Posted in

Bisikan Gunung Leluhur

Indanian Nainggola

Sastra Indonesia B 2022
https://www.instagram.com/indanian_ng

Saor kembali menatap layar laptopnya dengan mata lesu. Sebagai mahasiswa Teknik Informatika semester 13 di salah satu Universitas Negeri di Medan, ia tenggelam dalam tumpukan kode dan deadline tugas akhir. Namun, sejak sebulan lalu pikirannya terpecah oleh satu hal warisan budaya Batak Toba yang mulai terkikis. Ia sering teringat cerita Opungnya saat sebelum tidur saat ia masih kecil tentang leluhur Batak dari daerah Pusuk Buhit Gunung Suci di Samosir yang diyakini sebagai tempat asal-usul orang Batak. Cerita-cerita itu menggugahnya. 

“Kalau hanya cerita, apa gunanya teknologi yang kupelajari kalau tidak bisa melestarikan ini?” gumamnya. 

Proyek akhirnya bukan lagi tentang aplikasi kasir atau sistem peminjaman buku. Ia memilih topik yang lebih personal Digitalisasi Naskah dan Artefak Budaya Batak. Ia mulai menjelajahi berbagai arsip digital, salah satu Museum di Balige. Di sinilah awal dari sebuah misteri. Sebuah dokumen digital yang tampaknya tidak tercatat resmi muncul di salah satu direktori “Surat Untuk Generasi Penerus.” Anehnya, file itu terkunci dengan sistem enkripsi berbasis karakter asing. Ia menyalinnya dan menghabiskan malam demi malam untuk memecahkannya. 

Minggu pagi, ia nekat pulang ke Balige. Di rumah, ia menemui Opung borunya, si pemilik ingatan tajam dan tutur kata yang lembut. Saor menunjukkan potongan karakter di layar. 

“Ikkon huria Batak i… Ini aksara Batak lama.” gumam Opung sambil tersenyum. 

Dengan bantuan Opung dan buku-buku lama, Saor mulai memahami pola aksara tersebut. Tiga hari kemudian, ia berhasil membuka isi file itu. Isinya membuat bulu kuduknya merinding, 

Anakku, kalau surat ini kau baca, berarti engkau telah menemukan jejak leluhurmu. Jangan abaikan tanah ini. Jaga hutan, air, dan tutur Batak. Karena jika ini musnah, kau pun akan kehilangan dirimu. 

Datangi Pusuk Buhit. Di sana, pesan terakhir disimpan. 

Saor merasa seolah pesan itu ditujukan langsung kepadanya. Meski ragu, ia memutuskan untuk berangkat ke Samosir. 

Ia menyewa sepeda motor dan menuju kaki Pusuk Buhit. Jalanan sempit dan berkelok menantangnya, tapi rasa penasarannya lebih besar. Di salah satu lereng sunyi, sesuai koordinat yang tertulis di surat digital itu, ia menemukan pohon besar dengan ukiran huruf Batak di batangnya. Di balik akar pohon, ia menggali sedikit dan menemukan kotak kayu berukir. Di dalamnya selembar ulos tua dan papan kecil berisi ukiran yang menyerupai QR code kuno. Ia memotret ukiran itu dan memindainya dengan aplikasi pembaca kode miliknya yang telah ia modifikasi untuk proyek akhir. Satu kalimat muncul di layar.

“Manang manua, unang sampi lupa i songgom ni sada suku.” 

Artinya “Jangan lupa asal-usul, jangan sampai melupakan tradisi suku.” 

Layar kemudian berubah menjadi tayangan hologram seorang pria tua berpakaian adat Batak duduk bersila di depan api unggun dan terdenga, 

“Bahasa kita akan hilang bila tak kau pakai. Adat kita akan musnah bila kau malu menyebut asalmu. Digital boleh kau kuasai, tapi jangan lupa dari mana kau berasal.” Saor meneteskan air mata. 

Sepulang dari Pusuk Buhit, Saor kembali dengan penuh semangat. Perjelajahannya di tanah leluhur telah menyalakan api baru dalam benaknya. Proyek akhir yang semula hanya berupa digitalisasi biasa kini menjelma menjadi sesuatu yang lebih bermakna, sebuah aplikasi pembelajaran interaktif yang merangkul bahasa, aksara, dan budaya Batak. Aplikasi itu tidak sekadar alat, melainkan jembatan antara generasi muda dan warisan yang nyaris terlupa. Di dalamnya, Saor melampirkan modul cerita rakyat yang diangkat dari tutur para tetua, kamus bergambar yang menghidupkan kembali kosa kata Batak, hingga fitur pemindai aksara tradisional yang secara otomatis mengubahnya ke alfabet Latin. Semua disusun dengan ketelitian dan kehati-hatian, seolah tiap baris kode adalah bentuk doa bagi kelestarian identitas budayanya. Ia menamai aplikasi itu “Pusuk” singkatan dari Pelestarian Ulos, Sastra, dan Kearifan. Nama yang bukan hanya mengingatkan pada puncak bukit yang sakral, tapi juga menjadi simbol dari niatnya untuk menjunjung tinggi akar budaya.

Sidang skripsi telah tiba, dosennya tampak kagum. 

“Kenapa kamu memilih tema ini, Saor? Bukankah ini bukan fokus utama informatika?” 

“Karena teknologi seharusnya membantu kita menjaga, bukan hanya mengejar dan saya percaya, masa depan tidak akan ada jika kita melupakan masa lalu.” 

***

Beberapa bulan kemudian, aplikasi “Pusuk” diluncurkan secara resmi di Balige, bertepatan dengan Festival Danau Toba. Saor berdiri di depan panggung, mengenakan ulos yang ia temukan di Pusuk Buhit. Ia menyapa anak-anak sekolah yang hadir, memperlihatkan cara membaca aksara Batak lewat ponsel. Sambil tersenyum, ia teringat kata Opungnya, “Sian rohami Sasudena marmula. Dari hatimu segalanya bermula.” Saor tahu, pesan dari Pusuk Buhit kini telah sampai ke generasi baru.

Namun perjalanan belum usai, aplikasi “Pusuk” yang awalnya dibuat untuk tugas akhir kini mendapat perhatian dari pihak dinas kebudayaan, komunitas literasi, hingga platform edukasi nasional. Saor diundang untuk mengikuti pelatihan di Jakarta bersama para pegiat teknologi budaya lainnya. Di sana, ia bertemu dengan banyak orang dari berbagai daerah yang memiliki misi serupa menyelamatkan bahasa ibu mereka dari kepunahan. Ia membentuk jaringan, memperbarui aplikasinya dengan fitur kolaborasi lintas daerah, bahkan membuka ruang bagi aksara-aksara lain seperti Rejang, Lontara, dan Kaganga untuk masuk ke dalam satu wadah pelestarian digital. 

Dalam proses itu, Saor mulai menulis modul pelatihan untuk guru-guru di pedesaan. Ia juga membuat kanal YouTube dan TikTok berisi video pendek mengajarkan aksara Batak dan cerita rakyat dengan animasi sederhana. Di balik layar, ia tetap menyimpan kotak kayu dari Pusuk Buhit, sebagai pengingat bahwa semuanya dimulai dari satu pesan sederhana. Suatu malam, ia duduk sendiri di beranda rumah Opung, mendengarkan desir angin dari Danau Toba. Ia membuka kembali aplikasi “Pusuk” yang kini telah diunduh puluhan ribu orang. Di layar awal, ia tambahkan satu kutipan bijak

“Asa tong do hita manogot tu jolo, tu rantosan ni amanta.” 

Dengan cahaya rembulan yang jatuh di wajahnya, Saor menulis catatan terakhir di jurnalnya “Kadang warisan tak datang dalam bentuk emas. Ia datang dalam bentuk kata, ulos, dan tor-tor yang hampir dilupakan. Tapi jika kita cukup bersabar mempelajarinya, kita akan tahu di sanalah kita akan menemukan siapa diri kita sebenarnya.” Pusuk Buhit tak hanya memberinya pesan. Ia memberinya arah.

***

Beberapa tahun kemudian, Saor mendirikan yayasan bernama Yayasan Pusuk, fokus pada pelestarian bahasa dan budaya Batak melalui teknologi. Yayasan ini bekerja sama dengan sekolah-sekolah di Samosir dan Tapanuli, memberikan pelatihan kepada siswa dan guru tentang pentingnya bahasa ibu. Di sela kesibukannya, Saor mulai menulis buku berbahasa Batak dengan ilustrasi menarik. Salah satu bukunya berjudul “Jojak Di Bagas Na Ramun.” cerita rakyat yang pernah diceritakan Opung saat ia kecil. Buku itu mendapat penghargaan sebagai buku terbaik dalam Festival Literasi Nasional yang telah difilmkan dan berhasil tayang di bioskop. 

Suatu hari, ia menerima undangan dari UNESCO untuk menghadiri forum internasional tentang pelestarian bahasa minoritas. Di sana, Saor tampil mengenakan ulos pusaka dari kotak kayu Pusuk Buhit. Ia membagikan kisahnya tentang bagaimana satu pesan dari leluhur bisa menjadi awal perubahan besar. Di akhir presentasinya, ia berkata, 

“Kami percaya bahwa teknologi bukan hanya tentang masa depan, tapi juga tentang cara kita menyelamatkan masa lalu. Karena di setiap kode dan algoritma, ada cerita yang bisa hidup kembali.” 

Para peserta berdiri dan bertepuk tangan. Di sudut aula, seorang nenek dari suku Dayak menitikkan air mata dan memeluk Saor hangat.

TAMAT

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *