Kami lahir dari cahaya yang jatuh
di antara bukit tua dan suara gondang,
anak-anak yang tak hanya menginjak tanah, tapi juga melompat ke pelukan air yang luasnya seperti rahim pertama dunia.
Anak-anak Danau Toba, berlari tanpa alas,
melompat dari batu-batu licin, menyelam bebas ke dalam
sebuah danau yang lebih tua dari banyak peradaban. Tubuh-tubuh kecil itu menari di air,
mengukur dalamnya bukan dengan alat,
tapi dengan nyali dan tawa yang membelah angin.
Terkadang satu-dua hanyut,
terbawa ombak yang tiba-tiba marah, danau bisa jadi ibu,
tapi juga bisa jadi rahasia yang menenggelamkan. Namun esoknya, anak-anak itu kembali,
karena ketenangan danau lebih kuat dari ketakutan, dan karena kebebasan bagi mereka
berakar di dalam air itu.
Kami menyebut diri:
anak-anak yang dibasuh gondang,
ditimang ulos, dan dibaptis oleh matahari Bukit Barisan. Di rumah kami,
adat tidak pernah jadi beban Ia adalah jalan
dalihan na tolu yang menopang pergaulan, menjaga marwah, mengikat saudara
meski tak serumah, meski tak segaris darah.
Perempuan menenun ulos bukan hanya untuk menghangatkan, tapi untuk mendoakan
anak-anak yang akan merantau
ke kota-kota yang lupa arah mata angin. Laki-laki tak hanya membangun rumah, mereka mendirikan martabat,
dengan tangan yang kasar oleh kerja
dan hati yang lembut oleh warisan cerita.
Danau Toba bukan sekadar tempat tinggal, ia adalah kitab terbuka
yang dibaca dengan kaki telanjang, dengan jiwa yang tidak takut luka, dengan dada yang menyimpan
lagu-lagu lama
yang hanya bisa didengar
oleh mereka yang tahu diamnya air adalah bahasa leluhur.
Horas, kata pertama dan terakhir yang kami ucapkan.
Salam yang bukan basa-basi,
melainkan jembatan dari masa silam ke masa nanti.
Kami, anak-anak Danau Toba, akan terus berenang,
menyelam ke dalam waktu, dan naik ke permukaan
membawa cahaya yang tak pernah padam dari dasar danau kami.