Riuh suara para sanak saudara yang datang demi undangan bahagia dari jauh maupun dekat mengiringi habisnya senja dihari itu. Datang nya yang tak berbarengan membuat keadaan semakin berwarna dengan canda dan tawa yang menyambut serta rasa senang yang menguar membuat hari itu berjalan dengan cepat menyisakan kegelapan malam pengantar kesunyian dengan suara-suara hewan yang menggantikan.
Walau begitu, ada seseorang yang mereka nanti kan tak kunjung menemui mereka. Setiap saudara yang datang terus bertanya “dimana kah beliau?, kenapa tidak menyambut kedatangan kami”, yang menyambut mereka hanya bisa menunjuk kearah ruangan tertutup dengan wajah yang sungkan, senang, dan mengharap maklum atas kejadian tersebut.
Anehnya mereka tidak marah, hanya tertawa kecil dan seperti tau apa yang sedang dilakukan orang di sebalik pintu itu. Sekarang seperti yang penasaran cuman aku, sampai kesunyian yang tertinggal, aku terus memandangi pintu yang terkunci itu, sampai yang menyambut kami datang ke sana dengan membawa nampan makanan dan menutup kembali pintu itu dan tidak keluar lagi.
Pagi yang datang dihari berikutnya jauh lebih berisik dari pada hari sebelumnya. Rasa ingin kabur dari tempat ini, namun sudah diwanti-wanti oleh ibu-ibu berpakaian tidur yang melirik ku di depan pintu dapur. Ku urungkan buat ku untuk pergi dari rumah turun temurun ini walau hanya sekedar main air di sungai belakang rumah.
Aku ingat ada pintu yang sangat ingin kulihat isinya, aku pergi kearah pintu itu meninggal kan tempat tidur yang bahkan belum ku rapikan dengan diiringi teriakan untuk membersihkan tempat itu, tapi aku tak peduli. Aku terus berjalan dan membuka pintu perlahan, yang kuliat adalah sosok laki-laki tua yang sedang termenung di depan meja seakan-akan ingin menyampaikan sesuatu tapi tak tau cara mengungkapkan nya.
Tiba-tiba ada yang menepuk punggung ku dan memintaku untuk pergi dan tidak menggangu aktifitas laki-laki yang bisa ku sebut tulang yang ada didalam kamar. Aku hanya manut dan ikut menjadi tukang cuci piring dibelakang, huuuuh susahnya jadi anak gadis ucapku dalam hati.
Rumah ini sudah dipenuhi hadiah-hadiah yang datang baik untuk diberikan atau yang didapatkan, ada satu benda incaran ku sejak awal, tapi tentu ada ibu-ibu yang memantau gerak-gerik seakan dia tau aku akan mengambil atau melakukan sesuatu yang mungkin akan mendatangkan malu banginya, ntahlah.
Niat awal ku urungkan saat melihat tulang berjalan santai seakan tidak ada beban seperti beberapa hari ini. Dia melangkah ringan kearah bapak-bapak yang ada di teras rumah yang sedang menceritakan perjalanan, hobi atau pekerjaan yang mereka lakukan.
Aku merasa aneh dengan sikap yang tiba-tiba berubah itu, ini membuat banyak pemikiran timbul dari diriku. Namun saat nantulang yang lewat seakan mengerti apa pertanyaan yang ada di dalam benakku “sepertinya dia sudah meluapkan apa yang ingin disampaikannya” ucapnya sambil tersenyum kearah tulang. Aku hanya balik tersenyum dan memandang lega ke arah yang sama, karena ia dapat menyelesaikan permasalahan nya sebelum hari yang ditentukan.
Hari yang ditunggu pun tiba, hari ini bahkan lebih berisik, sibuk, dan banyak omelan kudengar dan dapatkan hanya untuk satu hari bermakna bagi dia yahh sedang menangis sambil tersenyum diatas sana. Ingin sekali aku memites kepalanya yang sedang memeletkan lidahnya kepadaku pertanda ia senang, aku yang kesusahan saat dia bahagia hari ini. Bersyukur sih nggak ada masalah tadi, kalau terjadi masalah aku nggak kebayang se meraung apa tangisan anak gadis yang baru nikah itu di hadapan ku, tolong jangan dibayangkan.
Tapi, aku tidak menemukan ayahnya gadis yang sebentar lagi akan jadi wanita itu. Semenjak kejadian itu, aku terus memperhatikan gerak-gerik tulang seakan-akan takut ada hal yang terlewat jika aku tidak memerhatikannya. Niatnya aku untuk mencari, aku sampai berkeliling untuk sekedar tau keberadaannya dan apa yang ia kerjakan.
Setelah lelah mencari aku memilih bertanya pada bapakku, beliau menjawab tulang sekarang ada di makam kakek kami. Hal aneh ini kenapa tiba2 terjadi? Pikir ku, lalu aku lanjut bertanya kenapa ia berada disana?, bapak menjawab dengan jawaban ambigu, beliau hanya menyampaikan bahwa aku akan mengetahui nya nanti siang. Aku hanya manut dan pergi untuk makan-makanan yang sudah disajikan.
Suara dari microphone yang meminta seluruh tamu untuk berkumpul didepan pelaminan yang sudah disiapkan sedemikian rupa untuk pelaksanaan adat yang akan dimulai. Aku hanya manut dan membawa cemilan yang belum selesai ku makan untuk dapat melihat serangkaian acara yang diselenggarakan. Ku ambil kursi dan memilih tempat yang pas untuk melihat serangkaian adat yang akan berlangsung lama ini, ini belajar dari pengalaman sebelumnya yang mengakibatkan aku terinjak dan terhuyung, membuat aku trauma untuk mendekat.
Tradisi adat pembuka telah dimulai, satu persatu keluarga besar telah berkumpul. Tulang yang menghilang entah kemana juga sudah bersama wanitanya untuk melaksanakan serangkaian adat ini. Tiba saat yang menegangkan terjadi, ku katakan begitu karna ekspresi dan tangan yang bergetar timbul disaat itu, untung ada yang mencair kan suasana demi menghilangkan keraguan dari sang penyampai pesan. Pesan yang disampaikan pun dimulai:
“Anak bungsu kami, anak yang belum pernah kami biarkan tinggal sendiri, anak yang sudah menerima seluruh kasih sayang dari dari keluarga.
Hari ini menjadi hari yang mendatangkan kesenangan dan kesedihan. Senang karena kau sidah dewasa dan menikah dan sedih karena kau pergi dari kami.
Kau berpindah dari rumah ini yang merupakan rumah dari kau kecil ke rumah suamimu.
Jangan sampai lupa asalmu ya nang, ingat ajaran yang kami berikan, dan tetaplah menghormati siapapun seperti kau menghormati kami.
Ingatlah untuk memperhatikan sikap dan tutur katamu saat kau berada dalam keluarga barumu nanti.
Semoga kau menjadi perempuan yang dewasa yang mampu membuat hidup sederhana yang kalian jalani terasa cukup dan rumah yang kalian tempati serta jaga nanti akan terus damai.
Jangan merasa kami membuangmu begitu saja karena telah menikah, tapi anggaplah ini rumah kalian yang bisa kalian kunjungi tanpa permisi tanpa izin.
Kau tau bapakmu bukan seorang yang bisa berkata panjang, bapak berharap dan akan terus berdoa untuk kebahagiaan dalam pernikahan kalian terus mengikuti kalian dimanapun kalian berada nantinya.”
Air mata yang ku wanti-wanti untuk tidak keluar malah turun sendiri tanpa diminta. Banyak diantara kami yang menangis mendengar apa yang disampaikan, salah satunya boru siapudan sang pemberi pesan. Dia bahkan sudah menghabiskan satu tempat tisu dan membuat para temannya meminta dia untuk bertahan. Aku sampai tidak bisa untuk mengabadikan kejadian ini karena pesan itu.
Kulihat ada kelegaan saat menyampaikan apa yang ingin disampaikan nya, wajahnya seakan bangga akan rangkaian kata yang disampaikan nya walau tadi ada kendala tersendat dalam pembacaan. Seakan tau ada yang memperhatikan dia menoleh kepadaku dan memberikan jempolnya tanpa mengangkat, dia tau ternyata aku memperhatikan dia saat menciptakan pesan itu, aku hanya dapat membalasnya dengan jempol dan mengatakan bagus sekali terhadap apa yang ia sampaikan.
Rangkaian adat terus berlangsung sampai pada bagian terakhir. Aku tidak mendekat ke meraka saat semua berlangsung bahkan tidak menampakkan diri sama sekali, aku takut disuruh ini itu.
Malamnya saat beristirahat dan bercerita tentang rangkaian adat yang dilaksanakan ada yang malah menyebutku dalam pembicaraan. Tulang berkata “gimana gi?, patenkan yang kubilang tadi?,” lalu kujawab “iya tulang paten kali”, akhirnya semua tau bahwa aku melihat, menguping, dan melakukan berbagai hal lainnya untuk sekedar tau apa yang dilakukan tulang.
Aku malu berat, tapi tulang terus tertawa saat menyampaikan cerita itu. Diakhir pembahasan dia menyampaikan sesuatu kepada bapakku “tabahlah nanti ya kau, sekarang standarnya ada padaku hahaha,” Ayah hanya bisa menimpali sekedarnya dan ibu yang mengiyakan hal itu. Namun yang sebenarnya tersiksa adalah aku, kenapa?, karena seperti aku akan ditanya kapan menikah oleh keluarga besar ini.
Tolooong selamatkan akuuu!!!!