
Di tepian Danau Toba yang tenang, di sebuah desa yang bernama Balige, tinggal seorang gadis bernama Marta Simanjuntak. Ia adalah anak sulung atau anak panggoaran dari seorang raja parhata, pemangku adat yang dihormati. Sejak kecil, marta telah dibesarkan dan didik dalam balutan nilai-nilai adat Batak Toba yang menjungjung tinggi marga, adat, dan kehormatan keluarga.
Marta tidak hanya cantik, tetapi juga cerdas. Ia berhasil melanjutkan pendidikannya ke kota Medan dan mendapatkan beasiswa. Setelah lulus kuliah Marta bekerja sebagai guru di salah satu sekolah yang ada di kota Medan. Di kota itulah, ia bertemu dengan seorang lelaki yang bernama kevin, seorang pemuda keturunan Jawa yang bekerja sebagai dosen Teknik di salah satu universitas di Medan. Pertemuan mereka yang awalnya biasa saja, berubah menjadi kasih yang dalam.
Namun, Marta sejak awal sudah tahu bahwa cinta mereka akan terhalang restu orangtuanya, apalagi ayahnya seorang raja parhata atau pemangku adat dan juga Marta anak sulung. Tetapi Marta tidak putus asa, ia masih mempertahankan cintanya dengan Kevin dan mengajari sang kekasihnya tentang budaya batak, berbahasa batak dan juga martarombu, berharap jika Kevin paham budaya dan adat batak ayahnya akan merestui hubungan mereka.
Suatu hari, saat pulang ke rumahnya di desa Balige untuk menghadiri upacara menulangi natua-tua (perayaan syukuran untuk orang tua yang berumur), pada kesempatan itu, Marta memberanikan diri mengungkapkan keinginannya kepada ayahnya.“Amang, Marta sudah cukup umur, Marta sudah mengenal seseorang yang baik, pintar, dan takut akan Tuhan. Marta ingin memperkenalkannya”
Ayahnya menatap tajam, lalu berkata tegas, “Apa marganya, Marta?” Pertanyaan itu yang membuat dada Marta sesak “Dia bukan orang Batak, Amang, Namanya Kevin, dia orang Jawa” Sejenak sunyi merayapi rumah itu, api di tungku seolah ikut padam. “Tidak bisa” kata ayahnya akhirnya. “Kita ini keturunan raja, marga Simanjuntak harus dijaga, adat tidak bisa dilanggar begitu saja, kau akan menikah dengan orang Batak yang memiliki marga, apa kata orang nanti kalau kau menikah dengan orang yang tidak memiliki
marga, ayahmu ini raja parhata, kau juga anak panggoaranku.”
Marta mencoba menjelaskan bahwa cinta mereka tulus. Bahwa Kevin bersedia memepelajari budaya Batak, bahkan siap menjalani prosesi adat jika diperlukan, tetapi tembok adat terlalu kokoh, ayahnya tetap saja tidak merestui hubungan mereka.
Ibunya hanya menangis diam-diam dan adik-adiknya memilih bungkam.
Beberapa minggu kemudian, datanglah Rudi Siregar, seorang pemuda batak, anak sahabat ayahnya, seorang pengacara muda di Jakarta. Ayah Marta telah lama menjodohkan Marta dengannya meskipun tanpa persetujuan Marta.
Rudi sopan dan baik, tetapi Marta tidak mencintainya.
Tekanan demi tekanan datang. Marta didesak memilih keluarganya atau cintanya. Pada malam di mana ia seharusnya menerima pinangan Rudi dalam upacara batak yaitu martumppol, Marta tidak hadir, ia memilih untuk lari dari rumahnya.
Marta dan Kevin memutuskan menikah secara sederhana di Medan, hanya disaksikan teman-teman mereka, dan tidak ada ulos membalut tubuh mereka, hanya menerima pemberkatan dari seorang pendeta di dalam gereja.
Bertahun-tahun kemudian, mereka dikaruniakan seorang anak perempuan, dan mereka memberi nama Nauli. Nauli tumbuh menjadi anak yang cantik mirip seperti ibunya. Marta dan Kevin mendidik Nauli tentang budaya Batak, dan mengajari Nauli untuk berbahasa batak.
Hingga suatu hari, Marta pulang ke Balige, kali ini membawa cucu, ia tak membawa penyesalan, hanya harapan bahwa cinta bisa menjembatani luka yang pernah ada diantara Marta dengan ayahnya.
Ayahnya sudah jauh menua, ia duduk di kursi kayu teras rumah, menatap Danau Toba. Ketika melihat Nauli berlari ke arahnya sambil memanggil “Ompung!”, air mata mengalir dari matanya.
Dan saat itu, untuk pertama kalinya, Raja Simanjuntak meminta cucunya duduk di pangkuannya dan sambil mencium cucunya tersebut sambil berkata
“Mari kita tenun ulang ulos ini, dari benang yang pernah putus, menjadi kain yang baru”