
Sore itu ufuk barat Desa Lee Ambat memerah indah. Tumpahan warna jingga kala itu seolah ikut menyambut kebahagian keluarga Sihite. Terdengar riuh yang menyenangkan pada ujung desa, menghangatkan jiwa yang terdapat di dalamnya. Di halaman rumah pada ujung desa itu, para kerabat dan undangan tengah berkumpul, menantikan proses Mangain Marga—sebuah upacara adat penting sebelum dilakukan pernikahan antara Rina Maria Sihite dengan kekasihnya Abimana, lelaki asal Surabaya.
Lelaki yang tengah berdiri mengenakan kemeja batik rapi bermotif kembang bungur itu tampak gugup. Keringat dingin menetes dari pelipisnya. Abimana tahu ini bukan sekedar acara biasa yang akan dilakukan begitu saja kemudian selesai. Abimana begitu paham bahwa upacara yang akan dilakukannya sekarang adalah upacara penting dalam adat Rina—calon istrinya. Hari ini ia akan resmi diberi marga, menjadi bagian dari tatanan adat calon istrinya, kemudian disambut dan diterima dalam keluarga baru.
Rina menggenggam tangan Abimana dan mengelus lembut punggung tangannya, “Tenang, Bi. Semua sudah disiapkan. Kau hanya perlu mempersiapkan diri dan membuka hati.”
Abimana tersenyum teduh pada Rina kemudian mengangguk. Dalam hatinya Abimana telah lama bertekad bahwa apapun dan bagaimanapun prosesnya, ia ingin diterima, bukan hanya oleh keluarga Rina, melainkan oleh budaya serta adat tempat Rina tumbuh dan membentuknya. Sebab bagaimanapun kondisinya, Abimana akan mencintai Rina dengan utuh dan sepenuhnya.
Diantara riuh hangat yang terjadi, Abimana teringat kembali perjalanan yang membawa keduanya sampai pada tahap ini. Tidak mudah, tentu saja. Menyatukan pemikiran dari dua suku yang berbeda, dengan adat yang tentu saja juga berbeda. Kekhawatiran yang datang dari dua keluarga dan bagaimana cara Abimana meluluhkan dan mempertemukannya di titik tengah. Semua itu tidak pernah mudah, akan tetapi dengan keyakinan yang selama ini Abimana jadikan tumpuan bahwa ia melalui ini semua bersama Rina menjadikannya tidak goyah, sampai pada akhirnya di sinilah dia berdiri sore ini.
***
Berminggu-minggu sebelum hari ini, dua keluarga telah bertemu. Keluarga Rina bertandang ke Surabaya untuk melakukan proses berunding dengan keluarga Abimana. Sebab kekhawatiran dari ayah Abimana tidak kunjung pudar. Karena bagaimanapun juga, Abimana adalah seorang lelaki dari suku jawa, dan dia memiliki jati dirinya sendiri. Ayah Abimana tidak mau itu dihilangkan ketika Abimana menikahi perempuan dari suku lain.
Dalam proses berunding antar dua keluarga itu, keduanya berusaha menemukan titik tengah. Meyakinkan keluarga Abimana bahwa dalam segala proses pernikahan nanti, Abimana tidak akan kehilangan jati dirinya sebagai lelaki dari suku Jawa. Mereka menjelaskan pada keluarga Abimana terkait pentingnya Mangain Marga yang harus dilakukan. Abimana harus memiliki marga untuk menikahi Rina dan hal itu hanya bisa dilakukan ketika Abimana bersedia melakukan mangain marga. Bukan untuk menghilangkan jati dirinya, melaikan sebuah proses agar kemudian Abimana bias diterima, agar kemudian tatanan yang sudah terjaga dalam adat Batak tidak menjadi rusak.
Pada akhirnya ayah Abimana memilih untuk menghormati keputusan itu. Sebab ayah Abimana memahami, untuk hidup berdampingan dibutuhkan proses saling menerima dan mengerti. “Kalau memang itu yang harus dikalakukan, maka saya merestui,” tukasnya.
Beberapa hari setelahnya, keluarga Abimana bergantian bertandang ke Desa Lee Ambat untuk melangsungkan rangkaian upacara adat pernikahan antara Abimana dan Rina. Sinamot telah disepakati, begitupun dengan tersepakatinya siapa yang akan melakukan ‘mangain’ terhadap Abimana. Merupakan Opung Manik dari pihak hula-hula yang telah bersedia memberi marga Manik kepada Abimana.
***
Pada hari ini, tibalah Abimana dalam tahap yang telah dinanti. Satu dari serangkaian upacara adat untuk menikahi Rina akan dilaksanakan hari ini. Gugupnya kian terasa. Bagaimanapun juga, ini adalah pertama kalinya Abimana terlibat dalam upacara adat yang bukan dari sukunya. Bagi Abimana ini bukan hanya persoalan syarat menikah, tapi juga tentang kesediaan dan penrimaan.
Abimana mengedarkan pandangan, di hadapannya kini tengah duduk para tokoh adat, hula-hula, keluarga besar, serta kerabat dari Rina. Kemudian atensinya kembali tertuju pada calon istrinya, perempuan batak yang akan menjadi pasangannya itu tengah tersenyum lembut padanya, menenangkan. Senyumannya seolah membawa pesan bahwa semua akan berjalan lancer dan tidak ada yang perlu dikhawatirkan.
Acara dimulai dengan berdoa bersama, kemudian sepatah kata dari tokoh adat dan dari pihak yang dituakan. Sejauh ini, semua berjalan dengan lancer. Sesuai dengan apa yang dikatakan Rina—bahwa ia hanya perlu membuka hati. Sedangkan Rina, dalam duduknya diam-diam juga merasakan gugup yang sama riuhnya dengan Abimana. Rina benar-benar berharap bahwa semua ini berjalan dengan sebaik-baiknya.
Di tengah acara, Abimana diperintahkan untuk maju, kemudian menyusul juga sesosok yang dituakan dari pihak hula-hula, berdiri berhadapan dengan Abimana.
“Anakku, Abimana, malam ini kau kami angkat menjadi anak kami. Mulai hari ini, kau adalah seorang Manik. Kau telah menjadi bagian dari tatanan kami,” ujar seorang di hadapan Abimana.
Abimana menunduk memberi hormat. Tepat untaian kata itu dilontarkan, ada setitik haru yang menyusup pada rongga-rongga dadanya, diam-diam perasaan Abimana perlahan menjadi ringan, rasa gugup yang semula menderanya hilang secara perlahan, kini ia mulai merasa cukup tenang.
Upacara simbolik pun dilakukan sebuah ulos disampirkan ke bahunya. Sebagai gambaran dan pertanda bahwa kini Abimana telah diterima seutuhnya dalam tatanan keluarga Manik. Dadanya kian membuncah. Perasaan haru dan suka cita melebur dalam dadanya. Sosok tua dihadapannya kembali berusara, dengan keras dan tegas khas manusia dari suku Batak. Namun, Abimana tahu bahwa bukan amarah yang terdapat di dalamnya.
“Mulai sekarang, kau bukan hanya Abimana. Kau adalah Abimana Manik. Kau juga punya hak dan tanggung jawab terhadap keluarga Batak. Tetap jaga nama baik keluarga. Baik keluarga dari asal suku-mu juga keluarga baru yang telah menerimamu, keluarga Manik. Kami percayakan tanggung jawab itu padamu.”
Setelahnya, acara dilanjutkan dengan makan bersama. Pemberian makanan kepada Abimana secara simbolik sebagai lambang penerimaan seutuhnya. Satu ekor ikan mas, sepiring nasi putih, dab segelas air mineral diberikan kepada Abimana yang kemudian ia terima dengan penuh suka cita.
Riuh sorak sorai dari para keluarga yang hadir menjadi pertanda suksesnya upacara adat yang telah digelar. Ramai yang hangat dan menenangkan. Abimana menyadari bahwa ini belum berakhir melainkan sebuah awal baru dari perjalanan yang akan ia tempuh. Langkah awal yang dia lakukan untuk menjembatani antara cintanya dan adat budaya yang telah ia bawa sejak lahir. Membangkitkan pemahaman baru bahwa, yang berbeda tidak lantas dilarang bersama, melainkan bisa berdampingan, saling merangkul dan menerima.
Berhari-hari kemudian, upacara pernikahan tetap digelar dengan semestinya. Sesuai dengan syariat agama serta hukum adat yang telah dijalankan sejak lama. Dalam rangkaian upacara resepsi pernikahan itu, kedua orangtua dari Abimana juga mendapatkan hadiah ulos dari keluarga Rina. Menjadi tanda bahwa bukan seorang Abimana saja yang telah diterima dan disambut dengan baik, melainkan juga keluarganya.
Pada akhirnya cinta dan pernikahan antara Abimana dan Rina diterima, tidak hanyaole tuhan melainkan juga oleh tatanan adat dan masyarakat. Dengan sumpah yang dilantukan pada tuhan, dengan ulos yang menyatukan keduanya dalam resepsi dan upacara pernikahan. Keduanya akan saling berdampingan, saling menerima, saling memberi, merangkul satu sama lain dalam hubungan suci yang mereka janjikan dihadapan tuhan.