
Kata orang ayah ada cinta pertama dari setiap anak yang hadir dunia, kata orang setiap anak akan mendapatkan cinta itu, tetapi aku berbeda. Aku terlahir dari keluarga yang sebenarbya saling mencintai, perduli dan saling melindungi. Hanya saja sifat serta kepribadian yang di bentuk membuat masing-masing menjadi Canggug dan kaku, sehingga masing- masing tidak bisa memberikan apa itu kehangatan dalam keluarga. Semuanya sangat kaku terutama bapak. Dirumah aku adalah anak yang paling dekat sama bapak. Bukan dekat yang seperti dibayangkan, hanya sebatas interaksi yang sering terjadi antara aku dan bapak karna aku adalah anak terakhir di rumah, dalam keluarga ku aku disebut “Siapudan” hal itu berasal dari gelar yang ada adat batak yang artinya anak terakhir atau sibungsu. Sedari kecil aku tau bapak seperti apa. Dia bukan golongan bapak-bapak yang mau duduk disamping anak nya dan bertanya “apa kabar nak” ia tidak pernah mengucapkan kata sayang. bapak ku leleki batak sejati keras wajahnya, kaku cara bicaranya bahkan saaat aku kecil terjatuh dari sepeda, yang ia lakukan hanya menoleh sebentar lalu berkata “berdiri” tanpa pelukan, tanpa panik hanya satu kata “berdiri”.
Dulu, aku sering bertanya dalam hati, “Apakah bapak mencintaiku?” Aku melihat teman-temanku begitu dekat dengan ayahnya mereka dapat merasakan digendong, dipeluk, tertawa mesra bersama ayahnya, diajak jalan-jalan, ditanya soal cita-cita. Ayahku? Ia lebih banyak menghabiskan waktunya dengan kerjanya bahkan setelah pulang kerja ia menghabiskan waktu nya untuk menonton tv dan merokok hingga larut malam. Ahk aku sedikit teringat tentang aku, yang saat itu mendapatkan kabar bahwa aku lulus di salah satu perguruan tinggi dibandung. Aku ragu memberitahu bapak karena tahu biayanya tinggi, namun disisi lain aku ingin sekali memberi tau kepadanya bahwa aku mamapu dan aku bisa. Aku menepis keraguan ku aku menatapkan hati untuk memberi tahu kepada bapak. Dengan nada yang sedikit bergetar aku mencoba memberi tau kepada bapak.
“pak’, aku mau ngomong penting sama bapak.” Dengan nada gugup, takut dan bercampur senang. Bapak yang sedang menonton televisi, mengalihkan pandangannya kearah ku. Dia menatap ku, baru kali ini aku merasakan duduk sedekat ini dengan bapak.
“apa!?” dengan nada yang sedikit garang bapak berkata kepada ku.
“A-aaku lolos disalah satu universitas dibandung pak, tadi aku baru lihat pengumuman nya, makanya aku pengen kasih tau kebapa” Bapak memandang ku cukup lama, hanya ada sedikit senyuman samar yang tidak terlihat. Aku mendesah kecewa, kenapa dia tidak memeluk ku. Namun akhirnya dia mengucapakan 1 kata singkat yang membuatku sedikit percaya diri.
“Bagus”. Hanya itu saja tapi setidak nya bapak memujiku.
Setelah banyak keputusan akhirnya aku dan bapak berangkat ke Bandung, disana kami mencari berbagai kebutuhan yang akan aku pergunakan dalam perkuliahan. Bapak memenuhi semua apa yang aku inginkan, setelah mendapat kosan yang sesuai aku dan bapak mengurus administrasi pembayaran UKT ku, uang kuliah tunggal. Ada suatu hal yang aku tanyakan pada diriku tapi tidak berani aku tanyakan pada bapak, suatu hal yang membuatku heran dan bagaimana semua itu bisa hadir tanpa satu pun keluhan. Bapak tak pernah membanggakan dirinya. Ia tidak pernah bilang, “Itu dari aku.” Ia hanya diam saat kami menerima. Seolah kehadiran dan pengorbanannya tak perlu dihargai dengan tepuk tangan.Suatu hari aku pernah bertanya kepada bapak, aku ingin sekali menanyakan hal itu kepadamya.
“Pak, Boasa dang hea bapa mandok holong roham tu hami”. (Kenapa nggak pernah bapak bilang sayang sama kami?).
Pertanyaan yang sampai saat ini belum pernah aku dapatkan. Saat itu dia hanya diam dan mengambil baju kerjanya, lalu menatapku sebentar,bukan marah, bukan kecewa,tapi sejenis pandangan yang kurasa hanya bisa dimiliki oleh orang yang terlalu sering menyimpan perasaan sendiri.
Orang tua Batak memang jarang bahkan hampir tak pernah mengucapkan kata “sayang” kepada anak-anaknya. Mereka bukan tipe yang memeluk atau bertanya lembut, tapi di balik sikap keras dan kata-kata yang sering terdengar kaku, tersimpan cinta yang luar biasa besar. Cinta itu hadir dalam bentuk kerja keras tanpa henti, dalam pengorbanan diam-diam, dalam kehadiran yang tak pernah absen. Mereka mungkin tak tahu caranya mengucapkan kasih, tapi mereka selalu tahu bagaimana caranya memperjuangkan masa depan anak-anaknya meski harus mengorbankan kenyamanan mereka sendiri.