Posted in

ULOS PILIHAN HATI

Sania Yosephine Sinulingga

Sastra Indonesia A

Senja di Nagori Dolok Raya masih setia menyapukan warna keemasan ke sawah yang mulai menguning. Di dalam rumah panggung modern berarsitektur Simalungun, Alya Purba berdiri di depan cermin besar, mengenakan hiou merah keunguan yang baru saja disematkan oleh opung perempuannya, Nenek Tertina.

“Hiou na i bukan sekadar kain, Alya,” kata Nenek dengan suara pelan namun penuh makna. “Itu do roham, dohot asal-usulmu.”

Alya, lulusan arsitektur dari Medan yang baru kembali ke kampung, menatap pantulan dirinya. Hiou itu terasa hangat di bahu. Bukan hanya karena bahan tenunnya, tapi karena makna yang terpatri: ia akan menjalani horja haroan bolon, pesta adat pernikahan dengan Jonatan Saragih—pemuda berdarah Simalungun yang bertemu dengannya saat proyek konservasi rumah adat di Parapat.

Di luar rumah, halaman sudah dipasangi lampu hias dan tenda putih. Di bawahnya, para tetua adat duduk bersila, mengenakan bulang dan sortali. Para ibu-ibu sibuk mengatur hidangan tradisional: naniarsik, dali ni horbo, dan lampet. Musik gonrang sipitu-pitu mengalun dari speaker, dipadukan dengan denting suara biola modern.

“Parhata hasuhuton i, marsabutu do hita!” seru seorang tetua, menandakan dimulainya sidang adat.

Jonatan datang bersama keluarganya membawa boras si pir ni tondi, seekor ayam jantan, dan sebilah parang simbolik—menandakan kesiapan sebagai laki-laki Simalungun yang siap melindungi dan membangun.

Di tengah upacara, salah satu parhata adat bertanya,

“Siapa do namarbona di pihak boru?”

Nenek Tertina bangkit perlahan, dibantu Alya. Meski tubuhnya telah renta, suaranya tetap tegak.

“Hami do. Tondi ni boru on, dang boi maleleng di hita dohot adat.”

Ia lalu mengucapkan umpasa Simalungun:

“Hiou na i sai jadi tampul ni roha, Sai tangkas boru, marsomba tu ompu.

Tarida angka paturehon, Sai jadi boru na marparhitean.”

Hening. Kemudian terdengar tepuk tangan. Beberapa tamu muda merekam momen itu, lalu membagikannya ke media sosial dengan caption penuh bangga: #AdatSimalungun #HiouNaMarharoan

Malam hari, setelah semua ritual selesai, Alya duduk berdua bersama Jonatan di beranda rumah. Di pangkuannya, hiou itu dilipat rapi.

“Kalau aku tetap jadi arsitek tapi fokus mendesain rumah adat Simalungun yang bisa hidup di zaman sekarang, itu menurutmu melenceng dari adat?” tanya Alya.

Jonatan tersenyum. “Menurutku, justru itu cara terbaik menjaga adat. Nggak harus dengan cara lama, asal roha tetap di situ.”

Alya mengangguk pelan. Ia memeluk hiou-nya, seperti memeluk sejarah dan masa depan sekaligus. Di langit Dolok Raya, bintang mulai bermunculan. Dan di pangkuan Alya, kain tenun itu tak lagi diam. Ia adalah suara. Ia adalah warisan yang bergerak.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *