Malam jatuh tanpa suara. Lampu kamar menyala temaram, memantulkan cahaya lembut ke dinding yang sunyi. Di atas ranjang, Dita duduk diam dengan ponsel di tangan—seolah menggenggam sisa-sisa harapan yang belum ia lepaskan sepenuhnya. Pesan terakhir dari Rayhan belum ia balas. Bukan karena tak tahu harus menjawab apa, tapi karena hatinya sedang sibuk memilih: bertahan, atau melepaskan.
Ia tahu rasanya mencintai dalam diam. Menunggu seseorang yang tak pernah benar-benar pergi, tapi juga tak pernah sungguh tinggal. Seperti Rayhan—yang selalu hadir setengah- setengah, memberi harapan tapi tak pernah memberi kepastian.
Sudah lama mereka tak menyebut diri sebagai pasangan. Tapi hubungan itu juga belum selesai. Mengambang, menggantung, menyisakan rindu yang tak tahu harus mendarat di mana.
Dita lelah. Tapi lelahnya bukan karena cinta. Lelahnya karena terus berharap pada cinta yang tak pernah tahu arah.
Hubungan mereka sudah lama tak punya nama. Tak lagi pacaran, tapi juga belum bisa sepenuhnya jadi teman. Semuanya mengambang, seperti kapal yang tak pernah berlabuh. Mereka terlalu dekat untuk disebut asing, namun terlalu jauh untuk kembali utuh.
Pernah, Dita memberanikan diri berkata, “Boleh nggak aku jadi diriku aja? Yang kadang balas singkat, kadang butuh sendiri.”
Ia tak bermaksud menjauh, hanya ingin jujur tentang lelahnya menunggu tanpa kepastian. Tapi Rayhan hanya menjawab,
“Ya sudah. Atur aja gimana bagusnya menurut Dita.”
Dita membaca kesedihan di balik balasan itu. Rayhan kecewa, mungkin juga tersinggung. Tapi bukankah sejak awal mereka berdua sudah saling menyimpan luka yang tak dibicarakan?
Dita menghela napas. Ia menulis lagi malam itu, dengan jari yang sedikit gemetar, “Aku ngerasa kita bukan teman. Kita masih saling sayang, tapi tetap berpura-pura biasa.”
Ia tidak meminta kembali, hanya ingin kejelasan. Hatinya lelah menjadi tempat singgah tanpa arah. Rayhan membalas,
“Aku masih mau jadi pacarmu… tapi nggak sekarang.”
Kalimat itu manis, tapi juga menusuk. Karena ‘nanti’ adalah kata yang bisa berarti ‘tidak pernah’.
Malam itu, Dita membuat keputusan: mereka perlu jarak. Bukan karena menyerah, tapi karena ingin menjaga yang tersisa.
“Chat aku kalau benar-benar butuh ya. Anggap aja kita teman yang seperti itu.”
Suaranya bergetar, meski ia berusaha terdengar kuat. Rayhan hanya minta satu hal
“Jangan jadi asing.”
Tapi Dita tahu, tetap dekat tanpa kejelasan adalah cara paling pelan untuk saling melukai. Ia pun membalas perlahan
“Kalau kamu ingin damai, kamu juga harus bisa berdamai dengan kehilangan aku.”
Tak ada yang berteriak. Tak ada air mata. Hanya jeda yang perlahan berubah jadi diam.
Malam itu mereka resmi berjarak, bukan karena tak saling cinta, tapi karena tak bisa lagi saling menyembuhkan.
Dita menatap langit-langit kamarnya. Pahit. Tapi ia tahu, ia tak sedang menjauh. Ia sedang belajar untuk pulih. Karena ada cinta yang memang harus dilepaskan agar seseorang bisa mencintai dirinya sendiri lebih utuh.
Dan di ujung semua ini, ia sadar—kisah mereka bukan tentang siapa yang tinggal, tapi tentang siapa yang akhirnya bisa tenang… meski setelah kehilangan.
Setelah sekian lama tak saling mengirim kabar, Dita dan Rayhan bertemu kembali. Tanpa sengaja. Di kota yang dulu pernah mereka janjikan untuk jelajahi bersama.
Dita, karyawan di sebuah perusahaan BUMN di Jakarta, memutuskan untuk menghabiskan akhir tahun di kampung halaman Fani, rekan kerjanya. Sementara itu, Rayhan ternyata tinggal dan bekerja di kota itu—di sebuah kafe sederhana sebagai barista.
Tatapan mereka bertemu. Sekejap. Di tengah hiruk pikuk pelanggan kafe, waktu seperti berhenti sejenak. Ada rasa malu, benci, dan bahagia yang berbaur tak tentu arah.
“Mau pesan apa, Kak?” tanya mbak kasir dengan senyum ramah.
Dita tergagap, “Hm… Matcha aja deh, less sugar ya, Kak.”
Tanpa menoleh ke arah Rayhan yang berada di belakang mesin espresso, Dita mengambil tempat duduk di pojok. Sendiri.
Telepon dari Fani masuk.
“Dita, maaf banget ya. Gue batal nyusul. Di rumah ada acara mandok hata.”
Dita tersenyum pahit.
“Oh iya, gue lupa itu tradisi Batak ya. Gak apa-apa, Fan.”
Setelah telepon ditutup, ia pun memutuskan untuk membungkus pesanannya dan pergi.
Namun dari kejauhan, Rayhan memperhatikannya. Tangannya gemetar saat menuangkan susu ke dalam gelas. Ia ingin menyapa. Ingin mengatakan bahwa ia merindukan Dita. Tapi suaranya tercekat.
Malamnya, Dita kembali ke penginapan. Notifikasi di ponselnya muncul—sebuah permintaan mengikuti dari akun Instagram @rayhan. Ia membiarkannya.
Tepat pukul dua belas malam, langit kota dihiasi gemerlap kembang api. Dita menatapnya dari jendela. Hatinya perih.
Keesokan harinya, Dita menerima banyak pesan dari Fani yang panik karena ia belum bangun. Setelah semua jelas, mereka sepakat untuk bertemu dan menghabiskan hari bersama— berkuliner, menjelajah, menertawakan hal-hal kecil yang menyenangkan.
Malam pun tiba. Fani mengantar Dita ke penginapan.
Sesaat setelah mobil Fani menjauh, Dita menerima pesan dari Instagram.
“Dita ayo ketemu. Aku udah punya uang. Aku bisa nepatin janji sekarang. Maaf kalau ganggu. Dirimu masih mau ketemu aku?”
Jantung Dita berdegup kencang.
Ia membalas dengan jujur bahwa esok pagi ia harus ke bandara. Tapi Rayhan memohon untuk bertemu pagi-pagi sekali.
Dita menunggu.
Keesokan paginya, jam terus berjalan. Pukul delapan lewat. Tak ada kabar dari Rayhan.
Saat Fani dan keluarganya datang menjemput, suara knalpot motor King memecah pagi yang hening. Rayhan datang tergesa-gesa.
“Dita, maaf. Aku ketiduran.”
Dita tersenyum.
“Gapapa. Bantuin aku angkut barang ya.”
Setelah barang dimasukkan ke mobil, mereka berpamitan. Dita menggoda Rayhan,
“Siapa tahu kita bisa menikah.”
Rayhan menatapnya. “Tunggu aku, ya.”