Posted in

Pecahkan Saja Pot Bunganya

Diah Ryscha Puri

Sastra Indonesia C 2022
https://www.instagram.com/diahryscha

Suara meja yang dipukul keras membuat suasana yang tadinya ceria menjadi tegang seketika. Raut wajah orang-orang yang sedang duduk di sofa untuk bersua menjadi bingung, kesal, sedih. Zaleha menatap bergantian wajah-wajah di hadapannya, yang sebelumnya mengolok-olok dirinya, membandingkan dirinya dengan anak mereka. Tapi kini perhatiannya terfokus pada ibunya yang paling semangat membandingkan dirinya dengan sepupunya.

Mak ni selalu, kate ikut adat, ikut cakap orang. Tapi Leha penat, Leha cume nak jadi diri sendiri.”

Zaleha beranjak dari sofa, meninggalkan ruang tamu menuju mobilnya yang terparkir di depan rumah. Hentakan kakinya yang cepat, juga kunci mobil disertai gantungan boneka beruang di jari telunjuknya yang berguncang hebat, menunjukkan betapa kesal dirinya saat itu. Ia bahkan hanya menyambar sepatu kets di rak yang terletak tepat di samping pintu utama, tanpa berniat berhenti untuk sekadar memakainya. Ia terus berjalan menuruni anak tangga di rumahnya yang berbentuk panggung.

Zaleha kini masuk ke mobil dan menutup pintu mobilnya dengan keras. Sembari menutup kaca mobil, ia melempar pandang pada ibunya yang berdiri di serambi rumah dengan wajah khawatir. Lantas ia kembali memalingkan wajah ke depan dan menjalankan kendaraan miliknya dengan cepat. Meskipun terdengar di telinga samar-samar suara ibunya meminta untuk kembali saat itu juga, Zaleha tak menghiraukannya, tak sedikit pun ia berniat menghentikan mobilnya. Ia justru pergi begitu saja menjauh dari perkampungan Melayu yang ia cintai sekaligus tak ia sukai.

Suara mobil makin menjauh. Ibu masih pada posisi yang sama, kedua tangannya menggenggam erat kain batik di pinggangnya. Matanya tak berkedip, memandang jalan tanah berdebu yang baru saja dilewati mobil Zaleha.

Seorang perempuan muda keluar dari dalam rumah, melempar pandangan kesal ke arah yang sama.

“Mak ni pun satu, asyik sangat manjain Leha. Tengoklah sekarang, kepale die dah tinggi melangit. Kite pulak yang pening.”

Ibu tak menjawab. Suaranya tertahan, hanya napasnya yang tersisa.

“Macam manepun, die tu tetap adik kau, Jaharah.”

Jaharah memutar mata, ia sudah muak mendengar jawaban ibu yang selalu sama. Ia pun berbalik, berjalan masuk ke dalam rumah tanpa menghiraukan ibu yang sepertinya tak berniat pindah dari posisinya.

***

Mobil Zaleha keluar dari jalan tol, ia memasuki wilayah perkotaan, tempatnya kini menetap sekaligus mencari nafkah. Ia berencana pergi ke kedai kopi miliknya meskipun ini bukan jadwal untuk berkunjung. Saat berhenti di lampu merah, ia bersandar di kursi mobil dan memalingkan wajahnya ke kanan, matanya menangkap sebuah toko bunga di jalan yang berlawanan arah. Saat sedang sibuk memperhatikan aktivitas di toko itu, ia dikejutkan dengan suara klakson dari mobil belakang, ternyata lampu sudah hijau. Zaleha menekan gas dan mencari jalan untuk berputar ke jalan yang berlawan arah, tiba-tiba saja ia sangat ingin berkunjung ke toko bunga itu.

Mobilnya kini berhenti, tepat di hadapan Toko Roti Puri dan toko bunga kecil dengan kaca jendela besar yang memperlihatkan isinya. Setelah memarkirkan mobilnya di tempat yang pas, Zaleha segera berjalan menuju pintu masuk toko bunga. Begitu mendekati pintu, matanya langsung di sambut dengan huruf-huruf yang membentuk lengkungan pada papan kayu yang tergantung tepat diatas pintu masuk bertuliskan Diah’s Florist. Semerbak bunga langsung berlomba-lomba masuk ke hidung Zaleha begitu ia mendorong pintu masuk bertuliskan “open” itu. Selanjutnya lonceng kecil yang dipasang diatas pintu tersebut berdenting riang beberapa kali, membuat toko bunga yang sepi nan harum itu seperti dunia lain.

“Selamat datang,” sambut seorang wanita dari kejauhan.

Wanita itu memiliki rambut ikal bergelombang berwarna hitam sepanjang pinggang. Ia mengenakan blouse lengan balon berwarna merah muda sepanjang lutut yang ditimpa celemek kuning pastel. Mata Zaleha secara otomatis membaca tulisan pada tanda pengenal yang berada di sisi kanan atas celemek pegawai tersebut.

Dahlira, elok betullah namenye … tapi kenape pulak jawatannye tak tertere? agaknye pemilik toko ke?

Wanita itu berjalan dengan iringan suara lembut tapak sepatu datar yang semakin mendekat. Ia tersenyum ramah. “Ada yang bisa saya bantu?”

“Oh, itu … saya tidak mengerti tentang bunga, jadi saya ingin melihat-lihat sebentar,  apakah boleh?”

“Silakan melihat sepuasnya, kalau butuh bantuan, saya ada di sebelah sana,” ucapnya diiringi senyum terkatup, sembari menunjuk dengan lima jari pada meja yang atasnya dipenuhi rangkaian bunga dalam keranjang rotan.

Zaleha hanya menanggapi dengan senyuman. Saat  wanita itu kembali ke tempatnya semula, Zaleha mulai menjelajahi bunga-bunga di toko tersebut, meskipun dirinya tak tahu-menahu apapun tentang bunga. Jangankan makna dari sebuah bunga, ia bahkan tak tahu jika bunga mawar dan anyelir adalah dua jenis yang berbeda. Setelah menjelajahi seluruh isi toko, perhatiannya kini tertuju pada Dahlira, tangannya sibuk sekali merangkai bunga dan menyusun dengan indah di dalam keranjang rotan.

“Apakah Anda tidak memiliki pegawai?” tanya Zaleha tiba-tiba, membuat Dahlira  menghentikan pekerjaannya sejenak.

“Saya adalah pegawai di toko ini.”

“Begitu ya,” jawab Zaleha tetap memperhatikan pegawai yang dengan cekatan memilah dan menyatukan rangkaian bungannya. “Kalau boleh tahu, kalian mendapatkan bunga-bunga ini dari mana ya?” Zaleha lanjut bertanya, tetapi pegawai itu tidak kunjung menjawab, terjadi keheningan selama tiga detik.

Tak sopan ke pertanyaanku?

“Saya hanya penasaran, bagaimana kalian bisa mendapatkan berbagai macam bunga, jujur saja saya tidak pernah melihat bunga-bunga itu di taman kota ini,” sambung Zaleha lagi, khawatir pegawai itu menganggap dirinya aneh.

“Kami mendapatkan bunga-bunganya dari taman belakang toko ini. Ibu Lia, pemilik toko ini yang menanamnya,” jelas Darlia tersenyum sekilas.

Mendengar itu, Zaleha semakin ingin melemparkan pertanyaan, apakah dirinya diizinkan untuk melihat kebun bunga itu? Namun ia mengurungkan niat sebab pegawai itu mulai terlihat tidak nyaman, terlebih rangkaian bunga yang sedang ia kerjakan, terlihat tidak akan bisa diselesaikan dalam waktu satu jam kedepan. Merasa tidak enak, Zaleha pun berniat memesan serangkai buket dari beberapa bunga yang menarik perhatiannya saat ia sedang melihat-lihat.

“Saya ingin memesan beberapa bunga, bisakah Anda merangkainya untuk saya?” Zaleha bertanya hati-hati.

“Tentu, bolehkah saya yang melakukannya? Sepertinya pegawai saya sedang sedikit sibuk.”

Suara ramah seorang wanita terdengar dari arah pintu belakang. Zaleha dan Darlia sontak menoleh ke sumber suara. Namun hanya Zaleha yang terus memandang, sedangkan Darlia hanya sekilas lalu kembali tenggelam dalam pekerjaannya.

Seorang wanita melangkah keluar dari balik pintu putih bermotif bunga hijau kecil-kecil. Senyumannya mengembang, memperlihatkan deretan gigi yang rapi dan bersih. Ia mengenakan atasan putih dipadukan dengan rok selutut berwarna merah tua, dilapisi celemek kuning pastel yang jatuh manis di pinggangnya. Rambut pirangnya, ikal hingga pinggang, diikat rapi di tengkuk dengan pita kuning serasi. Seperti tanpa sadar, mata Zaleha lagi-lagi langsung membaca nama yang tertera pada tanda pengenalnya.

Ish, cantik betullah … nama Liliana tu elok betul dengan die. Die tu campuran ke, agaknye? Atau rambut perang tu hasil warnen ke semulajadi?

“Tentu saja saya akan senang menerima bantuan Anda.” Zaleha berusaha tersenyum seramah mungkin, menyamakan energi yang sama dengan wanita pirang itu.

“Kalau begitu, silakan ikuti saya, Anda boleh memilih bunga dari taman kami secara langsung,” jawab Liliana dengan ramah.

Zaleha langsung mengangguk tanpa ragu, lalu melangkah mengikuti Liliana, sang pemilik toko. Mereka melewati sebuah pintu taman yang manis dan mungil, seolah diambil dari halaman sebuah dongeng tua. Di balik pintu putih bermotif bunga hijau kcil itu, terbentang taman bunga yang menawan, dinding kacanya memantulkan cahaya lembut, menciptakan kesan hangat yang menguar dari segala penjuru.

Bunga-bunga beraneka rupa tersusun rapi, ada yang berdiri anggun di vas, ada pula yang berjejer di rak-rak kayu, dan tak sedikit yang tumbuh langsung dari tanah yang dibalut rumput. Di tengah taman, sebuah meja dan kursi berwarna cokelat muda berdiri tenang, seperti kursi yang biasa digunakan untuk piknik. Zaleha terdiam. Matanya membelalak penuh takjub, hingga ia lupa caranya berkedip.

“Bu Lia, bisakah Anda membantu saya sebentar?

Suara seorang wanita lain memecah keheningan yang tengah dinikmati Zaleha dalam keterpukauannya. Ia dan Bu Lia sontak menoleh ke arah datangnya suara. Tampak seorang wanita mendekat, rambut hitamnya yang ikal diikat tinggi dalam gaya ponytail, bergoyang lembut seiring langkahnya. Ia mengenakan pakaian yang sama persis dengan Darlia, blouse merah muda sepanjang lutut dan celemek kuning pastel yang memberi kesan hangat.

“Apakah syarat bekerja di toko ini memang harus cantik dan berambut ikal bergelombang?” Zaleha membiarkan pertanyaan itu meluncur melewati bibirnya.

Bu Lia dan wanita yang baru saja datang itu tertawa, keduanya terlihat semakin cantik saat tertawa. Zaleha ikut tertawa kecil bersama mereka.

Sejujurnya ini hanya ketidaksengajaan yang disengaja,” jawab Liliana setelah puas tertawa.

“Wah, Anda pandai memainkan kata ya, Bu Liliana.”

“Anda bisa memanggil saya Lia.”

“Kalau begitu, senang bertemu dengan Anda, Lia.” ucap Zaleha ramah, dan langsung berubah bingung setelah detik ke dua. “Itu, Apakah Anda punya rekomendasi bunga? Semua bunga terlihat cantik, jadi saya tidak benar-benar yakin bunga apa yang saya inginkan.”

“Bagaimana kalau Anda menanam bunga saja? Saya bisa memberikan bunga dalam pot untuk anda rawat,” jelas pegawai yang bersama mereka.

“Saya tidak tahu cara merawat bunga, tapi sejujurnya saya sedikit tertarik setelah melihat tanaman-tanaman disini. Apa tidak masalah kalau bunga yang saya tanam mati?”

“Tentu saja tidak boleh,” potong Bu Lia cepat.

Zaleha terdiam. Ada rasa sedih yang perlahan muncul. Niat kecilnya tadi, yang baru saja tumbuh, nyaris layu seketika. Ia tak punya dasar apa pun dalam merawat atau menanam bunga.

Tapi kemudian, suara Bu Lia kembali terdengar, lebih lembut.

“Tapi kalau Anda sudah merawatnya dengan sepenuh hati dan bunga itu tetap mati, mungkin itu artinya dia yang memutuskan untuk pergi. Anda hanya perlu merawatnya dengan tulus. Kalau akhirnya dia mati juga … yasudah. Mungkin dia sudah lelah hidup dalam pot. Dia ingin tumbuh di kebebasan. Tapi terkadang, manusia memaksanya tetap hidup dalam pot, hanya supaya terlihat cantik. Jadi dia memilih pergi, daripada hidup dengan akar yang sakit.”

“Lagi-lagi Bu Lia bicara begitu,” celetuk pegawai yang sejak tadi menemani mereka, sambil mengangkat kedua tangannya ke dada dan menggeleng pelan, setengah bercanda. Bu Lia hanya tertawa kecil, dan pegawai itu pun melangkah pergi ke arah deretan pot bunga.

Zaleha termenung. Ada perasaan yang aneh tapi hangat di dadanya. Entah kenapa, ia bisa benar-benar merasakan perasaan bunga. Perasaan terkungkung oleh keluarga yang terus memaksanya untuk ‘beradat’, padahal jiwanya bebas, liar, tidak suka diatur, bahkan oleh adat sendiri.

“Bunga yang malang … ternyata manusia itu egois sekali.”

“Menurut Anda begitu?” suara Bu Lia memecah lamunannya.

Zaleha memandang heran, keningnya sedikit berkerut. Bu Lia tersenyum dan mengalihkan pandang pada pegawainya yang sedang sibuk memilih bunga dalam pot.

“Menurut saya, manusia tidak selalu egois. Mereka hanya … tidak tahu apa yang diinginkan sang bunga. Bagaimana bisa tahu, jika bunga sendiri tidak pernah mengatakan? Bunga selalu berharap dirawat oleh orang yang mengerti, tanpa perlu bicara. Bagaimana kalau saya katakan, bunga itu juga egois, salahkah itu?”

Zaleha tertegun. Ia bertanya-tanya dalam hati, sepertinya salah? Bukankah wajar, jika bunga yang telah lama dirawat oleh pemiliknya, menumbuhkan semacam ikatan batin? Bukankah wajar jika bunga itu berharap dimengerti tanpa harus berbicara?

Kalau sudah lama bersama, seharusnya saling mengerti, bukan? pikir Zaleha.

Tapi, di saat yang sama, ia pun menyadari satu hal, mungkin harapan seperti itu terlalu tinggi untuk makhluk yang tak bisa berkata-kata. Bahkan manusia saja sering gagal memahami satu sama lain, meski hidup di bawah atap yang sama. Apalagi bunga. Apalagi seseorang sepertinya.

Zaleha menghela napas berat. Ada sesuatu dalam kata-kata Bu Lia yang terasa seperti cermin, memantulkan sesuatu dari dirinya sendiri. Ia tak yakin bagian mana yang menyakitkan, apakah ketidaktahuan sang perawat, atau keegoisan bunga yang diam-diam ingin dimengerti.

“Wah, berat sekali ya hembusan napas itu.” Bu Lia tertawa.

“Kalau begitu, tidak ada yang salah di antara mereka. Tapi keduanya, bunga dan perawatnya mengalami kesedihan masing-masing. Kesedihan karena tidak di mengerti dan kesedihan karena ditinggalkan. Padahal mereka tinggal berbicara satu sama lain,” ucap Zaleha pelan. Bu Lia tersenyum, tetap memperhatikan pegawainya.

Zaleha merasakan panas pada matanya, ada cairan yang berusaha mendobrak bendungan yang sedang ia bangun. Ia pun mengalihkan pandang ke arah tanaman yang langsung mencuat dari tanah, dan bendungan air mata sudah tak dapat ia tahan lagi. Mengalirlah air mata di pipi Zaleha, sebisa mungkin ia menahan isak tangis agar sedihnya tidak diketahui oleh Bu Lia.

Bu Lia, saya ingin memberikan bunga ini untuknya, bolehkah?” tanya sang pegawai sambil membawa bunga anggrek Hartinah dalam pot sedang.

Zaleha cepat-cepat mengusap pipi serta matanya, dan langsung menoleh ke arah pegawai yang tetap diam di tempat memegang pot bunga.

“Wah, cantik sekali. Hadiah yang cocok untuk diberikan, Anda boleh memberikannya, Zaleha.”

Zaleha? Barusan Bu Lia menyebut namaku? tanya Zaleha dalam hati. Ia menoleh spontan ke arah Bu Lia, tapi tidak sempat bertanya.

“Zaleha, nama Anda Zaleha?” Zaleha berpaling menatap pegawai itu dengan cepat.

Pegawai itu buru-buru mengangguk dengan dahi yang sedikit berkerut, namun di detik  selanjunya alisnya terangkat serta mulutnya terbuka karena menyadari sesuatu. “Ah, saya lupa memakai tanda pengenal, karena tertinggal di celemek yang satunya.”

“Oh begitu, nama saya juga Zaleha, jadi saya agak terkejut tadi.” Zaleha tertawa canggung.

“Wah kebetulan sekali ya, nama Zaleha sangat jarang sekarang.”

“Iya kan? Saya sendiri kadang merasa aneh, nama saya itu sangat Melayu sekali. Ah, apa Anda juga orang Melayu?”

“Benar, nama lengkap saya Tengku Zaleha.

Zaleha membelalakkan mata. “Wah, nama Anda lebih Melayu daripada saya! Apa Anda keturunan kerajaan?” tanyanya antusias.

“Saya memang keluarga kerajaan. Bunga-bunga ini juga sebagian besar di dapat dari taman istana.” jawabnya tersenyum dan sedikit tertawa.

Zaleha juga tertawa pelan. Taman istana? Maksudnya istana Deli yang itu? Yang sekarang jadi objek wisata?

“Kalau begitu, ini bunganya. Apa Anda perlu bantuan untuk membawanya ke mobil?” tanya Tengku Zaleha.

Zaleha mengibas-ibas kedua tanganya di depan dada. “Oh, tidak perlu. Saya bisa membawanya sendiri.”

Zaleha kini menyambut anggrek Hartinah yang disodorkan padanya. Bibirnya membentuk senyuman puas, matanya berbinar menatapi keindahan bunga itu.

“Kalau begitu, bolehkah saya pulang sekarang? Saya tidak sabar ingin merawat bunga ini.”

“Oh tunggu sebentar.”

Bu Lia mengeluarkan buku catatan bergaya antik, ia membalik-balik halaman, dan merobeknya. “Ini, Anda butuh ini untuk merawat bunga anggrek itu.” jelasnya sambil menyodorkan sobekan itu pada Zaleha.

Zaleha tersenyum, ia sempat bertanya-tanya. Mengapa tidak di print saja? Tapi antusiasnya untuk segera memberikan bunga pada ibunya, membuatnya mengurungkan niat bertanya. “Terimakasih, Lia. Berapa saya harus membayarnya?” tanyanya.

“Oh, tidak perlu. Itu hadiah dari adik saya,” jawabnya tersenyum.

“Wah, ternyata kalian kakak-beradik ya, pantas saja sama-sama cantik.” Zaleha tersenyum antusias dan kembali menyambung ucapannya. “Apakah Darlia juga saudari kalian?”

Tengku Zaleha dan Liliana mengangguk bersamaan. “Benar, dia adik kami. Adik sepupu.” jelas Tengku Zaleha.

Zaleha mengangguk-angguk paham, ia kemudian mengucapkan terimakasih lagi sambil membungkuk beberapa kali sebelum akhirnya keluar dari taman. Selanjutnya Zaleha bertemu Darlia yang hampir menyelesaikan pekerjaannya. Darlia memberikan kardus yang dilubangi untuk membawa anggrek. Katanya, jenis anggrek ini sangat sensitif, sehingga ia menyarankan untuk meletakkan anggrek di kursi mobil. Zaleha kini berpamitan dengan Darlia setelah sebelumnya mengucapkan terimakasih.

Pintu yang di lengkapi lonceng diatasnya kembali berdenting saat Zaleha menariknya. Segera ia berjalan ke mobil dan meletakkan anggrek yang sudah dilindungi kardus, di sebelah kursi kemudi. Setelah memastikan anggrek itu aman, ia langsung masuk ke mobil, dan menjalankan mobil menuju rumah ibunya.

***

Setelah kurang lebih tiga jam berkendara, mobil Zaleha kini berhenti tepat di depan rumah panggung ibunya, tiba-tiba saja ia menjadi gugup. Rumah itu dari luar terlihat sepi seperti biasanya, bunga-bunga yang ada di halaman terlihat rapi dan terawat, ibunya memang suka menanam bunga.

Saat sedang sibuk memikirkan kata apa yang harus ia ucapkan pada ibunya, tiba-tiba ia teringat ucapan Tengku Zaleha yang menawarkan bantuan untuk membawa anggrek ini ke mobilnya. Bagaimana dia bisa tahu aku membawa mobil? Bukannya dia di taman?

“Kak, ngape tak masuk rumah?” tanya adik laki-lakinya yang mengetuk jendela mobil dari luar.

Zaleha tersenyum, lantas membuka kaca mobil perlahan. “Eh, ngape kat luar? Ni lah nak masuk, mak ade kat rumah, tak?”

“Ndak pigi rumah kawan. Mak ade, nampak sedih sangat. Akak tau tak, agaknye?”

“Tau, tapi panjang persoalan die. Nanti akak bagi tau, tapi ni akak nak jumpe mak dulu keh. Kau pigi lah.”

Adiknya mengangguk dan berjalan ke arah yang berbeda menaiki sepeda. Sementara Zaleha masih duduk di mobil, menarik napas, dan memutuskan turun dari mobil saat itu juga.

Saat tiba di ambang pintu, ia mengetuk pintu serta mengucap salam. Hanya ada ibu di ruangan tamu. Ibunya menjawab salam dan menoleh cepat saat mengenali suara Zaleha. Ibunya ingin segera bangkit dari tempat sofa, tapi dengan cepat Zaleha mendatangi ibu lebih dulu.

“Mak … Leha minta maaf. Leha takde maksud langsung melawan cakap Mak,” ucap Zaleha duduk di sebelah ibunya.

Tangan Zaleha masih memegang kardus bunga. Ibunya lantas mengelus kepala Zaleha sambil menangis. “Sudahlah Leha, mak faham sangat. Leha takde maksud macam tu. Mak cume sedih, ngape Leha cakap guna tinggi suare.” Suara ibu berhenti. Zaleha menangis, namun dengan segera ibu mengusap pipinya.

“Mak faham mak salah. Tak sepatutnye mak pakse Leha kahwin dengan lelaki yang mak jodohkan.”

Ibu lantas menarik Zaleha dalam pelukannya. Zaleha menangis tersedu-sedu. Keduanya saling menumpahkan emosi yang tak tertahankan. Cinta ibu dan anak perempuannya.

Setelah puas menangis, ibu mengelap air mata Zaleha untuk yang ke sekian kalinya. Zaleha kini mulai menyodorkan bunga yang dia bawa dari toko bunga.

“Mak, Leha ade sesuatu untuk Mak,” ucap Zaleha di selingi isak tangis.

Ibunya menyambut kardus itu, dan membuka penutupnya. Senyuman merekah di wajahnya. “Leha, elok sangat bunge ni. Dah lame mak tak nampak kat hutan.”

“Leha jumpe kat toko bunge Mak. Ngape Mak cari kat hutan?” tanyanya tetap diiringi isak tangis.

“Bunge ni aslinye bunge liar. Tapi sekarang dah punah kat hutan. Mase mak kecik, bunge ni banyak tumbuh bawah pokok gelam. Warne dia cerah, bau dia wangi lembut, tapi sekarang dah takde lagi. Makasih Leha keh, mak senang sangat.”

Melihat senyum ibunya, perlahan tumbuh rasa bangga dalam hatinya karena bisa membawakan bunga yang hampir punah. Ternyata toko bunga itu sangat hebat, mampu menyediakan bunga yang hampir punah. Ia berniat untuk kembali ke toko itu esok harinya. Ia ingin menyampaikan kebahagian ibunya, dan jadi tertarik untuk mempelajari tentang bunga.

***

Esoknya, saat matahari mulai menyematkan panas, Zaleha pergi ke kota menaiki mobilnya. Setelah melakukan perjalanan panjang, mobilnya kini parkir tepat di tempat sebelumnya. Segera ia turun dari mobil, namun tak ia temukan keberadaan toko bunga itu. Ia melihat kesana-kemari, barangkali ia salah mengingat. Namun tak kunjung ia temukan.

Apa toko bunga itu pindah?

Sampai akhirnya Zaleha memutuskan untuk bertanya pada salah satu pegawai toko roti di sekitar jalan ini, Toko Roti Puri.

“Permisi.”

“Iya, ada yang bisa saya bantu?” tanya pegawai toko itu ramah.

“Begini, apakah Anda tahu keberadaan toko bunga di sekitar sini?”

Pegawai itu memasang raut wajah bingung. Apakah wanita ini salah jalan?

“Setahu saya, di jalan ini tidak ada toko bunga, tapi ada di jalan lain yang tidak jauh dari jalan ini. Atau mungkin Anda bisa mencarinya di aplikasi pencarian lokasi?”

“Saya yakin ada di jalan ini, saya melihat papan nama toko roti ini sebelum masuk ke toko bunga itu. Saya ingat lokasinya tepat di sebelah toko kalian,” jelas Zaleha.

Pegawai itu menatap Zaleha dengan tatapan aneh. Sudah bertanya, dikasih jawaban, tapi tetap kekeuh sama pendapatnya. Terus maumu apa? batin pegawai itu dengan raut wajah kesal.

Menyadari kekesalan di wajah pegawai, Zaleha segera berpamitan dan pergi. “Terimakasih atas informasinya, saya permisi.”

Zaleha tidak mungkin salah, walaupun ia cenderung ceroboh dan pelupa, tapi kali ini sangat yakin. Ia tidak mungkin salah, karena ia parkir tepat di depan antara toko bunga dan toko roti itu.

Walaupun kesal, ia kini mencoba mencari alamatnya di aplikasi pencarian lokasi. Ia mengetikkan ‘Diah’s Florist’ dan tidak muncul apapun disana. Apa toko bunganya belum didaftarkan di aplikasi ini?

Zaleha menghela napas panjang, matanya menatap lahan kecil yang ada di sebelah toko roti. Dia berjalan mendekat, tak ada apa-apa. Namun saat langkahnya semakin ke belakang, ia menemukan kursi dan meja kayu panjang. Ternyata posisi kursi ini memang sulit terlihat dari jalan raya. Di sekelilingnya terdapat bunga-bunga yang tumbuh liar. Zaleha mendekat ke kursi itu dan duduk di atasnya.

Selama beberapa menit duduk diam tanpa melakukan apapun, Zaleha masih tidak mengerti. Sebenarnya apa yang salah? Apakah dirinya berhalusinasi? Tapi, bunga anggrek itu … sangat nyata, bahkan ibu sudah menanamnya di pohon depan rumah.

“Hey, apa saya boleh duduk disana?” tanya seorang pria yang memecah pikiran Zaleha yang sedang rumit.

Pria itu mengenakan setelah jas biru tua dan celana biru tua berbahan kain dengan lipatan di depan. Sepatu pantofel hitam yang dikenakannya menegaskan bahwa ia seseorang yang bekeja di depan komputer.

Zaleha tersenyum. “Tentu saja.”

“Apakah Anda memiliki keperluan di tempat ini?” tanya pria itu setelah ia duduk di hadapan Zaleha.

Haruskah ku katakan yang sebenarnya? tanya Zaleha dalam hati.

“Saya … hanya kebetulan menemukan tempat ini. Sepertinya nyaman, jadi saya mencoba duduk sebentar.” Pria itu mengangguk.

“Anda sendiri, ada keperluan khusus?”

“Saya terbiasa baca buku disini,” ucapnya sambil menunjukkan buku tebal yang ia bawa.

Zaleha mengangguk dan tidak mengatakan apapun lagi. Pria itu tak kunjung membuka bukunya, ia memperhatikan wajah Zaleha, yang memperhatikan bunga-bunga.

“Anda suka bunga?”

Zaleha tidak memalingkan wajahnya dari bunga-bunga. “Hampir, tapi sepertinya batal.”

Pria itu mengerutkan dahinya. “Kenapa?”

Zaleha hanya menanggapinya dengan bahu yang terangkat. Pria itu tidak memaksakan jawaban atas pertanyaanya.

“Tempat ini milik keluarga saya,” ucap pria mencoba untuk tetap berkomunikasi.

Mendengar itu, Zaleha lantas menoleh pada si pria. Matanya terlihat antusias, siap untuk mendengarkan lebih lanjut. Barangkali dia bisa menemukan petunjuk.

Melihat reaksi Zaleha, pria itu segera melanjutkan ucapannya. “Sengaja dibiarkan kosong untuk mengenang nenek buyut saya yang pernah ingin membangun toko bunga di tanah ini, tapi sayangnya toko itu tak kunjung dibangun. Keluarganya tak mengizinkan perempuan bekerja.”

Zaleha kaget, tapi segera sirna, mengingat keanehan yang sebelumnya terjadi padanya. “Apakah nenek Anda keturunan campuran?”

Pria itu mengangkat kedua alisnya karena terkejut. “Wah, tebakan Anda tepat sekali. Bagaimana Anda bisa tahu?”

“Wajah Anda menjelaskan segalanya, memangnya wajah yang begitu bisa dihasilkan tanpa keturunan campuran?”

Pria itu tertawa geli. Wajah yang begitu? Memangnya wajahku kenapa?

“Anda bertanya apakah nenek saya keturunan campuran, dan bukannya bertanya, apakah nenek saya orang luar. Jadi tebakan Anda sangat tepat sampai terasa aneh.”

“Yah, hanya kebetulan,” ucap Zaleha gugup.

“Nenek saya dan adiknya yang beda ibu, memiliki pemikiran yang sama. Ingin kebebasan, tidak ingin di kekang. Tapi sampai akhir, keduanya hanya bisa bermimpi.” Suasana hening. “Saya berharap, jika kehidupan lainnya ada, semoga dia dan adik perempuannya bisa mewujudkan mimpinya,” lanjutnya.

“Saya yakin nenek Anda bisa membangun toko bunganya.”

Pria itu tersenyum. Zaleha terkejut mendapati senyumannya. Senyuman itu, sama persis dengan senyuman Liliana.

“Kalau boleh tahu, siapa nama Anda?” tanya pria membuyarkan kebingungan yang tengah muncul di kepala Zaleha.

“Zaleha.” jawab Zaleha tenang. Pria itu membelalakkan matanya.

Kenapa Anda sekaget itu?” tanya Zaleha tertawa canggung. Meskipun sebenarya ia sudah memperkirakan reaksi pria itu.

“Oh, tidak. Saya terkejut mendengarnya. Nama itu sudah jarang digunakan sekarang.”

“Saya tahu … dan nama Anda?”

“Liano, Anda bisa memanggil saya Lian.”

“Lian, begitu ya,” guman Zaleha.

Zaleha kembali menatap bunga sambil membaringkan kepalanya di atas meja, sedangkan Liano mulai membuka bukunya. Angin berhembus pelan mengusap pipi Zaleha,  menggoyangkan tanaman liar, dan membalikkan lembaran buku Liano. Zaleha memejamkan matanya, menikmati semilir angin, sambil mengingat kejadian kemarin yang tidak akan mungkin disebut mimpi.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *