
Di sudut sebuah kedai kopi kecil di Tebet, Lamhot menatap layar ponsel yang baru saja menampilkan pesan singkat dari ibunya:
“Pulanglah. Mamak ingin bicara tentang masa depanmu.”
Di seberangnya, Mawar sibuk mencoret-coret jurnalnya dengan pensil mekanik, sesekali menyeruput latte-nya.
“Kamu kenapa?” tanya Mawar tanpa menoleh.
Lamhot hanya menggeleng. “Ada panggilan pulang. Tapi entah, rasanya berat.”
Ia tak berani bilang bahwa mungkin, ini bukan sekadar kunjungan, tapi perpisahan dengan pilihan yang telah ia bangun tiga tahun ini.
***
Lamhot mengenalnya di sebuah forum literasi kampus. Mawar tampil sebagai moderator, santai dan penuh percaya diri, membahas tentang perempuan dan ruang dalam sastra Indonesia.
Setelah diskusi usai, mereka berbincang. Mawar menyodorkan pendapatnya tentang puisi-puisi Chairil yang terasa gelap, sementara Lamhot justru mengagumi keberanian Chairil dalam menantang norma. Mereka berbeda, tapi nyambung.
Perbedaan itu lambat laun jadi jembatan. Mawar memperkenalkan Lamhot pada dunia yang terbuka dan cair. Lamhot mengenalkan Mawar pada nilai-nilai Batak, walau terkadang harus menjelaskan panjang lebar tentang panggilan marga, marhata sinamot, dan pentingnya tatanan kekerabatan.
“Kalau kita menikah,” kata Mawar suatu hari sambil tertawa, “apa aku harus belajar bahasa Batak dulu?”
Lamhot menjawab sambil tersenyum, “Nggak harus. Tapi kau akan lebih mudah mencintai keluarga besarku kalau kau mengerti sedikit.”
Mereka tertawa bersama, seolah yakin masa depan bisa dinegosiasikan.
***
Hujan menyambutnya di Balige. Awan kelabu menyelimuti danau yang dulu menjadi saksi masa kecilnya.
Ibunya menanti di ambang pintu, matanya sayu, tubuhnya kurus. Pelukan itu dingin, seperti waktu yang tak pernah benar-benar kembali.
“Mamak rindu kau, Lamhot. Tapi bukan hanya rindu. Kami ingin menepati janji Bapakmu. Boru Simanjuntak sudah menunggu.”
“Menunggu untuk apa?”
“Untuk menjadi tulang punggung bersamamu. Untuk mengikat tali yang dulu disepakati antara dua marga.”
Lamhot menarik napas panjang. Angin kampung tak lagi memberi kehangatan, hanya beban dari masa lalu yang belum dia pilih.
***
Di malam kedua, di bawah langit bintang yang pudar, ia duduk bersama ibunya.
“Mak… aku sudah punya seseorang.”
“Siapa?”
“Namanya Mawar Dettari. Kami bertemu di Jakarta. Dia tahu aku Batak, dan dia menghormati itu. Tapi dia bukan boru Simanjuntak. Bahkan… bukan Batak.”
Ibunya terdiam. Lama.
“Kau tahu, Lamhot. Cinta bisa tumbuh di mana saja. Tapi akar… akar itu harus tertanam di tanah yang benar.”
“Kalau cinta tumbuh di tanah yang berbeda, apakah ia harus dicabut?”
Ibunya menoleh ke arah foto almarhum suaminya yang tergantung di dinding.
“Kadang, untuk menepati janji, kita harus merelakan rasa.”
***
Saudara-saudaranya berbicara lantang. Ulos dibentangkan. Nama-nama marga disebut. Tapi hati Lamhot tetap diam.
Mereka menyebutkan peran tulang, hula-hula, boru. Mereka bicara tentang adat, martabat, dan warisan leluhur.
“Adat bukan beban, Anggi. Itu kehormatan,” kata abang tertuanya.
“Tapi jika kehormatan menuntut pengkhianatan pada hati sendiri, masihkah itu pantas dijunjung?” balas Lamhot.
Mereka marah. Tapi lebih dari itu, mereka kecewa.
Hari yang seharusnya menjadi pertunangan adat berubah menjadi perjamuan sunyi. Lamhot berdiri di tengah ruangan dengan ulos di bahu, tapi tak ada senyum di wajahnya.
“Maafkan aku,” suaranya gemetar. “Aku belum bisa menjawab sekarang. Mungkin belum pernah siap.”
Ibunya menatapnya lama. Ada luka di situ, tapi juga cinta yang masih berusaha mengerti.
***
Dalam perjalanan pulang ke Jakarta, Lamhot menatap kosong dari jendela bus. Danau Toba yang menjauh di kejauhan terasa seperti kenangan yang belum selesai. Ia memutar kembali percakapan dengan ibunya, wajah abang-abangnya yang penuh tuntutan, dan tangan Mawar yang sempat menggenggamnya dengan hangat sebelum ia pamit.
Benarkah adat dan cinta harus saling mengalahkan? Ataukah manusia hanya terlalu takut menjembatani dua dunia?
***
Jakarta tak banyak berubah, tapi Lamhot kembali sebagai orang yang berbeda.
Mawar membuka pintu dengan wajah cemas, matanya bertanya sebelum bibirnya sempat bicara.
“Lamhot… kamu milih aku atau adatmu?”
Lamhot menatapnya. Lama.
“Aku… masih di antara dua nama.”
Ia menggenggam tangan Mawar, seolah dengan itu ia bisa menjembatani dua dunia yang belum tentu mau saling bertemu.
Dan malam pun kembali hening, tanpa keputusan yang pasti. Hanya cinta yang tetap tinggal, meski belum tahu akan dibawa ke mana.
TAMAT