Marga
bukan sekadar nama yang diucap di akhir, bukan hiasan di kartu identitas
atau sekadar tanda dari mana kita berasal. Ia adalah tali yang panjang,
ditarik dari hulu sungai leluhur
sampai ke tangan kita yang kini merantau.
Kami lahir di tanah yang disapa angin Toba,
di mana setiap bayi bukan hanya diberi nama, tapi juga sejarah.
Marga itu ditanam di hati seperti benih yang akan tumbuh di manapun kami berpijak.
Pergilah kami ke kota yang tak tahu mana Simanjuntak, mana Siahaan, mana Hutabarat, mana Pasaribu.
Tapi suatu hari,
di antara gedung dan jalan,
kami mendengar seseorang menyebut marga yang sama— dan tiba-tiba dunia mengecil.
Tiba-tiba kami bukan orang asing.
“Ah, tulangku do hamu”
“E, ito…… E, Pariban!” Dan dalam satu kalimat, kami kembali pulang,
walau tubuh tak pernah benar-benar kembali ke desa.
Marga adalah jembatan yang menghubungkan kami, walau tak serumah,
tak sesuku pun,
kami tahu harus bersikap:
siapa yang harus dihormati,
siapa yang bisa disapa dengan tawa, dan siapa yang tak boleh dilihat dua kali.
Tanah Batak tidak hanya tanah subur, ia juga ladang bagi ingatan.
Di sana, marga ditanam dalam nisan dan dipanggil dalam doa.
Orang tua kami berkata:
“Jaga margamu, karena itu wajah leluhurmu.”
Dan kami tahu,
selama marga itu masih hidup dalam laku, maka kami tak pernah benar-benar sendiri.
Di balik sebuah marga, terdapat barisan tangan
yang akan menyambutmu
di kota yang tak pernah kau kenal. Dan saat dunia terasa asing,
marga akan membawamu pulang— tanpa harus menjejak tanah.