Posted in

Senandung Ulos

Rizky Adelia Br. Hombing

Sastra Indonesia B 2022

Di tepi Danau Toba yang tenang, pagi hari datang dengan kabut halus yang melayang di atas permukaan air, seolah menyimpan cerita dari masa lalu. Ketika matahari mulai muncul, kehidupan di desa kecil itu perlahan bangkit, membawa pesan lembut tentang kelestarian tradisi dan keberanian para leluhur. Mardian Sihombing, pemuda yang pernah berpetualang jauh ke kota yang penuh cahaya, kembali ke kampung halamannya dengan rasa rindu yang mendalam. Setiap langkahnya terasa berat, seakan menanggung beban perjalanan waktu. Tetapi di sisi lain, setiap jejak mengingatkannya akan kehangatan dan bisikan budaya yang selalu ada. Di sudut desa, di mana suara gending adat berpadu dengan gelak tawa dan doa masyarakat, Mardian kembali menemukan dirinya yang terpendam di tengah hiruk pikuk dunia modern.

Di tengah sebuah upacara adat yang sedang berlangsung di lapangan, Mardian terpesona melihat seorang wanita yang memiliki daya tarik yang tak terungkapkan. Julia Panjaitan, mengenakan ulos berwarna merah dan emas, berdiri anggun di antara tarian dan irama musik. Matanya memancarkan ketenangan, seolah telah mendengarkan dan merasakan lagu-lagu nenek moyang yang mengalun dari zaman dulu. Dengan lembut, ia menyapa

“Horas, Mardian” 

Sapaan hangat Julia padanya seperti untaian doa yang mengingatkan kembali akan identitas yang hampir hilang.

Di bawah naungan pohon tua, mereka berbincang dengan bahasa yang melampaui hanya kata-kata, tetapi juga jiwa. Mardian berbagi keresahan hatinya betapa kota besar meskipun cemerlang, tidak dapat memenuhi kerinduannya akan suara tradisi, aroma ulos, dan kisah nenek moyang yang menjadi inti kehidupan. Julia menyambut setiap kalimat dengan empati yang dalam,

 “Budaya kita adalah harta jiwa. Dalam setiap helaian ulos, terdapat cerita keberanian dan cinta yang harus kita lestarikan,” ucap Mardian tepat di hadapan Julia.

Suasana itu seolah menjadi tempat suci, di mana masa lalu dan masa kini bersama-sama menjalin janji untuk menjaga warisan yang mulai pudar. Tak lama kemudian, angin bertiup kencang, membawa suara seolah dari roh nenek moyang. Hujan pun mulai turun, menambah keindahan suasana yang tiba-tiba menjadi magis. Warga desa berlarian mencari tempat berteduh, sedangkan Mardian dan Julia memilih untuk duduk bersama di depan sebuah gubuk tua. Di dinding gubuk tersebut, tergantung sehelai ulos tua dengan motif yang menjadi saksi bisu perjalanan sejarah. Kain ulos itu konon pernah dimiliki oleh seorang nenek moyang yang dikenal memiliki jiwa besar dan kemampuan untuk menyatukan hati. Mardian menatap kain tersebut dengan mata berkaca-kaca, “Sepertinya kain ini memanggil kita, mengingatkan bahwa tradisi kita bukan sekedar warisan, tetapi juga pesan agar kita tidak melupakan asal-usul kita.”

Di antara mereka, tetesan hujan dan suara alam menciptakan irama seolah menggubah lagu kenangan. Setiap helai benang ulos itu bercerita tentang cinta, perjuangan, dan keikhlasan yang diwariskan dari generasi ke generasi. Dalam keheningan yang menyelimuti, angin membawa bisikan lembut, “Ingatlah, setiap lagu, setiap tarian, setiap doa adalah benang yang merajut kisah abadi budaya Batak Toba.” 

Kata-kata itu seakan berpadu dengan gemercik air hujan, memperkuat tekad Mardian dan Julia untuk terus merawat tradisi yang mulai memudar oleh arus modernitas.

Kala hujan berhenti, langit menampilkan pelangi yang indah memanjang di jalan cakrawala, sebagai lambang harapan untuk penggabungan masa lalu dan masa depan. Dengan pandangan penuh percaya diri, Mardian mengungkapkan, “Mari kita lestarikan warisan ini. Melalui setiap lagu ulos dan gerakan tarian tradisional, kita sampaikan cerita-cerita nenek moyang kepada dunia. Biarkan budaya kita bertahan, seindah pelangi yang muncul setelah badai.” Julia membalas dengan senyuman, “Benar, dengan kasih dan keberanian, kita akan membangun masa depan yang menghargai setiap kata dalam sejarah. Warisan ini adalah bagian dari identitas kita.”

Malam pun datang, di bawah cahaya rembulan lembut yang menerangi permukaan Danau Toba, kedua jiwa itu melangkah bersama menyusuri tepi danau. Dalam setiap langkah, mereka mendengarkan kembali nada gending yang mengundang arwah-arwah nenek moyang untuk hadir melihat janji yang baru saja diucapkan. Bersama, mereka membangun harapan bahwa suatu saat, adat akan kembali bersatu melestarikan identitas Batak Toba di tengah dunia yang terus berubah. Di antara berkilau bintang, janji itu semakin menguat. Di sana, di dalam harmoni alam dan budaya, tersimpan harapan yang abadi dari sebuah senandung ulos yang menghubungkan masa lalu dengan masa depan. Setiap ulos, setiap tarian, dan setiap bisikan doa adalah pengingat bahwa identitas yang terjalin dalam budaya Batak tidak akan pernah pudar, selama ada hati yang siap untuk mencintainya. 

TAMAT

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *