Posted in

Sepotong Ayam Goreng

Rachel Septiany Ningsih T

Sastra Indonesia C 2022
https://www.instagram.com/cheeliiii_

Aku lahir dari garis keturunan yang menganut budaya patriarki yang tinggi, salah satu suku yang terkenal dengan keras nya didikan. Namun aku beruntung memiliki dan lahir di keluarga seperti ini, Sampai saat ini tak ada satupun hal kekurangan yang pernah aku rasakan. Pendidikan ku terpenuhi sampai akhirnya aku menikmati hasil yang aku ingin kan. Hingga aku sampai di satu kota yang membuat aku merasa bahwa dunia sungguh semenjijikan itu. Didikan, makian, dan pukulan yang di berikan pada ku ternyata adalah sebuah kasih sayang. Aku pernah mendengar prinsip yang dianut oleh suku ku, kedua orang tua ku yang sangat lantang selalu mengatakan itu kepada ku. “anak kon’hi dohamoraon dia au” (Anak ku adalah harta kekayaan bagiku) bagi keluarga ku harta kekayaan adalah anak mereka, bagimana pun keadaan nya aku harus sekolah setinggi yang bisa dicapai. “Hugogo pe massari arian nang bodari lao pasikkolahon gellekk Naikkon marsikkola satimbo timbona Sikkap ni natolap gogokki” (bekerja dari siang hingga ke malam untuk menyekolahkan anak-anakku Harus sekolah setinggi-tingginya Sampai batas kekuatanku).

Pada akhirnya aku sampai pada dunia ku yang sebenarnya, dan aku selalu membandinkan dunia ku saat ini, derap langkah kaki ku saling bersahutan bersama peluh keringat yang ikut turun menetes. Aku memandang arlojiku, tepat pukul jam 22:00 WIB. Rasanya hari ini begitu melelahkan aku memandang hamparan langit bak samudra luas yang membentang. “Kelam.” Ucapku, Aku memandang pemandangan pilu yang mengasa hati, tangan mungil dan senyum manis yang terpancar disana. Dengan irin iringan syahdu klakson yang bersautan lampu kota yang menyala beriringan serta udara malam yang menusuk hingga ke relung dalam. Aku memandang langit hitam lekam yang terbentang. “Apa ini? Mengapa rasanya seperti ini?” ingin rasanya jemari ini menyeka bulir peluh yang menetes pada setiap inci kulit itu. Semesta terbentuk begitu tidak adilnya, membagi porsi yang tak seharusnya. Gedung-gedung megah itu menjulang tinggi berdiri kokoh dengan megah nya. Sebaliknya, beriringan dengan itu seseorang tengah berjuang di tengah-tengahnya.

Mendirikan sebuah tapakan yang bahkan tak kokoh, demi memejamkan mata sejenak atas penat yang didapat, beralaskan kardus usang meringkuk pilu mencari kehangatan disana namun, tak ada yang bisa didapatkan selain siksaan hawa dingin yang menusuk hingga kulit. Rasanya sangat menyiksa. Aku mendekat pada sosok mungil itu badan ringkihnya yang terlihat jelas bila mendekat, bergetar dan menggigil, jari jemari yang berkerut. Netra mataku yang tak dapat lepas dari apa yang aku lihat saat ini.

“Me-mengapa kakak mau mendekat dan mampir kemari, mereka bahkan enggan menatap dan memandang pada raga ini.” Ada sesuatu yang menghantam sanubari ini dentuman itu begitu keras dan terasa mengoyak hati, aku meremas ujung pakaian yang kukenakan.

“Kenapa tidak? Apa ada yang salah? Kakak rasa tidak apa yang harus di dihindari, tempat ini bukan tempat hina yang harus dihindari.”

Aku memandang netra yang juga membalas tatapanku dalam, netra itu sangat keluh dan lekam. Hitam pekat bak hamparan langit malam tanpa sang penghias disana. Ah, aku terlalu larut untuk memandang dan meratap pada nestapa ini, aku mengeluarkan kantong hitam yang kusimpan pada ranselku, hanya ini untuk sekedar pengganjal rasa lapar yang menggelepar sebelum kaki kami melangkah mencari obat untuk penyembuh yang sesungguhnya.

“Lelah untuk hari? Ayo cicil dulu dengan ini biar energinya terisi sedikit.” Ucapku menyodorkan kantung itu namun, tangan mungil itu enggan terangkat dan terulur, bahkan tubuh itu kaku tak berkutik sedikitpun. Aku memandang dan terpaku, apa ada yang salah dengan ini?.

“Tapi ini hanya ada 1 saja kak, bagaimana dengan kakak? Pasti kakak sama lelah nya.” Aku tersenyum penuh haru, ditengah-tengah ia yang diserang rasa lapar begitu hebatnya dia bahkan mempertanyakan seseorang yang jauh lebih baik keadaanya

“Tak apa, ayo makanlah.” Ucap ku meyakinkannya namun, tak kunjung tangan itu terulur untuk menerimanya dengan cepat aku membuka bungkusan yang aku bawa tadi. Menyuapkan. Potongan pertama pada bibir mungil itu, dia tersentak kaget namun tak mengelak ia menerima suapan itu kunyahan demi kunyahan ada senyuman haru terpancar diwajah itu, kenikmatan sederhana yang mungkin jarang terjadi.

Aku menyingkar menyibak anak rambut yang menghalangi senyum manisnya, membersihkan noda yang melekat pada wajah dan tangan mungilnya, dia hanya memperhatikan apa yang kulakukan terhadapnya. Dia adalah sosok yang selama ini selalu kuperhatikan adanya, senyum manisnya yang selalu terpancar di bawah terik matahari yang selau membakar kulitnya. Rasanya ingin sekali kaki ini melangkah untuk menemuinya. Namun, tak kesempatan itu tak tau ada waktu kemana. Dan hari ini aku membulatkan tekadku untuk melangkah sampai disini.

“Apakah kakak berasal dari gedung tinggi itu?”

Aku menganggukkan kepalaku tampak mata antusiasnya begitu gembira aku tersenyum menikmatinya. Aku teringat ini hampir dini hari, kami masih menunda mencari obat lapar untuk sang perut yang sudah mengeluarkan bunyi sedari tadi.

“Duh, perut kakak sudah bernyanyi, kau dengar tidak? Ayo kita cari makanan untuk membungkamnya. Untukmu juga. Masih lapar, kan?” wajahnya tampak bimbang dan ragu ingin bercampur takut terlihat di rupa itu.

“Hey, ada yang salah? Kenapa terdiam? Ayo.” Aku berdiri dahulu dan mengulurkan tanganku.

“Apakah kakak ingin memberikanku makanan lagi?”

“Kenapa tidak? Apakah makanan yang tadi cukup untuk perut yang ini? Aku memegang perutnya dia tertawa.”Ayo berangkattt.” Seruku.

“Ayo.” Serunya.

Aku membuka mataku pagi ini, ada perasaan lega karena akhirnya aku dapat menghampiri gadis kecil mungil itu. Namun, bodohnya aku, aku tak tau siapa namanya. Bagaimana esok jika aku ingin bertemu dengannya? Semoga saja aku menemukannya lagi nanti. Ilusiku kembali teringat pada waktu semalam, saat binar mata yang bersinar, senyum yang tak pernah berhenti untuk mengembang.

“Ayam gorengnya lezat sekali kak? Apakah kakak ingin mencicipi milikku? Rasanya sangat luar biasa.” Tangan mungil itu memberikan secuil ayam, untuk merasakan ayam goreng miliknya yang dikata sangat luar biasa. Bulir air hampir menetes pada kelopak mataku, aku menahannya mati-matian. Aku tak ingin senyum itu pudar, biarlah malam ini aku mendukung argumentasinya.

“Wah, iyaa sangat lezatttttt hahahha.” Aku tertawa agar mengundang tawanya juga dan ya aku berhasil, dia tertawa atas lelucon yang sama sekali tidak menggelitik di perutku.

Aku menunggunya sampai dia benar puas menikmatinya, sengaja aku memesan porsi lebih untuk kami berdua, agar dia dapat menikmatinya dengan puas dan kenyang. Namun, tak lama dari itu aku melihatnya memandang makananannya dengan pilu, tangan dan bibir mungil itu berhenti untuk berkerja sama. Dia menghentikan kunyahannya, aku bingung ada apa? Apakah dia sudah cukup kenyang? Dia menundukkan kepalanya dan terus menatap pada kolong meja. Apakah ada yang salah? Aku terus menerka dalam hatiku.

“Mengapa makannya tak dilanjutkan? Apakah sudah kenyang?” dia menggeleng namun, mengapa? Aku melihat pegawai restoran ini memandangi kami dengan gamang, astaga restoran hampir saja akan tutup. Akupun beranjak dari kursi yang kududuki.

“Sebentar yaa, kakak ingin membayar ini dulu, tempat ini akan tutup kasihan kakak- kakak itu menunggu, mereka juga ingin beristirahat untuk mengisi energi mereka dan ayamnya kita bungkus saja va? Nanti makan di sana.” Aku menunjuk jalanan kota yang begitu familiar untuk dipandang dia menggangguk, dan akupun beranjak sekejap.

Selepas itu aku menuntun badan ringkih nan mungil itu untuk keluar dari tempat itu namun, wajahnya masih sama murung dan sedih.

Aku membelai rambut kusam yang selalu terbakar oleh sinar matahari itu. Aku merapikan nya dan mencoba memahami situasi apa yang tengah terjadi. “Boleh kakak tau mengapa kamu tidak menghabiskan makananmu? Apakah rasa nya sudah tidak luar biasa lagi?” dia menggeleng dan menatap mataku. “Lalu mengapa?”

“Kara, Ari dan kakek ingin sekali makan ayam goreng ini disana.” Tangan mungilnya menujukkan tempat yang kami datangi tadi. Ya, tanpa menanyakan namanya sekarang aku ingat siapa nama gadis kecil itu, dia kara.

“Apakah itu yang membuat kamu sedih?” dia menggukkan kepala nya. Mengapa harus sedih kakek dan ari nanti juga dapat menikmatinya kakak, Kara, Ari.dan kakek bisa mengunjugi nya lagi nanti. Tak usah bersedih, hari ini khusus kamu terlebih dahulu. Namun, wajah nya masih terlihat murung.

“Kakek dan Ari sudah ada disana kak.” Tangan mungilnya menunjuk pada langit hitam yang berada di atas kami, aku tercekat rasanya, keluh dan sesak aku tak dapat mengeluarkan suara apa-apa sejenak. Apa ini? Ingin rasanya aku berteriak memaki semesta yang semena mena memberikan luka, takdir begitu mengerikan mempermainkan tawa, tangis, senyum sesukanya.

Memporapogandakan jiwa yang yang bahkan sudah tunduk pada permainan semesta kejam.Mengapa tuhan seakan tuli dan bungkam untuk setiap rapalan doa dan ritihan rasa sakit yang hadir di setiap detiknya? Apakah itu cukup adil untuk mereka yang melakukan hal-hal menjijikkan di luar sana, melakukan hal semaunya akibat kuasa besar yang dimilikinya. Pelik sekali ingin rasanya aku belari pada ujung nestapa ini membawa Kara pada dekapan hangat dari hawa dingin yang menusuk kulit dan mewujudkan mimpi
yang selalu ingin dilaluinya.

Sampai kapan ketidakadilan pada semesta tetap berjalan? Mempermainkan mereka yang lemah dan tak berdaya, tak ada yang benar-benar peduli dunia semua semu, yang mereka perlihatkan hanyalah tatapan menjijikan dan cibiran untuk kaum rendahan dibawah mereka. Seakan mereka adalah kaum pendosa yang terhina dijagat raya semesta ini, ada juga yang memandang iba namun sama saja tak ada pergerakan yang
dapat dilakukan, hanya berguman kan kata kata ‘kasihan yang kalimat itu sudah sangat tabu untuk diperdengarkan dalam kehidupan yang fana ini.

Banyak dari mereka yang mengatakan, “Apa yang yang perlu dikasihani dari mereka? Mereka sehat, mereka bugar, dan mereka cukup mampu untuk sekedar mengemis dan meminta. Sudah mengasihani dirimu terlebih dahulu?” masih banyak kata gunjingan yang dirapalkan begitu lantangnya. Ya, kata-kata itu tak sepenuhnya salah, ada juga kebenaran yang hadir disana. Namun, tak semua dari mereka ingin menjual tampang yang mengundang rasa kasihan pada halayak, mengundang rasa kasihan pada halayak, sebagian besar dari mereka mencoba menjahjahkan apa yang mereka bisa jajahkan. Namun, kembali lagi pada dunia yang kejam yang penuh dengan kesandiwaraan ini.Dimana semua serba salah bagi mereka yang mencoba mempertahankan hidup, demi sebutir nasi yang menghilangkan rasa lapar, serta kebutuhan yang harganya sudah di atas logika.

Perbandingan atas restoran megah yang berbanding balik dengan pedagang kaki lima yang mereka kata kumuh, lusuh dan yang mereka bilang megah, mewah, indah. Namun, jika boleh mengkritik yang rasa nya berbanding terbalik pada hal yang tak seharusnya. Dimana semua serba salah bagi mereka yang mencoba mempertahankan hidup, demi sebutir nasi yang menghilangkan rasa lapar, serta kebutuhan yang harganya sudah di atas logika. Perbandingan atas restoran megah yang berbanding balik dengan pedagang kaki lima yang mereka kata kumuh, lusuh dan yang mereka bilang megah, mewah, indah. Namun, jika boleh mengkritik yang rasa nya berbanding terbalik pada hal yang tak seharusnya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *