
“Batu ini pernah mendengar sumpah, darah, dan kebisuan. Kini, ia akan mendengar kebenaran yang tak seorang pun siap menerimanya.”
Hujan baru saja reda saat Toni tiba di Huta Siallagan. Kabut menggantung rendah di atas Danau Toba, dan udara dingin menyentuh kulitnya seperti kenangan yang tak mau pergi. Jalanan basah menyambut langkah sepatunya, menciptakan bunyi krek-krek yang seirama dengan degup jantungnya yang gelisah.
Ia datang bukan sebagai turis. Ia datang untuk membuka luka lama. Sebuah luka yang diwariskan, yang tak pernah diceritakan ibunya dengan utuh, hanya serpihan-serpihan cerita tentang seorang kakek yang “hilang” dari sejarah.
Di tengah lapangan batu itu, duduklah Batu Persidangan lingkaran batu yang dulu menjadi tempat raja-raja Batak mengadili pelanggar adat. Duma berdiri di tengahnya, memandangi kursi batu utama yang dulunya hanya diduduki Raja Siallagan. Ia bisa membayangkan bagaimana para tetua duduk mengelilingi, wajah-wajah keras, mata tajam menatap terdakwa.
“Aku cucu dari yang dulu dihukum di sini,” gumamnya. Suaranya pelan, tapi cukup kuat untuk mengguncang batin. Ia merasa seolah bayang-bayang masa lalu sedang menatapnya dari sela-sela pohon besar di ujung batu.
Beberapa anak kecil menatapnya dengan heran. Seorang wanita paruh baya yang menjual ulos berhenti menenun. Lalu datanglah Opung Tigor, tetua desa yang masih menjaga tradisi. Rambutnya putih, matanya tajam seperti mata panah.
“Kau anak siapa?” tanyanya dingin.
“Saya Toni. Anak boru dari br. Simamora. Cucu Si Datu Raja.”
Opung Tigor memicingkan mata. “Nama itu tak disebut lagi di sini. Sudah dikubur bersama aibnya.”
“Tapi tidak di hatiku,” jawab Toni cepat. “Saya datang bukan untuk memohon ampun. Saya datang untuk menyatakan: kebenaran bukan milik satu generasi.”
Opung Tigor mendengus, lalu berbalik. Tapi malamnya, berita kedatangan Toni sudah menyebar ke penjuru kampung. Ada yang menyebutnya cucu pengkhianat. Ada yang bilang, dia datang menuntut warisan.
Di dalam rumah peninggalan ibunya, Toni membuka peti tua yang dibawanya. Di dalamnya, terselip sebuah surat tua beraksara Batak dan bahasa Belanda. Surat itu ia temukan di balik tongkat kayu warisan ibunya, tersembunyi selama bertahun-tahun. Cap Raja lama masih tertera, menyatakan bahwa “Si Datu Raja” dituduh menyembunyikan dokumen tanah adat yang hendak diambil penjajah. Tapi ia menolak karena tak ingin tanah leluhur jatuh ke tangan asing.
“Dia tidak lari. Dia dilenyapkan,” bisik Toni pada dirinya sendiri.
Keesokan harinya, Toni mendatangi rumah balai adat. Ia meminta izin untuk berbicara di depan masyarakat. Opung Tigor menolaknya.
“Tak semudah itu mengubah sejarah. Kau pikir lembaran kertas bisa menebus luka adat?”
“Bukan kertas ini yang mengubah ingatan,” kata Toni tenang. “Tapi keberanian kalian untuk melihat kebenaran dari sisi lain.”
Opung Tigor menatapnya lama. “Besok pagi. Di batu itu. Kami dengar ceritamu. Tapi siap-siaplah kalau lidahmu tergelincir.”
Pagi itu, matahari belum sepenuhnya muncul. Tapi masyarakat sudah berkumpul di sekitar Batu Persidangan. Wajah-wajah muda dan tua, penuh rasa ingin tahu dan amarah. Toni berdiri dengan tangannya gemetar. Ia membaca surat itu keras-keras. Menerjemahkan tiap bait, menjelaskan konteks sejarah.
Beberapa terdiam. Beberapa marah. Namun ketika Toni menunjukkan cap Raja Siallagan dan dokumen lain dari arsip Belanda yang ia salin, suasana berubah.
Seorang pemuda bertanya, “Kenapa baru sekarang?”
“Karena keluargaku memilih diam. Mereka takut. Tapi aku sudah terlalu lelah melihat namaku terus dicaci hanya karena kami menjaga apa yang benar.”
Seorang inang tua menangis. “Aku ingat, Si Datu Raja itu… baik. Ia sering beri kami beras saat masa paceklik. Tapi tiba-tiba… hilang. Tak ada yang berani bertanya.”
Opung Tigor melangkah maju. Untuk pertama kalinya, matanya tidak tajam. “Kalau benar apa yang kau katakan, maka kami telah membunuh martabat seseorang.”
Toni mengangguk pelan. “Dan kini aku ingin mengembalikannya.”
Ia meletakkan surat itu di tengah Batu Persidangan, lalu duduk di kursi utama bukan untuk diadili, tapi untuk mewakili suara yang lama dibungkam.
Lalu, keheningan itu pecah oleh suara Opung Tigor. “Hari ini, kita tak memberi vonis. Tapi kita memberi pengakuan. Si Datu Raja bukan pengkhianat. Ia penjaga tanah ini.”
Senja turun pelan di Huta Siallagan. Toni duduk di tepi danau, memandangi air yang tenang.
“Apa kau lega?” tanya seorang pemuda yang sejak tadi mengikutinya.
“Sedikit. Tapi sejarah tak pernah benar-benar selesai. Yang bisa kita lakukan hanya memastikan kebenaran punya tempat.”
Pemuda itu mengangguk. “Besok, kau akan diundang ke rumah adat. Mereka mau mencatat namamu dalam silsilah.”
Toni tersenyum. Untuk pertama kalinya, ia merasa utuh. Dan batu-batu itu… akhirnya bicara bukan tentang dosa, tapi tentang keadilan yang datang meski terlambat.
“Karena batu pun menyimpan ingatan. Dan tak semua yang terkubur selamanya diam.”
TAMAT