Posted in

“Tung So Tarida” (Cinta yang Tak Terlihat)

Grace Libra Sinurat

Sastra Indonesia C 2022
https://www.instagram.com/grace_snrt_

Di tepian Danau Toba yang tenang, di antara kabut pagi yang menggantung seperti selimut tipis di atas air, gadis bermarga Siahaan itu berdiri memandangi siluet pegunungan di kejauhan. Namanya Nabasa Siahaan, 24 tahun, sarjana hukum dari Medan, yang baru kembali ke kampung setelah lima tahun merantau.

Sementara itu, Jannerson Marpaung, lelaki bermarga Marpaung dari simpang desa sebelah, telah lama menunggu Nabasa kembali. Mereka bertemu pertama kali di kampus saat organisasi mahasiswa Batak Toba mengadakan pesta bona taon. Mereka dekat. Sangat dekat.


Namun, jarak antara cinta dan adat lebih panjang dari yang mereka kira.

“Cinta itu bukan sekadar saling suka, Bas, tapi juga harus tahu kau itu siapa bagiku,” kata Jannerson suatu sore saat mereka duduk di warung kopi kecil di Balige.

Nabasa terdiam. Ia tahu apa yang dimaksud Jannerson.

Marga Siahaan dan Marpaung termasuk dalam satu marga induk—yaitu marga marga Mariboto. Dalam sistem partuturan Batak Toba, itu berarti mereka mariboto: tidak boleh menikah. Secara adat, hubungan mereka dianggap seperti abang-adik kandung.

“Tapi kita tak sedarah, Jon. Ini cuma aturan. Kalau cinta tak boleh melawan aturan, mengapa Tuhan biarkan kita jatuh cinta?” ujar Nabasa dengan suara nyaris bergetar. Jannerson menghela napas, lalu menjawab, “Adat do na ni jala di rohangta. Tapi adat do partondion. Adat itu bukan hanya aturan, Bas, tapi jalan hidup.”

***

Beberapa minggu setelah itu, Jannerson memberanikan diri datang ke rumah Nabasa bersama keluarganya. Mereka mencoba berdiskusi. Ayah Nabasa, seorang raja parhata (tokoh adat), menerima mereka dengan tenang.


“Kalian memang tulus, tapi jangan kalian bawa keluarga kita jadi bahan omongan kampung,” katanya. “Kalian mariboto. Ibaratnya, kalian itu tulang dan bere dalam satu garis marga. Itu tak bisa, apalagi kita tokoh di sini. Maruah marga harus dijaga.”

“Tapi kalau kami pindah ke luar, jauh dari sini, ke Jakarta mungkin, siapa peduli?” tanya Jannerson lirih.


“Orang Batak tetap membawa marganya di mana pun dia berada. Bahkan kalau kau mati pun, marga itu akan memanggilmu untuk pulang. Tidak ada tempat terlalu jauh untuk adat kita.”

Hari itu, Nabasa duduk sendirian di tepi danau, memandangi air yang tenang.

Ia mengingat saat mereka saling menggenggam tangan di pelataran kampus, saat Jannerson bilang akan melamarnya. Tapi cinta mereka terhalang tembok adat.


Ia ingat nasihat Opung borunya, “Jala i do roham, songon sude nasida. Tapi ulahon na maradat. Ahu na mangulahon adat, sian roham do songon jala dalanmu.” (Boleh kau mencintainya, seperti yang lain mencintai. Tapi jalani yang sesuai adat. Aku yang akan bantu, bila itu jalanmu.)

***

Beberapa bulan kemudian, sebuah undangan tersebar di kampung.

Pesta Unjuk Roh pesta pertunangan Nabasa dengan seorang pria bermarga Sitorus, teman sekantornya di Medan. Dalam sistem partuturan, mereka tar bere marga yang boleh saling menikah. Bahkan didorong karena memperkuat hubungan antar keluarga besar.

Sementara itu, Jannerson diam-diam datang ke pesta itu. Ia berdiri di bawah pohon beringin di ujung halaman. Tak ada yang memperhatikannya. Tapi Nabasa melihat. Saat matanya menatap

mata itu untuk terakhir kalinya, ia tahu: cinta itu tak hilang, tapi hanya memilih tunduk. Ia menunduk saat suara gondang mulai dipukul, seakan hendak menghapus jejak air mata yang tak terlihat.

***

Penutup


Di dunia di mana cinta sering menang, di Tanah Batak, kadang cinta harus kalah oleh partuturan.

Namun di hati Nabasa dan Jannerson, di ruang yang tak dijangkau adat, mereka tetap menyimpan satu kata:

“Tung so tarida… alai adong.” (Cinta itu tak terlihat… tapi ada.)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *