Posted in

Benang Harapan Terakhir

Indhira

Sastra Indonesia C 2022
https://www.instagram.com/in_dhira12

Sinar mentari pagi mulai muncul dari balik pohon kelapa yang menari ditiup angin pesisir. Sinar keemasannya menyusup malu-malu di celah dedaunan, menyepuh kabut tipis yang masih menyelimuti Desa Bagan Batu—sebuah perkampungan Melayu di pesisir Riau. Ombak berdebur pelan di kejauhan, seperti berbisik pada daratan tentang rahasia lautan yang tak pernah usai. Suara kicauan burung saling bersahutan dari atas pohon jambu di halaman rumah warga, menyambut pagi yang cerah.

Di tengah keheningan pagi yang masih perawan itu, di sebuah rumah panggung berwarna cokelat tua yang sudah mulai digerogoti waktu, duduklah seorang perempuan sepuh bernama Mak Lena. Rambutnya telah memutih, pipinya mengeriput seperti kulit buah manggis tua, namun sorot matanya tetap tajam—tajam seperti jarum penusuk benang. Sejak muda, Mak Lena telah menjadi penenun ulung. Songket adalah hidupnya, napasnya, bahkan jiwanya.


Di atas lantai kayu yang mengeluarkan derit perlahan saat dipijak, berdirilah alat tenun tradisional miliknya yang setia. Sebuah kerangka kayu tua yang telah bersahabat dengannya lebih dari empat puluh tahun. Kayu itu tak lagi halus, tapi setiap retaknya menyimpan kisah. Di sanalah, jarinya menari, menelusuri jalur benang dengan kecekatan yang nyaris mistis.

“Satu helai benang emas untuk harapan… satu helai benang perak untuk keteguhan hati,” gumamnya pelan, nyaris seperti doa yang tak pernah absen tiap pagi.

Di seberang ruangan, tampah anyaman bambu penuh benang warna-warni tersusun rapi. Merah darah, kuning kunyit, hijau daun, biru laut dan masih banyak lagi. Setiap warna dipilih Mak Lena dengan hati-hati, seolah memilih nasib seseorang. Sebab baginya, songket bukan sekadar kain, melainkan penutur kisah, pembawa pesan, dan penjaga adat.

Tiba-tiba terdengar suara anak-anak dari kolong rumah.

“Mak Lenaaaa… boleh lihat tenunannya lagi?” seru Riko, si anak bungsu kepala desa yang selalu penasaran.

Mak Lena tersenyum. Ia menoleh, membuka jendela kayu, lalu melongok ke bawah.

“Naiklah kalau mau lihat, tapi jangan ribut. Kain tenun ini tak suka bising.” Ucapnya dengan sedikit senyuman dibibir

Anak-anak menaiki tangga rumah dengan langkah kecil yang terburu, lalu duduk bersila di dekat alat tenun. Wajah mereka penuh rasa ingin tahu.

“Mak, benangnya kenapa warna-warni?” tanya Intan, gadis kecil berambut dua kuncir.

“Karena hidup juga warna-warni, Nak. Sedih, senang, rindu, marah, semua punya warnanya sendiri. Songket ini menyulam hidup.”

Riko mengangkat tangan, seperti di kelas.

“Kalau motif pucuk rebung itu… artinya apa?”

Mak Lena berhenti menenun. Ia menatap Riko lama, seakan ingin memastikan pertanyaannya benar-benar tulus.

“Itu lambang harapan,” jawabnya kemudian. “Rebung itu muda, tapi selalu tumbuh ke atas, ke langit. Harapan kita juga harus begitu. Tapi ingat, tak ada rebung yang langsung jadi buluh. Semua perlu waktu.”

Anak-anak saling pandang, mengangguk-angguk, meski sebagian tak sepenuhnya mengerti. Tapi mereka senang mendengar Mak Lena bercerita. Cerita-ceritanya seperti mantra, mengikat mereka pada sesuatu yang lebih besar dari sekadar bermain di sore hari.

***

Sore itu, datanglah Mak Ijah, sahabat lamanya yang kini lebih banyak menghabiskan waktu di surau.


“Lena, kau masih kuat menenun? Anak-anak sekarang sudah tak tahu bedanya songket dan sarung,” ujarnya sambil menyeruput kopi yang dibawa sendiri. Mak Leha hanya tertawa kecil.

“Itulah sebabnya aku masih menenun. Kalau aku berhenti, siapa yang akan jaga cerita ini? Lama- lama, songket tinggal jadi gambar di buku sekolah.”

Mak Ijah mengangguk pelan. “Tapi tenagamu semakin lemah, Lena. Laila pun tak kunjung pulang.” Diam sesaat, nama itu menggantung di udara seperti asap dari pelita.

“Laila sibuk, mungkin. Dunia kota memang rakus,” ujar Mak Lena, suaranya mengeras, tapi matanya redup.


Langit sudah berubah menjadi gelap, Mak Lena duduk di teras rumahnya yang sederhana, matanya menatap jauh ke arah jalan berdebu yang berkelok menuju kota. Sudah berbulan-bulan sejak surat terakhir diterimanya, surat yang selalu ditunggu namun belum pernah dibalas. Hatinya remuk, namun tetap tersimpan dalam diam yang berat.

Di balik tubuhnya yang renta, tersimpan luka yang tak nampak oleh mata orang lain yaitu rasa rindu sekaligus kecewa. Laila, anak tunggal yang sejak lama pergi merantau, kini semakin jauh. Dunia kota telah memikatnya dengan janji kemewahan dan kesibukan tanpa henti. Mak Lena tahu, kota itu rakus dan menggerus akar, tapi ia tetap berharap—harap yang terkadang seperti angin samar, sulit diraih.

“Anakku, apakah kau di sana masih ingat pada benang-benang yang kubuat dengan tanganku yang mulai lelah?” gumamnya lirih, sambil membelai sehelai songket yang baru selesai ditenun.

Kupanjatkan doa tiap pagi, agar kau tak lupa pada rumah, pada cerita, dan pada harapan yang dulu kita rajut bersama.”

Namun ia sadar, harapan itu belum cukup. Surat-suratnya yang penuh kasih sayang dan nasihat hanya berbalas kesunyian. Bahkan ketika ia sakit, panggilan dari Laila tak pernah datang.

“Mungkin dia terlalu sibuk… atau mungkin dia sudah terlena dengan gemerlap dunia,” pikir Mak

Lena, menahan pedih yang menusuk ulu hati. Kadang, dalam sepi malam, Mak Leha menangis dalam diam, merasakan jurang yang memisahkan mereka—jurang yang bukan hanya jarak fisik, tapi juga waktu dan keinginan yang berbeda. Ia tahu Laila ingin maju, ingin menjadi sesuatu yang besar di luar sana, tapi di hatinya, Mak Lena hanya ingin anaknya pulang, merasakan hangatnya kasih ibu dan arti sebuah warisan.

“Lailaa, anakku,” lirih Mak Lena dengan suara serak, “aku tak pernah ingin membebanimu dengan warisan ini. Tapi aku takut, jika aku pergi duluan, siapa yang akan menjaga kisah kita? Siapa yang akan menyulam benang-benang harapan ini?”

Angin malam berhembus pelan, menyapu rambut putihnya yang mulai menipis. Ia menatap langit penuh bintang, berharap suatu saat Laila kembali. Kembali bukan hanya membawa tubuhnya pulang, tapi juga jiwa yang terbuka untuk memahami akar yang tak bisa ditinggalkan begitu saja.

“Jika kau masih mendengar, dengarlah doa ibu… Pulanglah, Nak. Warisan ini lebih dari sekadar kain. Ia adalah bagian dari darah dan jiwa kita”

Tahun berganti, dan tenunan demi tenunan selesai digantung di ruang tamu sebagai pajangan. Bukan untuk dijual, bukan pula untuk pamer. Hanya sebagai penanda bahwa warisan belum hilang. Namun tubuh Mak Lena makin renta. Nafasnya pendek. Matanya kadang kabur. Tapi ia tetap menenun. Bahkan, pada malam terakhir hidupnya, ia menarik nafas panjang setelah menyelesaikan satu helai songket—indah, dengan motif pucuk rebung berlapis bunga tanjung dan bunga melati. Ia menatapnya nanar, ia bawa kain itu ke dalam dekapan sebelum berbaring di atas tilam dan tertidur panjang, lalu tak pernah bangun lagi.

Berita kematian Mak Lena menyebar seperti angin pagi. Seluruh desa berkabung. Tapi sebagai masyarakat Melayu, mereka tahu, kematian bukan akhir, melainkan babak baru yang mesti disambut dengan hormat. Jenazahnya dimandikan dengan air bersih dan sabun khusus. Wangi akar kayu, daun setawar, dan bunga rampai memenuhi ruangan. Ia dibalut kain kafan putih, lalu diletakkan di atas tikar pandan bersulam tangan songket terakhirnya disampirkan di dekat kepala, sebagai tanda pusaka yang ditinggalkan.

Di rumahnya, warga membaca Yasin dan memanjatkan doa-doa untuk sang jenazah. Setelah jenazah beliau di makamkan, malam harinya para warga setempat melakukan tahlil dengan tujuan mendoakan hal-hal baik untuk almarhumah. Di halaman, anak-anak yang dulu bermain di bawah rumahnya kini duduk khusyuk dan ikut melantunkan doa. Riko, yang merasa dekat dengan almarhumah, memandangi kain tenun terakhir Mak Lena dan berkata :

“Motif ini… penuh harapan, tapi juga perpisahan.”

***

Laila datang dua hari kemudian. Kereta dari kota terlambat. Ia berdiri terpaku di depan rumah panggung tua itu. Sepi, tak ada suara alat tenun. Tak ada senyum ibunya. Ia masuk ke dalam, mendapati songket terakhir itu terlipat rapi di atas meja. Ada secarik kertas kecil di dalamnya: “Untuk Lina. Benang harapan terakhirku.”

Tangisnya pecah. Dalam diam, ia mengerti apa yang harus dilakukan.

Beberapa bulan setelah kepergian Mak Lena, rumah panggung itu kembali hidup. Bukan oleh tangan tua, tapi oleh tangan muda yang belajar. Lina duduk di depan alat tenun ibunya. Ia belajar dari ingatan, dari cerita, dari benang-benang yang ditinggalkan. Dan pada suatu pagi yang cerah, ketika pohon kelapa kembali menari dan kicauan burung kembali bersahutan, suara denting kayu dan gemerisik benang terdengar lagi dari rumah itu.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *