Sejak aku mengenal Anta Karo Sekali, hidupku terasa lebih berwarna. Pemuda dari desa seberang itu berhasil mencuri hatiku. Senyumnya yang menawan dan tutur katanya yang lembut selalu membuatku lupa akan segala larangan orang tuaku. Namun, kebahagiaan itu bagai ilusi fatamorgana di tengah gurun kehidupan keluargaku. Mereka menuduh cintaku padanya sebagai gerbang petaka, warisan kelam dari lembaran usang leluhur kami, Putri Hijau. Legenda meriwayatkan, Putri Hijau pernah melayangkan sumpah kepada seorang lelaki bermarga Karo Sekali yang tega menorehkan luka di hatinya dan saudaranya karena meninggakkan dan tidak sanggup lagi memberi mereka makan. Sumpah itu, bagai benalu yang terus menjalar dalam keyakinan keluargaku, dianggap sebagai biang keladi kemalangan yang akan menimpa setiap perempuan di garis keturunanku yang berani menjalin kasih dengan marga tersebut.
“Cerita itu hanyalah debu sejarah yang tertiup angin zaman, Mak, Pak. Matahari hari ini tidak terbit dari masa lalu,” aku berulang kali merayu, berusaha meruntuhkan tembok keyakinan mereka. Namun, hati mereka sekeras batu karang, tak tergoyahkan oleh deburan ombak argumenku. Mereka tetap memagari cintaku dengan larangan yang mengikat bagai rantai besi.
Awalnya, bahtera cinta kami berlayar diam-diam, di bawah tabir malam dan rerimbunan pepohonan. Pertemuan kami bagai oasis di tengah padang pasir, tempat kami bertukar untaian kata dan merajut benang-benang impian. Namun, badai kehidupan tak terduga menerjang. Dimulai dari kecelakaan kecil yang menghempaskan tubuhku ke ranjang rumah sakit, hingga kerugian besar yang meluluhlantakkan pundi-pundi rezeki keluarga. Setiap kali awan kelabu kemalangan menggantung di atas rumah kami, orang tuaku selalu menuding Anta sebagai dalang di balik layar.
“Ini adalah karma dari sumpah itu, Retha! Kamu harus mengakhiri hubungan terlarang ini sebelum petaka yang lebih besar datang!” ratap Ibuku suatu malam, air matanya mengalir deras.
Hatiku tercabik-cabik, aku tak mampu mengabaikan bisikan ketakutan keluargaku, apalagi setelah gelombang musibah terus menerjang. Dalam ketidakberdayaan, aku akhirnya mengikuti ritual mulihi tendi. Tradisi Karo ini dipercaya dapat mengembalikan semangat atau jiwa seseorang yang hilang akibat guncangan atau penyakit. Mereka bilang, mungkin jiwaku telah pergi karena terlalu banyak beban. Pada ritual pertama, aku masih menggantungkan harapan pada sehelai benang logika, menganggap semua ini hanyalah simfoni kebetulan. Namun, nada sumbang kemalangan terus berlanjut. Beberapa minggu kemudian, aku kembali jatuh sakit. Dan ritual itu pun terulang. Hingga kini, aku telah menjalani mulihi tendi sebanyak empat kali, setiap kali tubuhku melemah atau dilanda mimpi buruk yang sama: aku tenggelam dalam danau, dengan tangan Anta yang tak pernah berhasil kugapai.
Setiap kali upacara diadakan, aroma kemenyan memenuhi rumah, diiringi lantunan doa para tetua adat. Seekor ayam jantan disembelih, darahnya ditampung dan diletakkan di atas kepalaku. Aku memejamkan mata, membiarkan mereka melafalkan mantra, berharap jiwaku atau apa pun yang hilang dariku—kembali.
Namun meski tubuhku sembuh sejenak, hatiku tetap sakit. Sebab cinta yang kusembunyikan dari dunia tak pernah benar-benar sembuh, tak pernah benar-benar tenang.
Kini, aku duduk sendiri di beranda rumah, menatap langit senja yang mulai memudar. Angin sepoi-sepoi membawa serta aroma tanah basah setelah hujan. Di kejauhan, kudengar suara kulcapi mengalun pilu melodi yang dulu sering dimainkan Anta, dengan jemarinya yang lincah dan hati yang penuh lagu rahasia
Apakah benar sumpah itu nyata? Apakah cinta kami memang ditakdirkan untuk membawa malapetaka?
Aku mengusap wajahku, merasakan dinginnya air mata yang tak terasa mengalir. Haruskah aku menyerah pada takdir yang dipercayai keluargaku, ataukah aku harus tetap memperjuangkan cintaku, meski harus berkali-kali di mulihi tendi?
Malam itu, kami bertemu diam-diam di tepi Danau Lau Kawar. Di bawah siluet gunung Sinabung yang muram dan bulan yang menggigil, kami bersumpah untuk tak terpisah. Air danau tenang, seperti menahan napas, menunggu apa yang akan kami langgar.
“Kalau dunia menolak kita sebagai manusia,” bisik Anta, menggenggam tanganku,
“biarlah kita menyatu dalam bentuk yang tak bisa mereka pisahkan.”
Kami melangkah ke tengah danau, menyusuri perahu kecil peninggalan kakek buyutnya. Angin malam mendadak menggila, air bergolak seperti amarah leluhur yang dibangunkan. Kilat menyambar, memecah langit. Gemuruh bergema dari dasar danau—dan dalam sekejap, perahu kami tenggelam, ditelan kabut tebal dan sunyi purba.
Keesokan paginya, danau itu berubah. Di tengahnya muncul dua batu besar yang tak pernah ada sebelumnya. Bentuknya menyerupai sosok manusia yang duduk bersisian, tangan mereka seperti saling meraih, namun tak pernah benar-benar menyentuh. Warga menyebutnya: Batu Tendi—batu dua jiwa yang tak sempat bersatu.
Sejak saat itu, jika kau melewati danau saat kabut turun dan bulan penuh, kau bisa mendengar petikan kulcapi mengalun lembut dari tengah danau, seperti rintihan dua roh yang saling mencinta, tapi dikutuk menjadi batu.
“Dan aku, atau apa pun yang tersisa dari diriku—telah menjadi bagian dari mitos itu. Cinta kami tak pernah mati. Ia hanya berubah bentuk: menjadi batu, menjadi angin, menjadi lagu yang tak selesai.”