
“Nomor yang Anda tuju tidak dapat dihubungi. Cobalah beberapa saat lagi…”
Nada monoton itu berulang kali menusuk telinga Alena. Sejak matahari muncul malu-malu pagi ini, ia telah mencoba menghubungi Clara berkali-kali. Tak ada jawaban. Tak ada balasan.
“Ihh, Clara di mana sih? Lama banget jawabnya!” gumam Alena dengan nada jengkel.
“Halo? Halooo? Apa kau mendengar suaraku…?” desisnya lagi, penuh cemas yang ia tutupi dengan kesal.
Tiba-tiba, panggilan masuk dari Clara muncul di layar. Alena sempat ragu. Tangannya menggantung di udara. Tapi rasa kesalnya menuntut penjelasan. Ia ingin meluapkan semuanya.
“Sibuk banget, kayak DPR,” semprot Alena saat panggilan diangkat.
“Ada apasih, Len? Aku baru aja selesai ngerjain tugas rumah. Jangan sotoy, deh,” jawab Clara, terdengar letih.
“Ah, sudahlah. Lupakan. Aku pengen ngajak kamu pergi. Ini weekend, masa kamu di rumah terus?”
“Ke mana? Aku ikut aja deh,” balas Clara dengan suara datar.
“Bagus. Ikut aja. Nanti aku kasih tahu.”
Tanpa banyak tanya, Clara menutup telepon dan bergegas bersiap. Ia memilih pakaian, menyisir rambut, berusaha tampil ceria seperti biasa. Namun dalam benaknya, ada bayang samar yang masih menetap: Axel, Clara dan Alena merupakan gadis desa yang manis, mereka berteman sejak mereka kecil, mereka kerap kali melakukan aktivitas Bersama seperti berangkat sekolah, mencuci baju ke danau, bermain pergi beribadah dan masih banyak lagi, tidak heran jika mereka dikatakan sahabat sejati,
Tujuan mereka adalah danau di atas Danau yang tersembunyi di jantung pulau Samosir, Sumatera Utara, danau ini merupakan salah satu keajaiban alam yang unik karena danau ini merupakan sebuah danau yang berada di atas danau, airnya tenang bak cermin yang menyimpan rahasia waktu, suasana di sekitarnya yang sunyi dikelilingi oleh perbukitan hijau , tempat dengan sejuta kenangan yang tersimpan rapi bersama waktu. Di sinilah mereka dulu tertawa, menangis, dan saling menjadi Pelabuhan, bak rumah kedua untuk mereka karena di tempat inilah mereka tumbuh dan mempelajari banyak hal kecuali satu. Angin sore mengelus rambut mereka dengan lembut, pepohonan bergoyang pelan, seolah ikut mendengarkan. Mereka duduk berdampingan, ditemani cemilan dan keheningan yang dalam.
“Bagaimana dengan Axel?” tanya Alena akhirnya, pelan.
Clara terdiam. Matanya menerawang jauh ke balik pepohonan yang temaram.
“Aku tidak tahu di mana dia sekarang. Jujur… aku tak ingin lagi mengingatnya. Tapi… rindu itu masih tetap ada, kadang aku merasa dia masih di sini, di sampingku… namun nyatanya, dia pergi. Begitu saja.”
Suaranya bergetar. Kata-katanya menggantung di udara, seperti asap dingin yang melayang. Axel merupakan cinta pertama Clara, sejak kecil mereka berteman dan lambat laun cinta itu tumbuh seiring berjalannya waktu, namun Ketika mereka belum cukup dewasa tidak ada yang mengatakan bahwa mereka satu marga, mungkin ada namun mereka lupa dan acuh tak acuh akan hal itu, sehingga mereka menjalin hubungan tanpa mengetahui kenyataan pahit itu. Seiring berjalannya waktu Axel pergi entah kemana meninggalkan Clara sendirian, tanpa ada kata kata dan pertemuan yang menandakan itu adalah perpisahan, semua terjadi begitu saja, Clara bingung, dan tidak tahu harus bagaimana pada waktu itu tidak ada handphone yang dapat digunakan untuk menghubungi dan berinteraksi dengan orang lain secara online seperti saat ini, dan akhirnya begitu Clara senantiasa menunggu dan menunggu Axel sampai ia pulang dan Kembali ke kampung halaman nya
“Kalau dia memang ditakdirkan untukmu, maka bagaimana pun akan tetap menjadi takdir mu!, kau tahu teori benang merah kan,”? ucap Alena, menepuk pelan punggung sahabatnya.
Tapi Alena tahu. Di balik tenang Clara, ada luka yang belum kering. Dan pertanyaannya tadi… mungkin seharusnya tak dilontarkan. Rasa bersalah menyusup diam-diam.
“Yuk pulang. Hari sudah mulai gelap.”
Dalam perjalanan, Clara hanya diam. Matanya kosong, pikirannya jauh.
“Clara, kamu nggak apa-apa, kan?”
“Enggak kok. Aku baik-baik aja,” jawabnya pelan, dengan senyum yang bahkan tak sampai ke matanya.
” Jangan mikirin dia terus. Ingat, jodoh tidak akan kemana,” kata Alena mencoba menghibur, meski hatinya sendiri terasa berat.
Dalam perjalanan pulang, Alena tak menyangka akan berjumpa dengan sosok yang selama ini hanya jadi bayang: Axel.
“Hai Alena, gimana kabarmu?” sapanya, seolah tak terjadi apa-apa.
“Jangan sok akrab, deh. Kamu udah nyakitin sahabat aku,” potong Alena tajam.
“Tunggu… dengarkan dulu. Aku nggak bermaksud kayak gitu,” katanya.
“Semua cowok sama aja!”
Tiba-tiba, Axel menarik pelan tangannya
“Ayo ikut aku. Aku harus bicara sama Clara. Semuanya harus dijelaskan.”
Dengan isak tangis nya Clara mengikuti Axel, banyak hal yang perlu dipertanyakan, yang selama ini ia simpan dan pendam tanpa jawaban. Dengan langkah cepat, mereka tiba di rumah Clara. Di hadapan perempuan yang dulu pernah ia buat tertawa dan kini menangis karenanya, Axel menunduk dan mulai bicara.
“Bagaimana kabar mu?, sudah lama tidak melihatmu, kau masih sama seperti dulu, cantik, rambutmu persis seperti duluu”
“Clara… dengarkan aku. Kita tidak bisa bersama. Kita… satu darah. Dalam adat Batak, Hutauruk dan Sibagariang itu bersaudara. Kita dilarang menjalin hubungan. Kamu saudaraku, molo di hita batak ima na didokhon na samudar, satu garis keturunan cinta diantara kita tak boleh tumbuh.”
Clara tertegun. Bibirnya bergetar. Air matanya jatuh satu-satu, lalu deras, tak terbendung.
“Kenapa baru sekarang kamu bilang?! Setelah aku percaya, setelah aku mencintaimu sedalam ini… baru sekarang kamu bicara soal adat?!”
“Aku takut. Aku bodoh. Aku hidup dalam harapan kosong.”
Axel mengusap pipi Clara yang telah berlinang air mata
Clara akhirnya menarik napas panjang. Ia mencoba tenang. Lalu, dalam senyap yang menggetarkan, ia berkata:
“Kalau aku tak bisa bersamamu… mungkin Alena bisa. Dia bukan saudaramu. Dia sahabatku. Kalau kamu ingin dekat dengan seseorang, aku lebih rela kalau itu dia.”
“Heh, ngaco kamu, Cit. Aku dan Axel nggak pernah mikir ke situ,” sela Alena, kaget.
tapi Clara menatap keduanya, dengan air mata yang belum juga kering.
“Sudahlah. Aku ikhlas. Mungkin ini jalan yang harus kupilih. Kalau aku dan kamu tidak bisa bahagia, setidaknya kalian bisa.”
“hahaha… oloma godang nai hatami” sahut Axel,
Akhirnya tidak ada lagi pertanyaan pertanyaan yang kerap kali terbayang di dalam pikiran, mungkin demikian, yang memang tidak ditakdirkan untukmu, tidak akan pernah tinggal, sekuat apapun kau menggenggam, bukan karena kamu tak cukup baik, namun karena semesta sedang menjaga kamu dari sesuatu yang bukan untukmu, ada hal yang datang hanya untuk mengajarkan , bukan untuk menetap, jangan benci yang pergi, kehilangan bukan akhir namun awal untuk sesuatu yang lebih pantas.
TAMAT