Di antara gubang dan geleng
lidah kami memanggil: mangiligh, mancaghut, manyingkap —
bukan sekadar kata,
tapi jejak warisan yang bersuara.
Bahasa ini tak teriak,
ia menyindir halus dari balik rebana,
dan melompat seperti kilik di tengah padang.
Kami tak menukar logat
demi huruf yang asing:
kami masih mangayap kebenaran
dengan lidah MaN-
yang tak mau diam.