Posted in

Gadis Rembulan

Kania Ayuning Ramadhani

Sastra Indonesia C 2022
https://www.instagram.com/kania_793

Namanya Nina. Nama yang umum dan terdengar polos untuk zaman sekarang ini. Nina tumbuh di keluarga yang masih erat dan kental dengan kebudayaan suku batidak Toba. Usianya yang kini menginjak 18 tahun mulai membuka mata dan pemikirannya. Selama ini Nina sering sekali melihat budaya patriarki yang masih menempel di keluarganya. Laki-laki yang bertindak dominan dan perempuan yang bertindak submissive, Nina terganggu dengan budaya itu. Meskipun pada kenyataannya, Nina tidak dapat mengambil langkah lebih jauh karena tidakut di cap buruk oleh orang-orang di sekitarnya. Jadilah Nina memendam semuanya sendirian dan berkeluh kesah setiap harinya di atas kertas buku hariannya.

Perasaan yang tidak adil dan iri sering berkecamuk di dalam hati Nina. Abang dan adik laki- laki Nina selalu mendapatkan perlakuan istimewa, tidak ada pertanyaan bak wawancara masuk kerja dan mereka mendapatkan apa yang mereka inginkan. Sementara Nina? Ia harus membuat banyak alasan yang masuk akal karena tidakut akan kesalahpahaman yang mengganggu keharmonisan keluarganya. Tidak ingin menjadi Party Pooper jika menggunakan bahasa gaul zaman sekarang. Tinggal bersama dengan satu abang dan satu adik laki-laki yang dibanggakan oleh orang tua membuat Nina tidak nyaman, tetapi tidak pula membenci.

Sebab Nina menyayangi baik abang maupun adik laki-lakinya. Menurut Nina, saudara- saudaranya itu adalah laki-laki yang baik, tidak pernah sekalipun Nina melihat mereka memperlakukan perempuan secara buruk dan kasar. Setidaknya masih bisa merasa bersyukur dan ikut bangga memiliki saudara-saudara seperti mereka. Perasaan iri memang masih ada, tetapi perasaan itu masih kalah dengan perasaan sayang dan kepeduliannya sebagai seorang kakak dan adik perempuan.

Pagi menyambut dan seperti biasanya, Nina harus bangun pada waktu subuh untuk membantu ibunya memasak dan mencuci piring. Tidak lupa ia menyapu dan membakar sampah di halaman belakang. Nina tidak bisa banyak diam ketika fajar datang, ia harus siap bertindak cepat untuk menyiapkan sarapan untuk orang tua, abang, dan adik laki-lakinya. Sebab, pada pukul tujuh kurang ia harus mengantarkan adik laki-lakinya ke sekolah. Belum lagi memberikan pakan pada ayam yang diternakkan. Sibuk adalah satu kata yang dapat mendeskripsikan kondisi Nina di setiap pagi. Terkadang Nina juga harus siap untuk dipanggil ibunya yang memerlukan bantuannya.

Namun, untuk pagi kali ini berbeda, Nina bangun kesiangan. Alarm yang dipasang pada ponselnya tidak mampu membangunkannya setelah begadang membaca novel kesukaannya.

Sang ibu yang menunggunya di dapur hanya bisa menghela nafas dengan senyuman masam terpasang di wajahnya. “Lain kali, kalau tidak ingin membantu… bilang saja.” Nina merasa bersalah dan sakit hati mendengar ucapan ibunya. Ia merutuki kebodohannya sendiri yang terlalu asik membayangkan adegan romantis kedua tokoh novel dan berangan-angan jika suatu saat nanti hal serupa akan dirasakan olehnya. “Maaf mak…”

Meskipun begitu, Nina tetap membantu dengan menyusun piring-piring yang akan digunakan nanti dan lauk pauk dengan rapi. “Bangunkan adikmu, udah hampir siang ini. Nanti terlambat pula dia.” Nina yang mendengar ucapan ibunya segera memasuki kamar adiknya yang ada di pojok rumah. Pintu dibuka secara perlahan, adiknya bernama Leonardo yang saat ini masih duduk di bangku kelas 2 SMP. Tangan Nina menepuk pipi Leonardo pelan, “Paima satongkin, modom dope au…”

“Dung dungo ho, pinsangon ni inongmu ma ho. Naeng mago do hepeng sakumuna?” Bergeraklah adiknya dari kasur yang empuk. Nina hanya menggelengkan kepalanya kemudian membereskan kamar adiknya yang berantakan seperti kapal pecah.

Nina mendadak kedatangan seorang tamu. Laki-laki berusia 25 tahun. Namanya Aldo, tetangga sebelah rumahnya. Ia adalah seorang karyawan swasta dan lajang. Aldo sering datang ke rumah Nina untuk membeli pakan ayam atau pupuk tanaman. Namun, kali ini Aldo datang bukan untuk membeli kedua barang itu. Ia datang memberikan kolak pisang yang ia beli. Sosok Aldo bagi Nina adalah sosok abang kedua yang sering membantu dan memberi nasehat. “Nina, on ma kompot di ho dohot keluargam.”

“Olo, mauliate ma Lae Aldo.” Nina menerima kolak itu dengan senyuman di wajahnya. Sudah lama ia tidak memakan kolak pisang.

“Nunga diloas hamu rap karejo dohot natuatuamuna?”


Nina menggeleng. Aldo hanya menghela nafas, “Padahal tetangga seberang sedang butuh pegawai baru di pabrik mereka.”

Tersenyum gusar, Nina menjawab, “Mak bilang lebih bagus aku ngurus rumah, ayam, dan ladang.”

Aldo mengangguk mengerti, orang tua Nina memang agak bebal dan sulit untuk meyakinkan mereka. Laki-laki itu menepuk bahunya untuk menenangkan Nina. “Semoga kedepannya kamu bisa mencapai apa yang kamu mau.” Kemudian Aldo pamit mengundurkan diri dikarenakan ada urusan lain yang harus diselesaikan.

Beberapa waktu telah berlalu, orang tua Nina pulang dari ladang dengan wajah yang lelah. Nina segera membantu orang tuanya membawa barang-barang mereka ke dalam rumah dan memberikan masing-masing segelas air. “Tadi bang Aldo datang bawa kolak pisang. Mak, bapak mau makan sekarang apa nanti?”

“Kolak pisang? Nanti saja.”

Ibu Nina menyetujui itu dan tak lama, ia masuk ke dalam rumah. Nina yang melihat itu segera menghampiri ayahnya. Jika dibandingkan, ayah Nina lebih terbuka untuk memberikan pendapat ketimbang ibunya, tetapi dapat bertindak labil sewaktu-waktu karena itu Nina mengandalkan keberuntungannya untuk saat ini. “Pak, Nina boleh kerja di pabrik tidak? Bang Aldo bilang kalau tetangga seberang lagi mencari pegawai baru. Boleh ya pak? Nina juga mau membantu mak bapak cari uang.”

Bapak Nina berhenti mengipasi dirinya dan menatap anak perempuannya, “Nina, udah berapa kali bapak bilang jangan kerja, jangan kerja… nanti rumah tidak ada yang mengurus. Lagipula, tidak bagus anak perempuan bekerja…”

Ceramah itu tetap berlanjut sampai bapaknya mengatakan, “Perempuan itu berkewajiban mengurus rumah, melayani suami, dan anak. Patuh dan hormat, tidak boleh membantah perkataan suami.”

Nina yang menahan rasa kesal langsung masuk ke dalam rumah, sedangkan bapaknya hanya keheranan dan menggelengkan kepalanya. Ibu Nina yang melihat tingkah anaknya pun ikut kebingingan, “Ada apa?”

Nina hanya menggeleng dan tidak mau menjawab. Helaan nafas keluar dari ibunya. “Potongkan ayam satu buat dimasak gulai.” Mendengar dan menuruti perintah ibunya, Nina segera pergi ke belakang, menangkap ayam ternak, lalu memotongnya. Waktu yang dibutuhkan tidak terlalu lama bagi Nina karena ia sudah terbiasa melakukan ini semua. Meskipun pikirannya masih agak kacau, ia tetap berusaha untuk fokus memgerjakan perintah ibunya. Tiba-tiha ia berhenti karena mendadak teringat dengan kehadiran abangnya, Mario, yang bekerja di laur kota. Sudah lama sekali Nina tidak mengobrol dengannya dan bertukar cerita. Nina merindukan itu semua, sosok abang yang selalu mendukungnya.

Matahari terbenam, tergantikan oleh bulan yang menyinari malam yang gelap. Setelah mencuci piring, Nina memasuki kamar aan segera menghubungi abangnya. Jam dinding menunjukkan pukul 9 malam, Nina yakin abangnya sudah sampai di rumah dan beristirahat. Ia tahu ini seperti mengganggu waktu abangnya, tetapi ia perlu berbicara dengannya. Telepon tersambung dan diangkat, terdengar suara sosok abang yang dirindukan Nina.

“Halo? Ada apa dek?”

Senyum merekah di wajah Nina, ia segera membalas ucapan abangnya. Awal-awal bertukar kabar dan menceritakan keseharian yang telah dilalui, sampai akhirnya Nina mulai berkeluh kesah pada abangnya. Keinginan, harapan, dan impian yang selama ini Nina ingin wujudkan, tetapi sulit untuk dilakukan. Saat ini, Nina benar-benar membutuhkan penyemagat dan dukungan dari abangnya agar ia lebih berani untuk berbicara tentang keinginannya pada orang tua. “Dek, di sana bulannya terang?”

Dahinya mengerut, Nina bingung dengan pertanyaan yang abangnya lontarkan. Kemudian ia mengalihkan perhatiannya pada bulan yang bersinar terang di langit malam. “Iya bang, terang. Memangnya kenapa?”

“Bagi abang, adek itu kayak bulan. Mungkin orang lain cuman mikir kalo bulan itu gak penting, tapi sebenarnya bulan ini juga punya peran. Adek bisa lihat gimana bulan itu bisa bersinar terang dan membuat langit malam gak seseram itu. Kita juga bisa lihat keindahan bulan yang jarang ditunjukkan karena ia hanya muncul pada saat malam.”

“Selama ini peran bulan memang tertutupi oleh peran matahari, tapi bukan berarti bulan itu gak berguna dan hanya menjadi penghias malam. Bulan lebih dari itu karena punya peran tersendiri yang berbeda dengan matahari.” lanjut abangnya.


Nina mengangguk paham. Meskipun beberaoa kata tidak sepeuhnha ia pahami, tetapi Nina tetap mencoba mencernanya. Sedikit merasa aneh karena abangnya malah menyamakan ia dengan bulan. “Dek, menurut abang ni ya.. adek perlu ngomong sama jelasin maksud dari apa yang mau adek sampaikan. Mak sama bapak memang susah buat pahamin, tapi abang yakin mak bapak mau dengerin. Abang juga berharap mak sama bapak gak larang adek lagi.” Tak lama telepon dimatikan. Nina menutup matanya dan beristirahat. Dalam tidurnya ia berharap bahwa kedua orang tuanya mau mendengarkan keinginan terdalam Nina.

Pagi telah tiba. Nina bangun dan mandi. Lalu membantu ibu seperti biasa yang ia lakukan setiap harinya. Makanan dan piring telah ditata rapi, diikuti si bungsu yang telah bangun dari tidur lelapnya dan mandi. Ketika semua sudah berkumpul, barulah mereka makan. Dnetingan suara sendok dengan piring terdengar. Saat-saat inilah Nina mengumpulkan keberanian untuk berbicara. Tepat ketika makanan di meja habis, Nina membika suara.

“Mak, pak… Nina mau kerja. Nina mau bantu juga, pendidikan Nina memang cuman sampai SMA saja, tapi Nina yakin bisa bekerja.”

Ibu dan bapaknya hanya bertukar pandangan lalu menentang, “Kenapa masih keras kepala? Bapak udah larang, jangan kerja. Urus rumah saja.”

“Nina mau merasakan uang yang Nina dapatkan sendiri, bukan melulu dari mak bapak. Nina bisa beradaptasi dan belajar cepat untuk bekerja. Nina juga tidak ingin terlalu bergantung. Bagaimana jika nantinya Nina harus hidup sendiri tanpa ada pengalaman kerja dan uang?”

Orang tuanya terdiam dan menghela nafas. Ibunya membuka suara, “Kau ini makin besar makin berani, tapi memang ada benarnya. Yasudah, daripada ribut-ribut, mak bolehkan kau kerja tapi di daerah sekitar sini aja untuk sekarang.”

Senyum merekah, Nina tampak senang. Sementara adiknya memberikan jempol padanya karena tidak berani membuka suara dan hanya menonton saja.

“Ingat, kalaupun nanti kau keterima kerja. Baik-baiklah kau di sana sama hati-hati, takutnya ada pula yang berniat jahat samamu.”

Nina mengangguk, setidaknya salah satu impiannya tercapai dan hanya menunggu keinginan lain dapat mneyusul. Ia tampak lega dan harus menemui Aldo setelah ini untuk mendapatkan infornasi lebih lanjut.

“Makasih mak… makasih pak… Nina senang.”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *