
Malam kerja tahun akan segera tiba. Jajaran kain berwarna merah menghiasi salah satu jambur di wilayah Tanah Karo, tepatnya di kecamatan Juhar. Para dilaki dan diberu tengah bersuka-ria menggerakkan kaki dan tangannya mengikuti alunan gendang dan kulcapi yang dimainkan.
“Ma Nangin!”
Kevin menoleh karena merasa dirinya terpanggil. Ya, nama lengkapnya Kevin Yohanes Perangin-angin (Ma Nangin adalah sebutan untuk laki-laki suku Batak Karo yang bermarga Perangin-angin).
“Inez?! Kau Inez? Kok di sini, udah balik merantau kau?” tanya Kevin yang terkejut karena teman lamanya kini sudah berdiri lagi di hadapannya.
Kevin dan Inez adalah teman akrab sedari kecil. Masa-masa kecil dan remaja mereka habiskan bersama-sama. Tak jarang, Inez juga diajak keluarga Kevin untuk pulang ke kampung mereka. Lama tak jumpa, malam ini mereka habiskan untuk bercerita sembari bersenda gurau dan meninggalkan jambur yang tengah sibuk itu.
Di bawah cahaya bulan dan nyanyian jangkrik, mereka duduk di bale-bale kebun di belakang jambur.
“Katanya, kau kuliah di Bekasi?” tanya Kevin.
“Iya, Vin. Udah selesai bulan kemaren, baru malam ini tadi aku sampai ke rumah. Karena bosan di rumah, aku ke rumahmu, tapi kata bibik kau lagi di jambur. Yaudahlah aku ke jambur,” jawab Inez sembari membenarkan kain jarik yang terbalut di pinggangnya.
“Oh, cemana kuliahnya? Enak? Ambil jurusan apa?”
“Ya gitulah, Vin. Aku ambil jurusan Perkebunan. Panas kali di sana, kalah Sumatera dibuatnya. Kayak dekat kali matahari sama ubun-ubunku.”
“Hahaha. Baguslah, kalo nyuci baju cepat keringnya.”
“Mck, kau ga berubah ngeselinnya. Apa kesibukanmu selama ini, Vin?”
“Biasalah. Bangun, ke ladang, pulang, tidur.”
“Eehhh, ku juma lalap. Pantas gosong kali hidungmu itu.”
“Andiko…. Gosong-gosong gini tetap dia mancung.”
Beberapa jam telah mereka gunakan untuk menghabiskan waktu berdua. Nostalgia akan masa lalu juga tak lepas dari perbincangan itu. Entah apa maksud dari semesta yang telah memisahkan dan mempertemukan kembali dua insan yang saling membutuhkan itu.
Keesokan harinya, dalam pelukan teriknya sinar matahari pagi, Inez bersegera untuk mandi dan pergi ke ladang ibunya. Wilayah perbukitan dengan suhu udara yang lembap menjadikan mayoritas suku Batak Karo mengemban aktivitas berladang dan berkebun. Berbagai buah dan sayur ditanam dengan subur dan indah di sana. Hasil panen mereka kemudian dijual di pasar setiap harinya.
“Kai suanta, Nde?” tanya Inez.
“Sampati aku nuan laci, ya,” jawab ibunya Inez dengan nada sedikit teriak.
“Ueii, Nde.”
Benih-benih cabai telah tertata rapi di dalam gundukan tanah hasil karya seni oleh tangan mungil Inez. Jujur saja, ia sangat senang berkebun seperti ini. Itu juga menjadi alasannya untuk mengambil jurusan perkebunan. Bagaimana dengan bau dari baju yang dipakainya? Ah, sudahlah. Ini sudah biasa bagi Inez. Dia akan memakai parfum jika perlu saja. Toh, keringatnya juga tidak mengeluarkan bau karena ia memakai deodoran.
Tak lama dari itu, terdengar suara ember jatuh.
“Eh, kenapa, Nde?!”
“Aih, lupa Nande kalo malam ini pesta kerja tahun. Belum ‘ku siapkan kebaya buat nanti malam. Kebayamu juga belum dikeluarkan dari kardus,” ucap ibunya Inez dengan gestur tangan yang diletakkan di dahinya yang penuh keringat.
“Alah, Nande. Pikirku lah yang ada apa tadi. Nanti kubantu buat cari baju-baju itu. Tenang aja. Kita siapkan dulu ini, ya.”
***
“Ei, seh kel jilena rupana permenku enda,” ucap ibunya Kevin yang menyadari kedatangan Inez dan ibunya.
“Hehe, Bik. Mbarenda nari aku enggo mejile,” jawab Inez. Diikuti dengan tawa mereka bertiga.
Suasana jambur di malam ini sangat ramai diiringi oleh musik dari gendang dan kulcapi. Penampilan tarian serta landek oleh para nande aron dan bapa aron. Inez tampil cantik dengan kebaya merah dan kain jarik berwarna hitam bercorak bunga berwarna kecoklatan itu. Ia mencari sosok yang akan ditemuinya. Siapa lagi jika bukan Kevin. Di kerumunan orang yang di atas panggung itu, terlihat perawakan sosok Kevin yang sedang menari (landek). Sembari menunggunya, Inez mengambil sebuah cimpa yang disediakan di piring. Kue ini sangat dirindukan olehnya selama merantau. Hari ini rasa rindunya terbalaskan, ditambah dengan nikmatnya acara kerja tahun yang penuh dengan cinta dari masyarakat suku Karo. Ini benar-benar malam yang mengharukan bagi Inez.
Terdengar langkah kaki yang samar tengah berpijak pada tikar. Kevin menghampiri ibunya yang tengah mengobrol dengan Inez dan ibunya Inez. Diletakkannya penutup kepala yang ia gunakan dari kain beka buluh itu di tikar.
“Semalam Inez nyari kau, nak e. Nande suruh ke jambur untuk jumpain,” ucap ibunya Kevin.
“Iyaa, Nde. Udah jumpa kami semalam, cerita-cerita sampe jam 11.”
“Cerita apanya kalian? Kasih taulah kami para mamak-mamak ini,” sahut ibunya Inez menggoda Kevin.
“Hehe. Gak ada, Bik. Cerita biasa aja,” balas Kevin.
“Rindu dia samaku, Nde,” sahut Inez dengan mulutnya yang penuh dengan kue cimpa.
“Ula kam mbiar, nak. Jadi istrimu ini nanti. Ya kan, permen?” tanya ibunya Kevin yang diikuti dengan raut wajah malu oleh Inez.
Malu. Itu yang dirasakan oleh Inez dan Kevin. Meskipun mereka sudah akrab sedari kecil, rasanya membahas perjodohan seperti ini tetap mampu membuat pipi mereka merona menahan malu. Sebenarnya tak ada penolakan dari pihak manapun. Inez dan Kevin diam-diam telah memendam perasaan karena kedekatan mereka. Saat mereka terpisah jarak pun keduanya tak berniat untuk membuka kembali hati untuk yang lain.
Beberapa hari berlalu, Inez harus pergi ke Bekasi untuk mengambil berkas-berkas yang masih tertinggal di kos. Malas rasanya pergi hanya untuk mengambil kertas-kertas itu, tapi jika mengandalkan orang lain, ia takut ada yang tertinggal. Waktunya di pesawat ia habiskan dengan tidur dan mendengarkan alunan irama dari headset-nya. Jarak rumahnya ke Bekasi cuma beberapa jam.
Di rumah, ibunya Inez tengah berkumpul dengan keluarga Kevin. Bercerita dan bercengkerama membahas berbagai hal sambil memakan sirih.
“Hah? Yang betol, Nde? Minggu depan?” tanya Kevin yang terkejut akan berita yang disampaikan oleh ibunya sepulang dari rumah Inez.
“Uei. Siapkanlah semua itu.”
***
Ketukan rintik hujan di atap menemani sejuknya malam Inez. Ia belum kembali ke rumahnya. Jika pulang, ia malas ke sini. Dan jika ke sini, ia malas untuk kembali pulang.
“Mau kerja di mana, Nez?” tanya Rina, temannya yang berhasil menyadarkannya dari lamunan semu itu.
“Belum tau nih, Rin. Aku juga belum yakin mau kerja. Istirahatlah dulu, udah empat tahun otakku dibantai habis-habisan sama materi.”
“Hahaha. Setuju! Mari kita istirahatkan otak kita yang mungil ini dari berbagai pertanyaan. Kapan kerja lah, kapan nikah lah, kapan punya anak lah, kapan mati lah. Ga akan ada habisnya pertanyaan manusia, mah,” oceh Rina yang juga sedang duduk menatap jendela untuk menikmati nyanyian hujan di malam itu.
***
Pagi yang indah, bunga yang berwarna-warni, dan suasana jambur yang ramai dan penuh haru ini menjadi saksi akan berlabuhnya kisah yang panjang. Papan bunga bertuliskan “Selamat Erjabu, Kevin Yohanes Perangin-angin & Inez Br. Ginting” menjadi simbol telah terikatnya hati antara dua insan. Perasaan yang terpendam sejak kecil kini telah terwujud menjadi rajutan ikatan yang selamanya akan mereka naungi bersama.
Prosesi Mukul Etnik (saat di mana pengantin pria dan wanita makan bersama dengan hidangan seekor ayam utuh) berjalan dengan rasa bahagia di antara Kevin dan Inez. Siapa sangka sepasang teman yang menghabiskan waktu bersama sedari kecil ini akhirnya menjadi sepasang pengantin yang akan berbagi kasih sayang di setiap harinya. Penantian, jarak, dan waktu telah mereka lalui dan hadapi dengan kesabaran. Cantik dan tampan. Sepasang pengantin ini tampil mempesona dengan balutan kain merah yang menonjol. Di depan semua orang, keduanya menampilkan wajah yang bahagia dengan tarikan garis melengkung di bibir mereka. Suasana ini lengkap bagai sebuah martabak manis spesial yang pakai keju sampai meleleh. Alunan gendang dan kulcapi, musik dan landek, berbagai warna kain uis yang dipakai para tamu, mewahnya pakaian pengantin, lengkap sudah untuk menjadikan hari ini seperti pesta pernikahan yang akan dikenang Kevin dan Inez selamanya.
TAMAT