Posted in

Perjuangan Seorang Ibu: Kisah dari Tanah Mandailing

Mutiara Nauli

Sastra Indonesia C 2022
https://www.instagram.com/mutiaranaulikoto_

Di pedesaan Mandailing yang asri, keluarga mereka hidup sederhana. Di sana, sosok seorang pemimpin keluarga selalu dihormati, menjadi penengah dan pelindung dalam segala suka dan duka. Akan tetapi, sejak kepergian ayah mereka, suasana rumah berubah menjadi penuh kepedihan dan kegetiran.

Abdul, anak tertua mereka, merasa kehilangan arah. Ia sering mengikuti pergaulan bebas yang merusak masa depannya. Ia semakin terbuai oleh dunia gelap narkoba yang datang dari luar desa, yang akhirnya menjerumuskan dirinya ke dalam lubang hitam yang sulit diduga.

Suatu hari, ketika Abdul sedang marah dan frustasi, ia membanting vas bunga pemberian nenek di balai desa, membuat warga sekitar heran dan sedih. Ia melupakan adat, norma, dan hormat kepada orang tua yang selama ini diberi penghormatan tinggi di tanah Mandailing.

Ibu Abdul, seorang perempuan tua yang penuh kasih dan bijak, menangis di kamar, memeluk anak keduanya, Aisyah. Ia merasa hati teriris melihat anaknya yang keras dan tidak peduli lagi dengan keluarga. Bahkan dulu, di acara adat Mandailing, dia selalu mengingatkan agar anak-anak mereka menghormati orang tua dan menjaga nama baik keluarga.

Ibu : Dul, ingatlah adat Mandailing, kita hidup saling menyayangi dan menghormati orang tua. Mamak ini mau lihat kau bahagia, tapi bukan dengan cara seperti ini,” ucap ibu sambil mengusap air matanya. Ia menahan perasaan agar bisa tetap tegar, karena tradisi dan budaya menjadi jembatan penyelemat keluarga mereka.

Abdul yang mendengar suara ibu, perlahan menitikkan air mata. Ia merasa kehilangan identitas dan takut kehilangan segalanya. Ia sadar, bahwa perbuatannya tidak sesuai dengan ajaran nenek moyang mereka yang selalu mengajarkan hidup rukun dan saling membantu.

Suasana sore hari di pekarangan rumah di desa Mandailing, suasana tenang namun penuh ketegangan dan harapan.

Ibu : (menangis sambil memeluk Abdul) “Dul, mak sadari hari ini, adat Mandailing menyuruh kita saling menyayangi, saling menghormati. Mamak ini mau kau jadi manusia yang berguna bagi keluarga dan masyarakat. Jangan biarkan dunia luar menguasai hatimu, nak.”

Abdul : (menunduk dan meresapi) “Mak, abang tahu. Tapi abang sudah terlanjur. Dunia yang ada di luar sana terlalu keras, Mak. Kadang-kadang abang merasa tak mampu lagi. Tapi abang tidak mau bikin mama dan keluarga malu.”

Ibu : “Di Mandailing ini, kita hidup dengan adat dan budaya. Jangan lupa, orang Mandailing itu terkenal dengan kejujuran dan kekuatan hati. Ingatlah, apa kata nenek moyang kita, ‘Bulan tak akan kembali ke tempat asalnya, kalau tak ada cahaya, lalu apa lagi yang harus kita pegang?’”

Abdul : (tersentuh) “Mak, abang sadar, abang salah. Narkoba dan pergaulan bebas itu bukan jalan. Tapi, sulit bagi abang untuk keluar dari jerat itu. Teman-teman abang di desa ini, banyak yang sudah seperti abang.”

Tetangga (Marihot, yang datang ke rumah setelah mendengar keributan) : “Dul, saya sering lihat kamu jalan ke desa tetangga, ikut pergaulan yang tak seharusnya. Mendengar semua ceritamu, saya sedih sekali. Ingatlah, di Mandailing ini, kita diajarkan hidup bersaudara, saling membantu, dan tidak merusak masa depan sendiri.”

Ibu : “Betul, Nak Dul. Nenek moyang kita selalu mengingatkan, ‘Haram jandala roha, horbo jala do hita’ berarti, jika manusia itu baik, rezekinya akan datang sendiri. Jangan biarkan nafsu dan hawa nafsu merusak masa depanmu.”

Abdul : (menghela napas) “Begini, Mak, aku merasa kecewa dengan diriku sendiri. Aku tahu, apa yang aku lakukan tidak sesuai adat dan budaya Mandailing. Tapi aku merasa terjebak dan tidak tahu harus berbuat apa.”

Marihot : “Nak Dul, budaya Mandailing ini mengajarkan kita tentang kekuatan hati dan keikhlasan. Kalau kau merasa terjebak, cobalah kembali ke akar budaya kita, ke adat istiadat dan adat perkawinan, ke upacara adat seperti ‘Marga’ dan ‘Ulih’. Kalau kau mau, aku bisa membantumu kembali ke jalan yang benar.”

Ibu : “Ini, Dul, adat Mandailing itu adalah pelindung kita. Kalau kita mengikuti adat, kita akan tahu batas dan jalan hidup yang benar. Jangan merasa sendiri, keluarga dan masyarakat di sini akan selalu menyambutmu kembali. Kalau pun kau harus pergi keluar desa, jangan lupa, tanah Mandailing ini menjadi identitasmu.”

Abdul : (memandang mereka, sedikit tersenyum) “Terima kasih, Mak, dan semua yang telah mengingatkan aku. Kalau begitu, aku janji akan berusaha kembali ke jalan Allah dan mengikuti adat Mandailing ini. Aku ingin jadi bagian dari masyarakat yang kuat, seperti nenek moyang kita dulu.”

Ibu : (mengusap kepala Abdul) “Allah, ampunilah anakku ini. Semoga dia kembali ke jalan yang benar, dan tetap teguh mengikuti adat budaya Mandailing, adat sopan santun dan hormat kepada orang tua. Jangan lupa, mengaji dan berdoa adalah kunci kekuatan kita.”

Tetangga : “Benar, Nak Dul. Jangan lupa, di Mandailing ini, setiap ada acara adat, seperti pesta panen dan upacara adat, kita selalu berkumpul, bersilaturahmi, dan saling mengingatkan. Itulah kekuatan masyarakat kita.”

Abdul : (berpikir sejenak lalu mengangguk) “Kalau begitu, aku mau kembali ke adat dan budaya Mandailing. Untuk itu, aku harus belajar lagi tentang adat istiadat dan bergaul lagi dengan masyarakat. Aku ingin jadi manusia yang berguna.”

Ibu : (tersenyum lega) “Syukur Alhamdulillah, anakku. Keluarga ini akan selalu mendukungmu. Ingat, hidup di Mandailing ini penuh makna, penuh adat dan budaya yang harus kita junjung tinggi. Jangan pernah lupa, sayangi ibumu dan keluargamu, dan hormati adat istiadat dari tanah leluhur kita ini.”

Percakapan penuh haru itu berakhir dengan pelukan dan doa dari keluarga mereka. Mereka berkomitmen untuk menjaga tradisi Mandailing dan menuntun Abdul kembali ke jalan yang benar, meneguhkan bahwa budaya dan adat adalah fondasi yang kuat dalam kehidupan mereka.

Selesai

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *