
Hamparan pantai berpasir putih ikut memudarkan segala masalah yang membelit kepalaku. Rasanya kembali hidup, walau cuma sejenak untuk menghirup udara sore ini. Kata orang saat lembayung datang segera langitkan doa yang tulus agar cepat terijabah. Bolehkah aku melangitkan bahagia yang ku idamkan?
Dengan wajah datar tertegun, ku biarkan buliran ombak yang membawa buih lautan menyapu kakiku. Sudah lama rasanya tak mampir lagi kesini. Jika tak salah sekitar 10 tahun yang lalu. Itu mengingatkanku dengan pertemuan terakhirku dan Danan. Sekarang dia pasti sudah besar sepertiku.
Danan, nama yang sudah mampir ku lupakan kalau-kalau tak kembali kesini. Pantai penuh sejarah dengan berbagai cerita penuh makna bagiku. Batu Rusa, kata orang dahulu ada Rusa betina yang melarikan diri dari harimau ke pantai ini. Dia pun akhirnya melahirkan dan memulai hidup barunya bertahan disini. Sebuah umpama bahwa jika siapapun datang kesini orang itu pasti akan memiliki hubungan. Pantai pemersatu perasaan kata orang.
Kakak sepupuku yang kini tengah melakukan persiapan pernikahan juga pernah bertengkar dengan pasangannya dan saat semua sudah kembali itu terselesaikan dengan hanya datang ke pantai ini. Bukan mistis yang menakutkan, tapi pantai ini seakan penuh sihir untuk memperbaiki masalah apapun. Tapi, bisakah masalahku juga selesai?
“Danan!” Nama itu menggema di sisi pantai. Aku menoleh dengan perasaan gelisah bahwa mungkin aku salah dengar.
Tapi ternyata itu benar, dia disana. Sosok teman masa kecilku yang terpaksa ku tinggalkan karena kepindahan dinas ayahku ke Makassar. Apa itu benar dia? Apa dia masih mengingatku?
Kami bertemu tatap, tapi pandangannya seakan menatapku asing. Dia tidak mengenalku, kenyataan pahit yang membuatku sedikit terluka. Sampai akhirnya ia beranjak dan memutus segalanya diantara kami. Berakhir juga.
“Manga bamanung, Lia? Lake balik gito, ala nanda malom go. (Kenapa melamun, Lia? ayo kita kembali, sudah hampir malam.)” Kak Nira, menginterupsi lamunanku dan kami pun langsung beranjak ke parkiran.
Sejam yang lalu, kami sengaja singgah di pantai ini karena ada beberapa penduduk yang memiliki kerabat dekat dengan kak Nira. Walau aku tidak tau semua, tapi itu tidak penting. Akupun baru sadar bahwa Danan ternyata tinggal disini. Itu berarti dia akan datang ke pesta pernikahan kak Nira.
“Manga? Basuo jo si Danan? (Kenapa, habis ketemu Danan, ya?)” Tanya kak Nira membuatku terkejut.
“I-indak do. Cako cuman agak— (Gak kok, tadi cuma sedikit—)” Lidahku berubah kelu.
“Eeh… Ala gugup ae, biaso ajo lah. Jangen kare bana ka diri sandiri. (Eeh… Sampe gugup, biasa aja. Jangan terlalu keras ke diri sendiri.)” Apa maksudnya?
Kami kembali diam dengan kak Nira yang sibuk mengendarai motor hingga kembali ke rumah. Selama itu pula, aku terus menimbang ucapan kak Nira. Keras pada diri sendiri? Apa maksudnya?
Tak terasa kami sampai dirumah. Rumah panggung kayu dengan sentuhan gaya klasik kesukaan nenek dan kakek. Rumah lebar dengan banyak ruang serta keluarga besar yang berkumpul. Rasanya kembali padat seakan terikat erat hubungannya. Begitupun dengan ayah di sisi kakek. Aku begitu terharu melihat pemandangan itu. Akhirnya kakek menerima ayah seutuhnya.
Ayah orang luar bukan asli desa Tabuyung. Namun, ia tetap setia pada ibuku untuk tinggal disini walau kerap mendapat rasa direndahkan. Sampai akhirnya ibu pun berpulang saat aku berusia 8 tahun. Dan karena harus melanjutkan hidup, ayah terpaksa pindah tugas dinas di luar kota. Amat jauh hingga ke Sulawesi tepatnya kota Makassar.
Dikecam juga saat itu, karena harus membawaku anak satu-satunya. Tapi aku tinggal ingin tinggal dan membiarkan ayah kesepian. Alhasil sempat renggang keluarga besar ini saat kepergian kami. Tapi, tampaknya sekarang sudah lebih baik. Aku bersyukur doaku saat lembayung di Batu Rusa pelan-pelan dikabulkan.
Tak masalah bagiku harus kesepian selalu saat ayah bekerja. Tumbuh sendiri dengan begitu besar rasa pengertian dihatiku hingga tak pernah mengeluhkan apapun pada ayahku yang sudah berjuang keras. Melihat senyumnya mekar itu sudah satu pencapaian paling kusyukuri.
“Lia? Pai ambi nampan gadang di dapur, bue kue tante gau nan jauh go. (Lia, ambil nampan besar di dapur, untuk kue tanteku yang datang jauh.)” Aku tersentak saat ibu, adik dari ibuku meminta sesuatu.
“Oh iyo, bu. (Baik, tante.)”
Dengan cepat pun aku melaksanakan perintah itu, dan kembali dengan membawa nampak besar. Aku baru tiba sekitar 4 hari lalu dari Makassar, jadi masih terasa begitu canggung bagiku. Hari ini tamu akan semakin berdatangan karena malam nanti adalah sesi pengikat pengantin.
Akupun duduk disana bersama sepupu-sepupuku. Aku tidak begitu akrab dengan mereka jadi hanya kak Nira menjadi temanku. Tapi kini ia pun sibuk.
“Lia! Mai siko. Tong gen kakak mamili tema. (Lia! sini. Bantuin kakak milih tema.) ” kak Nira sangat tau keadaanku yang saat ini ingin menghilang.
Akupun bangkit dan ikut dengannya ke kamar. Mereka tengah ribut dengan konsep prewedding dan gambar bainai di tangannya. Warna maroon atau putih? Baju yang mencolok atau yang trend sekarang? Entahlah aku tidak paham dengan itu semua. Aku hanya diam dan sesekali memberi pendapat.
“Wih! Iko si Danan? Ala gadang de. (Wih, Ini Danan? sudah besar ternyata.)”
Itu suara ayah, yang tengah menyapa, Danan? Ia datang? Astaga aku rasanya tidak ingin keluar dari kamar ini. Mereka pasti datang dengan keluarganya. Bagaimanapun hubungan kami sekeluarga cukup dekat.
“Lia! Ko si Danan! Bawo minum es jo kurnia, yo! (Lia, ini Danan! keluar bawa minuman dingin sama sirup kurnia, ya!)” Astaga, ayah!
Aku sejenak mengutuki diriku ketika mendengar perintah ayah. Aku tidak ingin keluar dan bertemu dengannya, apa yang harus ku lakukan jika kami bertemu lagi? Rasanya sangat malu.
“Pai lah, siapo tau de jodoh du mangko basuo lai…hihi! (Pergi aja, siapa tau karena emang jodoh makanya ketemu lagi…hihi.)” Goda kak Nira membuatku semakin malu.
Alhasil aku keluar dan mempersiapkan semua yang suruh, mengantarkannya ke ruang tamu lalu melengos kembali ke dapur. Aku tidak ingin lama-lama disana. Sekarang aku harus kemana? Balik ke kamar hanya akan di godain terus oleh kak Nira.
Biarlah, aku akhirnya memilih ke halaman belakang saja yang langsung terhubung dengan tepi pantai juga. Desaku memang sedikit terpelosok dengan adat dan keindahan alam yang masih sangat asri. Desa pesisir ini selalu mampu membuatku rindu. Rasanya rindu lagi dengan ibuku saat menghirup udara belakang rumah.
“Disiko jae, dai cako diimbo ayah gau. Lia, kan? (Disini ternyata, dari tadi ayahmu panggil terus. Lia, kan?)” Langkah dan suara familiar itu membuatku lagi-lagi mengutuki diri.
Kenapa harus di saat seperti ini? Kenapa harus disaat aku tidak ingin bertemu dengannya.
“Iyo, apo kabar? (Iya, apa kabar?)” Tanyaku basa-basi.
“Sehat. Gau? (Sehat. Kamu?)
“Hm, samo. (Hm, sama.”
“Haha… Lucu ajo, masih takana juo jo bahasa awak de? Ambo kiro ala lupo bulo. (Haha… lucu aja. Masih ingat juga ternyata sama bahasa kita? aku kira udah lupa.)” Ia sedikit terkekeh karena menganggap lucu baginya membayangkan aku ternyata bisa berbahasa kami.
“Ya, de urang ayah umak tatop babaso gito. Jadi indak pana lupo. (Ya, karena ayah dan ibuku tetap menggunakan bahasa kita. Jadi gak pernah lupa.)” Jawabku berusaha santai. Benar adanya, meski sering berpindah dan ayah bukan asli desa ini, tapi tetap saja saking cintanya itu bahasa daerah ini tetap dipertahankan dalam rumah tangganya.
Kami sempat diam, canggung karena tak ada lagi topik yang mampu memperpanjang obrolan. Sampai akhirnya dia menyadari tindakanku.
“Hm. Bisa ambo mananyo, mangapo gau manjauh dai ambo? (Hm. Boleh aku bertanya, kenapa kamu menjauh dariku?”
Tidak. Sekarang aku harus menjawab apa? Lidahku kelu sejenak tak menemukan kata yang tepat untuk membalas pertanyaannya. Haruskah ku katakan bahwa, aku malu? Tidak!
Aku menoleh padanya ragu, hingga akhirnya wajahnya yang berubah menjadi lebih dewasa dapat ku lihat dari dekat. Soalnya itu membuat degup jantungku terpacu kuat. Ekspresinya yang tenang meminta jawaban menatapku lembut bersama semilir angin.
“Ambo… (Aku…)”
“Kak Lia! Kamano ajo gau go ala di cai. Uci maimbo, pai lake sinin suoi! (Kak lia! Kemana aja sih udah dicari. Nenek manggil, ayo sana jumpai.)” Itu keponakanku, namanya Naila. Diam-diam aku bersyukur dia datang di waktu yang tepat.
Aku beranjak dan hendak pergi sebelum akhirnya Danan menahan lenganku. “Sabanta, bisa basuo lai di Batu Ruso pagi? (Bentar, bisa ketemu lagi di Batu Rusa besok?)”
Aku mengangguk sebagai jawaban. Aku juga sadar ini tidak bisa terus dihindari. Masalah ini, perasaan ini harus kami selesaikan dengan cepat. Kami berpisah dengan percakapan belum usai. Berjumpa lagi di Batu Rusa? Ku rasa itu tempat yang tepat.
Waktu berlalu dan sekarang hari pun berganti. Aku awalnya ragu untuk melakukan pertemuan itu, tapi tak ku sangka aku dengan cepat bersiap seakan menantikan pertemuan ini. Benar, aku harus bisa menyelesaikan masalah ini.
Saat aku sampai, gelisah itu masih terbawa. Semalam pun aku tidak bisa tertidur karena kebisingan rumah dan kekalutan pikiranku. Ini bukan hal yang salah kan? Sebab aku hanya sendiri, sedang kak Nira tengah sibuk dengan pestanya.
“Ala tibo ajaknyo. (Sudah datang ternyata?)” Suara yang kini berat ini membuatku gugup.
“Tarui ajo, mangapo arus disiko? (Langsung aja, kenapa harus disini?)”
“Gau bage dak manjaob patanyoen ambo. (Kamu bahkan gak Jawab pertanyaanku)”
Kelu lagi, tapi aku memberanikan diri untuk menjawab. “Ambo sangajo dek malu, wa- a-abang pasti juo berang de ambo pai baitu ajo daulu. (Aku sengaja karena malu, kam- abang pasti juga marah karena aku pergi begitu aja dulu.)” Astaga rasanya sangat malu, aku ingin menghilang saja.
“Abang? Rancak juo sapoen du. Abang indak berang, abang mala taragak ame ka kawen lamo abang. Lia, mai lanjui ubungen kawen du ka janjang labi jauh. (Abang? Sapaan yang bagus. Abang gak marah, abang malah rindu sama teman lama abang. Lia, mari lanjut hubungan pertemanan itu ke jenjang lebih jauh.)” Apa ini candaan atau aku sedang halusinasi.
Kami baru bertemu lagi, bagaimana bisa dia mengatakan hal itu. Ditambah, apa hubungannya akan sampai ke jenjang itu? Bagaimana jika kakek kembali tak merestui? Bagaimana? Apa yang harus kulakukan? Apa yang harus ku jawab?
“Maop, tapi ambo indak tau. Apo abang sarius bana ato cumo basianyang? (Maaf, tapi aku juga gak tau. Apa abang serius atau cuma bercanda?)” Aku tidak ingin percaya, tidak mungkin rasa itu masih ada baginya.
“Abang suko jo gau. Lah dai lamo pas gito bakawen. Abang nanda slalu jadi urang nan ado disisi gau sampe mati. Abang sarius, gau nanda jadi istri abang? (Abang suka sama kamu. Udah dari lama saat kita berteman. Abang ingin selalu menjadi orang yang ada disisimu sampai akhir hayat. Abang serius. Kamu mau jadi istri abang?)”
Aku terdiam. Sampai akhirnya menimbulkan kerancuan. “Buktikan.”
Akupun pergi tanpa kata lagi dan kembali pulang. Entahlah, aku masih belum percaya. Usiaku masih 22 dan Danan 24 yang bagi orang sudah siap menikah. Tapi bagiku ini masih terburu-buru, walau kenyataannya aku tidak bisa berbohong bahwa aku juga kini menyukai pemuda itu. Namun, tak terpikir bagiku untuk memulai hidup baru dengan hanya antara aku dan dia. Rasanya masih belum mampu, tapi aku memintanya membuktikan. Bodoh sekali. Apa ia serius?
Usai pertemuan kami yang sangat membuatku terkejut. Tidak bisa rasanya aku menampakkan diri lagi di hadapannya dan keluarganya. Hingga pada akhirnya aku menyibukkan diri dengan membantu keperluan nikahan kak Nira. Kesana kemari untuk bersilaturahmi, mengadakan upacara pelepasan masa lajang di malam hari. Hingga akhirnya malam bainai pun tiba.
Kedua mempelai melakukan prosesi malom bainai ini di rumah masing-masing. Dengan beberapa anggota keluarga yang bantu melukiskan hena di tangan mempelai. Begitu juga aku, yang sibuk mengukir bunga di tangan kak Nira karena ada sedikit bakat menggambar.
“Baa pik? Jadie? Nampak e si Danan sarius ka gau. (Gimana? Jadi? Kayaknya si Danan serius sama kamu.)”
“Apo ge, kak. Awak e acok datang de acara baralek kakak go ajo e. mano bulo untuk ambo. (Apaan sih, kak. Dia sering datang karena acara nikah kakak aja. Mana mungkin untukku.”
“Ih, dak picayo pajago. Daulu kakak pun baitu jo abang Titan. Baru ala acok kakak tolak tapi awak e basikare untuk maminang kakak. Ujung e tatop jadi juo. Pajuangennyo untuk mandape restu umak cukui di agi jempol. Umak sampe luluh…haha (Ih gak percaya anak ini, dulu kakak juga gitu sama bang Titan. Padahal udah kakak tolak tapi dia bersikeras untuk melamar kakak. Akhirnya tah tetap jadi juga. Perjuangannya untuk mendapat restu umak cukup di kasih jempol. Umak sampai luluh… Haha..)” Cerita kak Nira membuatku menimbang pikiran lagi. Apa Danan akan melakukan hal yang sama?
“Danan urang elok, soleh, bakarajo giat lai. Paten bana ko dape lelaki baitu. Gau beruntung dape cinta tulus dai urang ba awak e. (Danan orang yang baik, pekerja keras lagi. Beruntung banget kalo dapet lelaki kayak gitu. Kamu beruntung dapat cinta tulus dari orang kayak dia.)” Lagi-lagi aku dilema. Haruskah?
“Masya allah, na Iyo danan? Nanda mamparsuntiang Lia? Melamarnyo kinin? (Masya Allah, yang benar Danan? Mau meminang Lia? Melamarnya sekarang?)”
Saat namaku tersebut, jantungku berhenti sedetik. Apa yang terjadi di luar, tanpa menunggu lama aku pun bangkit dan mengintip dari balik tirai. Ada ayah, kakek dan nenek disana. Bersama Danan di hadapan mereka dan orang tuanya juga. Astaga, jangan bilang dia…
“Iyo, Oncu. Angkuh, jo uci minta doa restu galien untuk lake menghalalkan Lia jo tanggungjawab bana. (Iya, om, kakek dan nenek minta doa restu kalian untuk segera menghalalkan Lia dengan penuh tanggungjawab.)”
Pipiku bersemu merah mendengar penuturan pemuda berani itu. Tak ku sangka dia benar-benar membuktikan niatnya. Sekarang aku harus bagaimana? Aku melihat kakek diam dengan wajah datarnya. Sebelum akhirnya beranjak kembali ke kamar. Pasti kakek tidak setuju. Rasanya hatiku sedikit sakit.
“Calik, sabarapo gigih awak e untuk mandapegen gau Lia. Kinin pasti dak bisa gau manolaknyo lai. (Lihat, seberapa gigih dia untuk mendapatkan kamu Lia. Sekarang kamu gak bisa menolaknya lagi.)”
“Tapi, Angkuh bau Pai. Apo itu baarti pinang en Danan dak ditarimo? Danan ken saruupo bak ayah. (Tapi kakek baru saja pergi, apa itu artinya lamaran danan tidak diterima? Danan kan sama seperti ayah.)”
“Jangen baburuk sangko, angkuh ala beda. Awak e pasti punyo pilihen tarbaik. (Jangan berburuk sangka, kakek udah beda. Dia pasti punya keputusan terbaik.)”
Satu kegelisahanku, aku takut ketidak restuan itu datang akibat Danan yang bukan asli kampung ini. Aku takut dia juga ikut merasakan penderitaan ayah saat dikucilkan dulu. Aku menggenggam tanganku erat.
Sampai tiba-tiba, nenek masuk ke kamar kak Nira yang tengah berbaring di henna. Ia menatapku hangat yang masih terpaku di pintu. Ia berlalu dan duduk disini sang cucu, kak Nira. Nenek amat menyayangi cucu-cucunya hingga saat melepas masa lajang mereka nenek pasti kerap menangis. Ku lihat nenek dengan lembut mencium kening kak Nira lalu memintaku untuk berada disini nya.
Aku terduduk dan menyandarkan kepalaku di paha nenek yang kini berusia 80. Nenek membelai surai ku dengan lembut. Tangan keriput dan suara yang mulai parau membuatku hendak menangis. Selama disana aku merindukan pelukan nenek dan belaian seperti ini. Rasanya kembali di sayang ibuku.
“Mancalik gau dipinang barani bana baitu. Mambue uci taingek jo umak gau yang juo dipinang de apak gau samo gigih e. Dak taraso gaupun kinin masuk ka fase itu juo. Uci jadi taragak pas galien masih keketek. (Melihat kau dilamar dengan berani begitu, membuat nenek teringat dengan ibumu yang juga di lamar ayahmu dengan gigih. Tak terasa kaupun akan memasuki fase itu. Uci jadi rindu kalian yang masih kecil-kecil.)”
“Uci. (Nenek.)”
“Danan, anak si Pario yang juo pakarajo giat tuh. Uci tau awak e urang elok. Galien sahabat ken? Uci dulu suko bana mancalik galien bagalui, balari, dan bacando. Awak e memang urang lua, tapi dek ala lamo disiko jadi dikenal baik jo urang. Lia suko? (Danan, anak si Pario yang pekerja keras itu. Nenek tau dia anak yang baik. Kalian sahabat, kan? Nenek dulu suka liat kalian bergelut, berlari, dan bercanda. Dia memang orang luar, tapi karena sudah lama menetap disini jadi dikenal baik. Lia suka?”
Pertanyaan itu membuatku tersentak. Tapi belaian lembut nenek membuatku seketika jujur. “Iyo, Lia suko jo Danan dai lamo. Tapi Lia Takui, ci. Angkuh beko dak suko bak ayah. (Iya, Lia suka sama Danan dari lama. Tapi Lia takut, nek. Kakek nanti tidak menyukainya seperti Ayah.”
“Campak gen jauh-jauh parasangko buruk du. Angkuh pasti manimbang pahom du yang tabaik untuk Lia. (Buang jauh-jauh prasangka buruk itu. Kakek pasti mempertimbangkan yang terbaik untuk Lia.)”
Aku diam mendengar semua penuturan nenek yang melegakan kegelisahanku. Kunci utama ada pada kakek, sebab ayah tampaknya sangat gembira. Pada akhirnya aku harus mempersiapkan diri. Menjadi orang yang akan menempuh hidup baru sama seperti kak Nira.
“Uci, satuju. (Nenek, setuju.)”
“Nira juo! (Nira juga!)”
Aku sedikit terkekeh dengan antusias mereka. Membuat seisi kamar tampak riuh dengan menggodaku. Aku tak bisa menyembunyikan wajah merahku. Bahkan kak Nira tak berhenti mengejek.
“Lia!” Panggil ayah membuat suasana kembali tegang. Namun aku mendapat senyuman lembut dan tulus dari nenek. Aku pasti bisa.
Aku melangkah keluar kamar, ikut duduk di sofa panjang dekat dengan Danan dan ayahku. Sementara kakek kembali duduk di kursi kesukaannya, kursi goyang kayu yang berada tepat di depan kami.
“Lah lamo angkuh dak basuo jo lelaki paling barani macom aden. Nampak bana raso sarius du maminang cucu ambo dan satu-satu e dari si Linda. Jadi takana juo bamano waang Tirta maminang si Linda. Tapi babeda jo kinin, sabob angkuh ala manarimo kabaranian du jo lapang dado. Asal cucu ambo bahagia juo. Lia, dai gau nanda ato indak? (Sudah lama kakek tidak bertemu dengan lelaki paling berani seperti dirimu. Terlihat sekali rasa serius untuk meminang cucuku yang satu-satunya dari Linda. Jadi teringat bagaimana kau Tirta meminang Linda. Tapi sekarang berbeda, karena kakek sudah menerima dengan lapang dada. Asal cucuku bahagia juga. Lia, dari kamu mau atau tidak?)”
Pertanyaan penentu akhir itu membuatku gugup setengah mati. Aku diam-diam melirik Danan hingga kami bertemu tatap. Lalu beralih pada ayah yang memandangku terharu. Air mataku menitik kala membayangkan ayah akan kembali kesepian karena putri satu-satunya akan pergi meninggalkannya. Namun, sorot mata itu menagih jawaban yang membuatnya pasti mengucap syukur yang teramat.
Aku menghela nafas pelan menenangkan diri sebelum akhirnya kembali bersuara.
“Iyo, engkuh. Lia satuju. (Iya, kek. Lia setuju.)”
“Alhamdulillah! Bahagia slalu galien! (Alhamdulillah, bahagia selalu kalian.)” Sorak sorai para penghuni rumah.
Kata itu seketika menjadi awal keriuhan orang-orang yang ada di rumah. Ayah, kakek, nenek, para tanteku beserta keponakanku. Ikut memberikan selamat dan ucapan doa lainnya. Memelukku hingga rasanya badan ini akan terus kaku menerima pelukan orang-orang. Saat kata itu terucap senyuman cerah terbit di wajah kakek. Apa ini yang namanya mempertimbangkan kembali semuanya setelah apa yang berlalu?
Kakek diam-diam mengambil pengajaran hidup untuk lebih bijaksana sebagai kepala keluarga besar di rumah ini. Ia mendasarkan semua keputusannya pada kebahagiaan dari cucu dan anak-anaknya. Aku terharu karena itu. Sampai saat memeluknya, aku menangis tersedu-sedu di pundak yang tak lagi kuat itu.
“Basanang slalu, Lia. Jadi urang yang paliang sanang salamo iduik. Linda pasti juo sanang. Angkuh sayang ka cucu angkuh. (Bahagia selalu Lia, jadi manusia penuh bahagia selama hidup. Linda pasti ikut bahagia. Kakek sayang sama cucu kakek.)” Belaian lembut kakek yang menjelaskan rasa sayangnya membuatku kembali berderai air mata.
Hingga akhirnya, malam bainai yang panjang itu akhirnya menjadi lebih panjang dari dugaan orang. Sebab saat malam itu pula, dengan segala kesiapan dan keseriusan Danan. Kami diikat dengan sakral dalam pertunangan yang disaksikan banyak orang. Rasanya malu tapi juga senang sekali. Perutku seakan di penuhi taman bunga yang mekar saat tangannya yang panjang menyematkan cincin yang dipersiapkan dengan penuh cinta pada jari manisku. Lalu ku tutup dengan mencium punggung tangannya.
Entah benar atau tidak. Legenda itu seakan terwujud padaku. Pantai berakhir yang mampu mengeratkan hubungan dua insan dan membuat permohonan terkabul. Aku kini bahagia, dengan raut yang tak berhenti mengukir senyum. Aku bahagia sekarang, dengan kejadian yang mendadak di kala libur ku membantu kesiapan pernikahan kak Nira.
Aku malah ikut bahagia. Tangan yang menggenggam ku lembut dan menatapku dengan penuh cinta. Danan, dirimu membuatku tak percaya. Keseriusanmu, keberanianmu, dan rasa cintamu. Tak pernah bisa ku pahami. Tapi aku sangat bersyukur bisa melangkah ke jenjang halal dengan orang yang juga kini ku cintai dengan tulus. Selamanya, bahagia dan hanya dengannya.
“Aku mencintaimu.” Kata indah dari Danan tanpa adanya bahasa daerah yang membuatnya sempurna.
TAMAT