
Di tepian Sungai Deli, angin sore berembus lembut, menyapu dedaunan ketapang yang berguguran di tanah basah. Di sanalah mereka biasa bertemu, jauh dari hiruk-pikuk kampung dan pandangan mata yang menghakimi. Nia dan Danu, dua insan yang terikat oleh rasa, namun dipisah oleh adat yang tak kenal belas kasih.
Danu hanyalah anak seorang pengayuh becak. Ayahnya sudah lama wafat, ibunya menenun kain songket di rumah kecil beratapkan rumbia. Sementara Nia, gadis elok berkulit kuning langsat, adalah putri satu-satunya Datuk Idrus, tokoh terpandang di kampung. Keluarganya berdarah bangsawan, keturunan langsung dari raja-raja kecil di pesisir timur Sumatra.
“Abang tahu tak, hari ini Mak mula tanya siapa yang sering Nia temui di sore hari,” bisik Nia pelan, menunduk malu di hadapan Danu.
Danu menatap mata Nia yang redup bagai senja. “Dan Nia bilang apa?”
“Aku diam, Bang. Tapi Mak bukan orang yang bodoh. Aku rasa… mereka akan tahu juga cepat atau lambat.”
Danu menggenggam jemari Nia yang dingin. “Kalau benar cinta Nia pada abang, kita pasti temukan jalan.”
“Tapi adat, Bang. Keluarga kami tak pernah menikahkan anak perempuan dengan lelaki dari kasta bawah. Kami disebut keturunan ‘berdarah emas’, sementara abang…” suaranya nyaris tak terdengar, “cuma orang biasa.”
Danu menarik napas panjang, mencoba mengusir sakit di dadanya. “Apa cinta harus tunduk pada kasta, Nia?”
Nia hanya bisa menunduk. Di hatinya, cinta itu hidup, mekar, bahkan telah mengakar. Tapi adat adalah tembok tinggi yang membatasi langkah mereka.
—
Malam itu, rumah Datuk Idrus gaduh. Nia dikurung, segala bentuk komunikasi dengan dunia luar direnggut darinya. Ibunya menangis, menyebut nama-nama leluhur yang seolah akan murka bila darah keturunan mereka tercampur dengan yang bukan golongan.
“Tak bisa, Nia. Tak bisa kau nodai darah keluarga kita demi seorang pengayuh becak,” kata Datuk Idrus lantang. “Itu bukan cinta, itu racun dari kemiskinan yang membutakanmu!”
Nia hanya diam. Tapi dalam diamnya, ia menyusun rencana.
—
Tiga malam kemudian, di bawah sinar bulan yang malu-malu, sepasang kaki berlari menyusuri jalan setapak menuju sungai. Di bawah pohon ketapang—tempat semua kenangan mereka tertambat—Danu telah menunggu.
“Aku pilih abang,” ujar Nia dengan suara bergetar, membawa sebuah buntalan kecil dan seutas kain tenun ibunya.
“Nia… ini gila…”
“Cinta tak gila, Bang. Yang gila itu adat yang menutup mata pada manusia.”
Dan malam itu, mereka pergi. Menyusuri sungai menuju kota, meninggalkan kampung yang hanya mengenal cinta dalam batas garis keturunan. Mereka hidup sederhana, di rumah kontrakan sempit di pinggiran Medan. Tapi bahagia.
—
Lima tahun kemudian, kabar datang ke kampung. Danu kini menjadi pengusaha transportasi darat yang sukses, membuka lapangan kerja bagi ratusan pemuda kampung. Nia mendampingi tiap langkahnya, menjadi perempuan kuat yang membuktikan bahwa cinta bisa tumbuh meski benihnya dilempar ke tanah yang keras.
Datuk Idrus jatuh sakit. Di ranjangnya, ia berbisik lirih saat Nia pulang menjenguk.
“Mungkin… aku salah menilai cinta.”
Nia hanya tersenyum. Ia tahu, waktu memang lambat menyembuhkan luka, tapi cinta yang setia— akan menang pada akhirnya.
— TAMAT