta.
Setiap pagi wanita tua itu membangunkan mereka dan menyiapkan sarapan untuk berangkat ke sekolah sambil bermimpi agar kedua cucunya tumbuh menjadi orang yang pintar.
***
Hari, bulan, dan tahun pun berlalu, kini setiap bulan kedua mereka selalu berziarah untuk mengenang kepergian sang Opung. Lompo dan Ropo dalam pertemuan mereka di makam itu saling menguatkan. Dan dalam situasi yang sangat kebetulan itu, mereka berdua tanpa sengaja berkata
“Aku ingin pintar.”
Tidak seorang pun tahu apa maksud mereka saat itu, mereka saling berpandangan tidak percaya bahwa mereka mengucapkan kalimat yang sama, tetapi mereka tetap tidak berkata sepatah kata pun, mereka hanya melihat dan kemudian berpamitan.
Dalam perjalanan pulang, Lompo mengajarkan adiknya untuk melepaskan kesedihan yang tengah dideritanya. Lompo menyarankan untuk mandi di sungai yang airnya segar. Barangkali setelah merasakan kesegaran itu, tondinya juga ikut damai
Setelah Rapo menanggalkan pakaiannya, Lompo mendengar suara ranting patah di antara semak-semak dan memerintahkan Ropo untuk tetap tenang apa pun yang terjadi.
Dalam keadaan seperti patung, Ropo melirik ke arah semak-semak dan melihat lebih jauh lagi ia menemukan seekor harimau di sana. Ia begitu terkejut hingga tidak sanggup menatap mata harimau itu, lalu berbalik dan berlari sekencang-kencang mungkin, seakan-akan jika ia tidak berlari maka ia tidak akan bernapas lagi.
Harimau itu menerjang dan mengejar Rapo, lalu Lompo menghalangi jalan harimau itu. Ia berteriak balik dan menatap kedua mata harimau yang tajam dan beringas.
Harimau itu menghentikan langkahnya mendengar teriakan Lompo dan tidak menyangka ketika ia menatap mata anak itu. Tatapan mereka bertemu bagai anak panah yang menancap tepat di tubuh rusa.
Tidak lama kemudian, harimau itu meraung dan mencakar-cakar tanah, entah itu bentuk kekesalan atau memang baru saja terjadi. Dan harimau itu pun meninggalkan Lompo.
Setelah keadaan aman dan damai, Lompo mengejar saudaranya dan menemukannya di atas pohon yang tinggi.
“Harimau itu sudah pergi, kita aman sekarang”, lalu Lompo melanjutkan pertanyaannya. “Kenapa kamu lari saat melihat harimau?”
Jawabnya. “Aku akan melakukan apapun, aku mau meneruskan hidupku. Jadi, aku berlari sekencang-kencangnya dan memanjat pohon yang sangat tinggi. Bagaimana denganmu? Kenapa kamu tidak lari sepertiku?”
“Aku memang takut pada harimau itu, tetapi aku teringat perkataan Opung, semua makhluk hidup adalah saudara kita, kita harus melindungi mereka dan kita adalah pemimpin mereka. Opung juga mengatakan kepadaku bahwa kita adalah kasta yang lebih tinggi daripada harimau. Jadi, aku hanya menatap matanya agar dia pergi dan kucing besar itu pun pergi.”
Setelah mendengar jawaban Lompo, Rapo kemudian turun dan memeluk abangnya dan dengan situasi yang sangat kebetulan itu, keduanya tanpa sadar berkata, “Kamu sangat pintar.”
TAMAT