Posted in

Ulos Tiur

Febrian Jumaedi Nainggolan

Sastra Indonesia B 2022

Perempuan itu mematung, tatapannya kosong, seakan-akan ia adalah boneka Sigale-gale yang kehilangan irama gondang penghidupnya. Sorot matanya terpatri pada sehelai ulos yang tergantung di dinding kos-kosan sempitnya. Ulos itu warisan dari tangan renta Opung Boru, nenek yang tak pernah lelah menenun doa ke dalam tiap helai benang. Kedua tangannya sudah keriput oleh waktu, tapi masih menenun dengan cinta yang tak pernah layu. Ulos itu tak sekadar kain. Ia adalah napas tradisi, jalinan cinta, keteguhan perempuan Batak yang berdiri tegak walau diterpa badai.

Namanya Lamtiur berarti “yang membawa terang”. Namun hari-hari yang ia lalui justru dipenuhi keremangan sebab sinar itu seperti meredup belakangan ini.  Ia adalah boru Sasada juga boru panggoaran dari tanah Balige, perempuan yang mewarisi darah leluhur tapi menolak dibelenggu oleh takdir yang sudah digariskan orang lain.

Skripsi di layar laptopnya membeku terpampang bab tiga masih menganga seperti luka yang enggan sembuh. File yang seharusnya menjadi jembatan menuju gelar sarjana itu teronggok sunyi, seperti hatinya yang tak lagi punya daya. Harapan-harapan dari dosen pembimbing berubah menjadi janji-janji kosong yang membuatnya letih, belum lagi desakan dari keluarga yang membisikkan kata “malu” seperti mantra yang mengutuk. Dosen pembimbing seperti Gunung Pusuk Buhit : tinggi, dingin, tak bergerak. Harapan dari orang rumah adalah tali yang perlahan mencekik.

Di kampus, ia lantang bersuara mempertanyakan adat yang berat sebelah, membela hak boru-boru yang seringkali hanya menjadi bayang-bayang. Ia adalah suara nyaring yang berani bicara soal kesetaraan, menolak aturan adat yang menenggelamkan boru di dapur dan ruang tamu. Tapi di rumah, ia berubah jadi bisu yang sopan, tunduk pada ayah, takut menyinggung luka-luka lama yang belum sembuh. Ia menjadi sosok yang lain sebagai anak perempuan yang lembut, yang hanya diam ketika ayah bicara, yang tunduk pada tatanan yang tak pernah memberinya ruang.

Suatu pagi, sebuah telepon dari ayah membuyarkan sunyi.

“Tiur, pulanglah. Ada acara mangupa-upa. Opungmu ingin memberikan restu.”

Tiur hanya menjawab singkat, “Baik, Pak.” Tiur menggigit bibirnya. Ia tahu, tak ada yang bisa ditolak ketika adat telah bicara. Tapi dalam hatinya, awan kelabu menggantung berat. Ia tahu, kabar tentang dirinya yang belum sarjana pasti telah menjadi bahan gunjingan. Desas-desus tentang kuliahnya yang tak kunjung rampung pasti sudah melanglang dari warung kopi ke gereja, dari telinga ibu-ibu di ladang hingga para bapa yang duduk di balai desa.

Dengan hati ragu, ia mulai berkemas. Ulos yang tergantung itu ia lipat perlahan, seolah sedang membungkus separuh jiwanya juga seolah sedang menyentuh wajah Opung Boru. Di dalam bus jurusan Medan–Balige yang berderit di tiap kelokan, pikirannya melayang: membayangkan  wajah ceria dan senyum manis Opung Boru, wangi rumah tua yang selalu membuat rindunya tumpah, dan secangkir kopi pahit di teras setelah ritual adat.

Namun hidup, seperti benang kusut yang tak selalu bisa diluruskan, memberinya kejutan yang lain. Bus yang ditumpanginya mogok di tengah jalan kecil dan sunyi. . Langit mendung, dan suara-suara dari dalam dirinya bergemuruh seperti awan yang menahan petir.  . Ia tiba saat matahari telah jatuh ke balik bukit. Rumah tampak ramai, tapi bukan dengan tawa. Ada ketegangan yang mengambang di udara seperti kabut tebal di pagi Balige. Keramaian di rumah tak seperti yang ia bayangkan. Bukan tawa dan pelukan yang menyambut, melainkan bisik-bisik yang sunyi dan wajah-wajah yang tegang.

Ayahnya berdiri tegak, bersila di tengah ruangan, dikelilingi para tamu. Suaranya menembus dinding sunyi.

“Boruku Lamtiur,” katanya lantang, “kau sudah dijodohkan dengan anak marga Silalahi. Dari keluarga terhormat. Ini kehormatan bagi kita semua.”

Tiur membeku. Dunia seakan menjadi boneka sigale-sigale tanpa siulan sulingnya. Detak jam dinding terdengar lebih keras dari biasanya. Tak ada pertanyaan, tak ada tawaran. Hanya pengumuman. Detak jantungnya menjadi satu-satunya suara yang terdengar di telinganya.

“Acaranya bukan sekadar mangupa-upa. Ini awal dari pesta adat menuju pernikahanmu,” lanjut sang ayah.

Ibunya hanya menunduk. Tak satu pun mata yang bersedia menatapnya. Hening itu menyakitkan Tak seorang pun bertanya apakah Tiur bersedia.

Setelah pengumuman ayahnya yang mengguncang itu, Tiur tak sanggup berkata apa-apa. Ulos di punggungnya terasa seperti belenggu yang mengikat napas. Suasana rumah masih riuh oleh tamu dan percakapan adat yang berulang, tapi bagi Tiur, semuanya jadi gema kosong yang menyakitkan.

Ia melangkah ke kamar dengan napas tercekat. Ulos yang dipunggungnya kini terasa seperti belenggu, bukan lagi pelindung. Ia rebahkan diri di ranjang, wajahnya tenggelam dalam lipatan kain itu. Air matanya menetes diam-diam, menyatu dengan benang-benang doa dari Opung Boru.

“Adat,” bisiknya lirih, “jika kau penjaga martabat, mengapa engkau selalu tuli terhadap suara kami, para boru yang selama ini kau bungkam?”

Ketukan pelan terdengar di pintu. Opung Boru masuk, membawa secangkir teh tanpa gula kesukaannya, lalu duduk di ujung ranjang. Tak banyak kata. Hanya diam yang saling mengerti.

“Dulu kami diam bukan karena rela,” suara Opung seperti bisikan angin senja, “tapi karena takut kehilangan cinta keluarga. Kami takut kehilangan kasih dan penerimaan keluarga. Kami takut menjadi cerita sedih yang dibisikkan pelan-pelan di pesta adat.”

Tiur memandang mata opungnya. Di sana ada luka yang sama. Tapi juga cahaya kecil yang mulai menyala. Tiur terhanyut ke dalam wajah itu. Di balik keriput, ia melihat cermin luka yang tak asing. Opung Boru pernah jadi seperti dirinya, perempuan yang menunda mimpinya demi menjaga nama keluarga.

“Tiur,” kata Opung sambil menyentuh tangan cucunya, “ulos ini bukan tali pengikat. Ia bisa jadi pelindung, bisa juga jadi panji. Tergantung bagaimana kau memakainya.”

Beberapa saat kemudian, ia melangkah keluar dari kamar. Di tangannya, ulos itu digenggam erat. Ia berdiri di tengah ruangan, dada terangkat, suara gemetar namun tegas:

“Kalau ulos ini lambang penghormatan, mengapa kami, boru-boru, tidak boleh memilih hidup kami sendiri? Kalau adat ini hidup, maka ia harus belajar mendengar.”

Keramaian mendadak menjadi sunyi. Waktu seakan berhenti. Tak ada suara, hanya keheningan yang memekakkan. Beberapa mata berkaca-kaca. Beberapa mulut terkatup kaku.

Opung Boru berjalan pelan, seperti membawa seluruh usia dan pengalaman dalam langkahnya. Dengan tangan gemetar namun mantap, ia kenakan kembali ulos itu ke bahu cucunya.

“Dulu kami diam karena tak berani. Tapi kau sudah melangkah lebih jauh. Jangan lepaskan ulos ini, Tiur. Pakailah sebagai mahkota keberanianmu.”

Ayah Tiur menunduk. Bahunya berguncang pelan. Untuk pertama kalinya, dari mata yang selama ini keras dan kering, jatuh sebutir air bening. Ia berdiri, mendekat dengan langkah yang berat, lalu berkata lirih:

“Aku tak paham jalanmu, Tiur. Tapi kalau kau tetap membawa margamu ke mana pun kau pergi… aku akan belajar mendengar.”

Sebelum Tiur melangkah pergi, sebuah tangan halus menggenggam jemarinya. Ibunya menarik tangannya. Mereka duduk berdua di ruang belakang rumah, di antara dinding kayu tua yang pernah menjadi saksi tangis dan tawa keluarga kecil itu. Lampu redup menggantung di atas kepala, dan waktu seolah melambat demi memberi ruang bagi kata-kata yang lama terpendam.

“Maafkan Mamak yang terlalu lama diam,” bisiknya, “bukan karena setuju… tapi karena takut.”

Tiur memandangnya, diam.

“Mamak pun dulu ingin memilih, tapi tak pernah diberi ruang. Kini kau punya cahaya yang tak sempat Mamak jaga. Maka berjalanlah, Boru, walau langkahmu mengguncang dunia. Mamak akan mengiringi, walau hanya dari bayang.”

Seketika, pelukan mereka menyatu dalam hening. Tak banyak kata, hanya rasa. Dan dari sana, keberanian Tiur tumbuh lebih utuh, berakar dari luka, mekar oleh restu.

Tiur kembali ke Medan dengan langkah lebih ringan. Ulos itu kembali tersimpan dalam tas, namun kali ini ia bukan beban. Ia adalah bendera kemerdekaan menjadi panji kecil yang berkibar dalam hatinya. Ia menyelesaikan skripsinya dalam waktu tiga bulan. Skripsinya rampung, lalu diterbitkan sebagai buku. Isinya lantang tentang warisan, perjodohan, dan ruang bagi perempuan Batak untuk menjadi lebih dari sekadar pelengkap adat.

Namanya kembali menjadi terang. Tak hanya bagi dirinya, tapi juga bagi boru-boru yang selama ini memilih diam. Dan ulos itu, masih bersamanya seakan berbisik dalam benang-benangnya yang hangat: “Boru ni raja, terangmu telah kembali.”

TAMAT

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *