Kampung Sungai Ular adalah kampung kecil yang terletak di tepi sungai panjang dan berliku. Di kampung itu, suara dayung menyentuh air adalah hal yang biasa. Hampir setiap rumah punya sampan. Orang kampung memakainya untuk ke ladang, ke pasar, atau sekadar menjala ikan.
Namun sejak beberapa bulan terakhir, penduduk mulai resah. Setiap menjelang senja, terdengar bunyi dayung sampan dari arah hulu. Bunyinya pelan tapi jelas: cepak… cepuk… cepak… seperti ada yang mendayung perlahan. Padahal, tak ada satu pun rumah atau orang yang tinggal di sana lagi.
Dulu, kawasan hulu dihuni beberapa keluarga. Tapi banjir besar belasan tahun lalu menenggelamkan kampung kecil itu. Sejak itu, semua pindah ke hilir. Beberapa orang meninggal dalam banjir itu — termasuk satu keluarga yang hilang tanpa jejak. Sampannya tak pernah ditemukan.
Orang tua di kampung selalu mengingatkan:
“Kalau dengar bunyi dayung dari hulu waktu senja, jangan dijawab, jangan dipanggil. Biarkan saja.”
Tapi anak-anak muda sering menganggap itu cuma cerita lama untuk menakut-nakuti.
Salah satu dari mereka adalah Marzuki, seorang pemuda yang baru pulang dari kota setelah tamat kuliah. Ia menganggap cerita itu tidak masuk akal. “Mana mungkin suara tanpa orang?” pikirnya.
Satu petang, Marzuki duduk di tepi sungai di belakang rumahnya. Matahari sudah mulai turun. Langit berwarna jingga keemasan. Ia menikmati angin dan suara air.
Tiba-tiba, ia mendengar bunyi cepak… cepuk… cepak…
Bunyi itu datang dari arah hulu. Ia berdiri dan memicingkan mata. Tapi tidak terlihat satu pun sampan. Sungai itu kosong. Namun suara dayung semakin mendekat.
“Siapa pula yang mendayung senja begini?” gumamnya.
Karena penasaran, Marzuki berteriak, “Hoi! Siapa tu di hulu sana?”
Tak ada jawaban. Tapi suara dayung itu berhenti.
Tiba-tiba, bulu roma Marzuki meremang. Udara di sekitarnya terasa dingin, walau senja masih hangat. Ia cepat-cepat masuk ke rumah.
Malamnya, ia menceritakan hal itu kepada ibunya. Wajah ibunya langsung berubah pucat.
“Jangan buat main,” kata ibunya pelan. “Itu bukan orang. Dulu, ada satu keluarga di hulu yang tak pernah selamat waktu banjir. Sampan mereka tenggelam. Sejak itu, warga kampung sering dengar bunyi dayung, tapi tak pernah nampak siapa yang mendayung.”
Marzuki tak menjawab. Dadanya terasa berat.
Besok siangnya, Marzuki mengajak tiga kawannya Zairul, Hafiz, dan Wadi untuk menyusuri sungai ke arah hulu. Mereka ingin membuktikan apakah cerita itu benar.
Setelah satu jam mendayung, mereka sampai di kawasan bekas kampung lama. Hutan sudah mulai menelan sisa-sisa rumah yang pernah berdiri. Di antara akar bakau yang besar, mereka melihat sebuah sampan tua tersangkut. Catnya sudah mengelupas. Tapi yang membuat mereka terdiam adalah air yang menggenang di dalam sampan itu — masih basah seperti baru dipakai.
“Macam… baru digunakan,” bisik Wadi.
Hafiz mengangguk pelan. “Tapi tak mungkin ada orang. Tadi kita tak nampak sesiapa pun di jalan sungai.”
Tanpa berkata-kata, mereka memutuskan untuk segera pulang.
Sejak hari itu, Marzuki tak pernah lagi duduk di tepi sungai saat senja. Ia mulai percaya bahwa tidak semua hal bisa dijelaskan dengan akal.
Bunyi dayung itu masih terdengar sesekali. Dan setiap kali suara cepak… cepuk… muncul dari arah hulu, orang kampung hanya diam dan menutup pintu. Mereka tahu, itu bukan suara manusia. Itu adalah kenangan yang tak pernah selesai.