Posted in

Kerja Tahun

Parlindungan Pasaribu

Sastra Indonesia C 2022
https://www.instagram.com/lindungkadal1

Deru generator listrik memekakkan telinga, beradu dengan alunan musik gendang guro-guro aron yang memacu semangat. Debu beterbangan dari tanah lapang yang padat oleh keramaian, namun tak seorang pun peduli. Pagi itu, Desa Lingga, Pematangsiantar, diselimuti semarak Kerja Tahun, sebuah perayaan adat yang dinanti-nanti setiap tahunnya, penanda syukur atas panen yang melimpah dan kebersamaan yang tak lekang.

Raja, seorang pemuda berusia dua puluh delapan tahun yang baru saja pulang dari perantauan di Jakarta, menatap kerumunan itu dengan takjub. Sudah hampir sepuluh tahun ia tak merasakan semarak Kerja Tahun. Dulu, ia selalu menjadi yang paling bersemangat membantu Bapaknya mendirikan tenda dan menyiapkan hidangan. Kini, rasanya seperti sebuah mesin waktu membawanya kembali ke masa lalu yang penuh kenangan. Dulu, ia adalah bocah ingusan yang berlarian di antara keramaian, mencuri-curi makanan, dan tidur pulas di sudut tenda setelah seharian bermain. Sekarang, ia berdiri di sini, mencoba menyerap kembali setiap detail, setiap aroma, setiap suara yang sudah lama hilang dari kehidupannya di kota.

Ia melihat Mak Tigan, bibinya, sedang sibuk menata jajanan tradisional di lapaknya: cimpa yang kenyal dan manis, lemang yang harum dibakar dalam bambu, dan berjejer rapi puluik dengan berbagai topping kelapa parut dan gula merah. Aroma manis gula bercampur wangi pandan menyeruak, memancing selera siapa pun yang lewat. Tak jauh dari situ, sekelompok ibu-ibu dengan baju adat Karo yang berwarna-warni cerah, mulai dari merah menyala hingga biru tua, tertawa riang sambil mengupas jagung untuk disajikan. Suara tawa mereka renyah, tulus, tanpa beban, jauh berbeda dari tawa terpaksa yang sering ia dengar di perkantoran.

“Raja! Jangan bengong saja kau di situ! Sini bantu angkat meja ini!” Suara Bapaknya, Paman Sembiring, menggelegar, memecah lamunannya. Raja tersenyum lebar, bergegas menghampiri. Inilah yang ia rindukan: kebersamaan, gotong royong, dan hiruk pikuk persiapan Kerja Tahun. Bapaknya, dengan kemeja kotak-kotak khasnya, tampak gagah meski rambutnya sudah dipenuhi uban. Keringat membasahi pelipisnya, namun senyum tak pernah luntur dari bibirnya. “Sudah lama tak pegang meja beginian, ya, Nak?” gurau Bapaknya, dan Raja hanya mengangguk sambil tertawa.

Acara inti dimulai menjelang siang. Para pemusik gendang guro-guro aron dengan sarune, dan gong mulai memainkan irama yang lebih cepat dan menghentak, mengundang para penari untuk unjuk kebolehan. Raja melihat gadis-gadis muda dengan selendang uis nipes yang melambai anggun, menari dengan gemulai, mengikuti irama gendang yang seolah merasuki jiwa. Gerakan mereka luwes, serasi, mencerminkan harmoni dalam tarian landek. Ada keindahan dan kebanggaan yang terpancar dari setiap gerakan mereka, sebuah ekspresi budaya yang telah diwariskan turun-temurun.

Malam harinya, panggung hiburan semakin meriah. Lampu warna-warni menyala, menerangi tanah lapang. Artis-artis lokal bergantian menyanyi lagu-lagu Karo, dan penonton ikut larut dalam kegembiraan, berjoget bersama. Raja melihat Bapak dan Ibunya menari bersama, tawa mereka pecah, seolah semua beban hidup sirna digantikan kebahagiaan murni. Mereka menari dengan gerakan yang sudah hafal di luar kepala, senyum lebar menghiasi wajah mereka, tak peduli dengan tatapan mata orang lain.

“Bagaimana, Raja? Sudah rindu kampung halaman lagi?” tanya Bapaknya sambil menepuk pundak Raja, matanya berbinar penuh kasih sayang.

Raja mengangguk, matanya berkaca-kaca. “Sangat, Pak. Tak ada yang bisa menandingi Kerja Tahun di kampung kita ini. Ini bukan hanya perayaan, Pak, tapi juga rumah. Ini adalah tempat di mana jiwa saya merasa tenang.”

Panas terik matahari sepanjang hari itu tak terasa. Yang ada hanyalah kehangatan persaudaraan yang kental, keindahan tradisi yang lestari, dan kebanggaan menjadi bagian dari suku Karo. Raja tahu, pulang ke kampung halaman ini bukan hanya sekadar liburan singkat, melainkan sebuah ziarah hati untuk kembali mengisi bekal jiwa, untuk menguatkan akar-akar yang sempat terasa goyah di tanah perantauan. Ia kini menyadari, kemewahan kota tak akan pernah bisa menggantikan kekayaan budaya dan kehangatan keluarga yang ia temukan di Desa Lingga.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *