Posted in

Menjamu Laut Merayu Bibir Pantai

Luthfiyah Nurul Izzah

Sastra Indonesia B 2022
https://www.instagram.com/luthfi.pie

Air laut pasang diiringi memerah senja yang hampir mewarnai langit dengan jingga bayangannya. Beberapa lancang kuning berbentuk sampan yang di dalamnya tersusun beberapa sesaji terbaik akan dipersembahkan. Doa-doa di langit kan kepada Tuhan pemilik keagungan laut dan kekayaan di dalamnya. Melalui jamu laut, kita mensyukuri anugerah Tuhan Maha Pencipta. Irama gendang terdengar sayup-sayup merenungi keheningan pesisir pantai. Alunan musik yang merambat melalui hela-hela gubang tanpa sadar membuat Laila menggerakkan tubuhnya, menari mengikuti irama alam. Mengikuti langkah kakinya, gadis itu berusaha mencari dari mana datangnya syahdu yang ditimbulkan dari irama gendang.

***

Rasa sesal itu masih berbekas dalam diri Laila. Kenangan yang membuat sebagian jiwanya masih berada di pesisir ini. Tenggelam dalam karang-karang yang kokoh di dasar laut. Ia suka berada di sini. Ketika ia membiarkan rambutnya yang ikal terbawa angin pantai yang lembut, merasakan senja mengecup wajahnya perlahan, kemudian malam menenangkan pikirannya yang liar. Lima belas tahun berlalu begitu cepat, kini usianya sudah seperempat abad. Usia yang bisa dikatakan dewasa oleh sebagian besar orang. Apa yang tersisa saat ia dewasa? Kekecewaan pada dunia, sebab dunia tidak berjalan sebagaimana kehendaknya? Kekecewaan pada takdir, sebab cita-cita yang hendak ia gapai justru berlari menjauh darinya. Lima belas tahun lalu di bibir pantai ini, ia membayangkan dirinya adalah seorang desainer masyhur yang sedang mengikuti festival fashion bersama artis-artis terkenal. Begitu jauh mimpinya, begitu indah selayaknya matahari melukis cakrawala di ufuk barat.

Kini ia kembali di bibir pantai yang sama. Membawa beban yang dilimpahkan dunia kepadanya. Menerima fakta bahwa ia hanya seorang pegawai keuangan di sebuah perusahaan kecil, gaji UMR yang pas-pasan untuk hidup di kota besar. Sang nenek yang merawatnya dari kecil telah berpulang sepuluh tahun lalu. Rumah ini adalah rumah peninggalan neneknya. Pigura cantik bertuliskan nama Laila terpajang rapi di sebelah radio usang. Ia menggenggam pigura kecil yang menunjukkan gambar dirinya dan sang nenek di tepian laut. Di belakang mereka sedang digelar upacara persembahan kepada laut. Terlihat bahwa matahari di sana hampir tenggelam, tetapi itu tidak menyurutkan wajah bersinar sang nenek dan cucu perempuan tersayangnya, Laila. 

Seorang gadis kecil keluar dari kamar milik Laila dulu. Kamar yang kini seharusnya menjadi gudang. Gadis itu berambut ikal lembut, dengan wajah berseri-seri seolah keajaiban akan datang ia tersenyum dan melambaikan tangan meninggalkan Laila. Mengikuti ke mana gadis itu melangkah, Laila termenung sendirian di bawah pohon kelapa. Ia kehilangan jejak gadis itu. Akhirnya Laila memilih membiarkan kakinya melangkah, diiringi irama lembut gendang yang datang dari kejauhan. 

“Nak, sini ikut duduk jangan berdiri di situ. Upacara jamu laut sudah mau dimulai,” ucap seorang nenek tua.

Laila hanya tertegun. Begitu banyak orang berkumpul di sini. Ia seperti mengingat apa yang sedang terjadi di tepi pantai ini. Kemudian ia yakin bahwa nenek di depan adalah neneknya, Laila rindu, ia sangat ingin memeluk tubuh neneknya yang masih sehat ini. Matanya hampir berkaca-kaca memandang nenek yang sibuk menenangkan gadis kecil di sisinya.

“Laa, jangan ribut, duduk yang bagus..” ucap nenek itu sembari menarik gadis yang asyik memandangi kerbau yang akan dipotong.

Laila melihat seseorang yang sangat mirip dengan kakeknya, yang dulunya seorang nelayan, ketua perkumpulan nelayan di sini. Kakeknya terlihat antusias memegangi binatang yang akan dipersembahkan ke laut. Masyarakat pesisir Melayu ini dikumpulkan untuk acara makan bersama di tepian pantai. Mereka menggelar tikar seadanya, karena hal terpenting adalah kebersamaan yang mereka rasakan saat ini. Laila turut serta makan bersama banyak orang di sana, ia tersenyum seolah ia benar-benar bahagia bisa kembali ke masa ini. Makan bersama selesai, dilanjutkan tradisi memotong kerbau. Kegiatan ini menandakan dimulainya tradisi jamu laut.

“Nek, kerbaunya nanti di apakan? Apakah dia diberikan ke laut? Apakah laut juga butuh makan nek?” tanya gadis kecil itu pada neneknya.

“Daging kerbau itu nanti akan dibagi-bagi ke warga. Selanjutnya kita akan berdoa. Di sinilah hal paling penting dari tradisi ini, berdoa,” jawab neneknya.

“Apakah kita berdoa kepada laut?” tanya gadis itu lagi.

“Tidak La, kita akan berdoa kepada Tuhan, sang pemilik laut. Kita akan memohon padanya agar diberi berkah, keselamatan, dan kelimpahan ikan yang ada di laut,” neneknya menjawab dengan lembut.

Laila melihat bahwa sisa makanan sore itu kemudian dimasukkan ke dalam perut kerbau yang telah dipotong. Sementara kepala kerbau dan sisa perut tadi di arak oleh pawang laut. Hingga akhirnya ia dihanyutkan di laut, sebagai simbol persembahan dari para nelayan kepada Tuhan, sang pemilik laut. Laila baru ingat, bahwa acara Jamu Laut ini diadakan setiap empat tahun sekali, berarti Laila mengalami acara ini saat usianya enam dan sepuluh tahun. Gadis kecil yang ada di depannya ini adalah dia yang berusia sepuluh tahun. Acara ini bisa berlangsung tiga hingga tujuh hari, Laila tidak ingat pasti karena dulu yang ia sukai adalah acara makan-makannya saja. Laila dewasa masih tidak paham bagaimana ia bisa kembali ke masa ini. Dipandangilah sang nenek dengan lembut, ia takut akan kehilangan sosok itu lagi. 

“Kamu tahu nak? Ritual Jamu Laut ini adalah ritual sakral. Ada unsur budaya yang mencerminkan hubungan manusia dengan laut sebagai sumber kehidupan kita, para nelayan. Ritual ini bukan sekadar seremonial, melainkan ungkapan syukur kita dan upaya memohon keselamatan selama melaut. Ritual ini juga memunculkan rasa kebersamaan kuat antar masyarakat. Nenek tidak tahu apakah di masamu ritual ini masih dilakukan. Kamu mungkin mendapat pekerjaan di kantor-kantor yang jauh dari ombak laut, tapi nenek berpesan, ingatlah budaya ini sebagai bagian dari dirimu. Hal terpenting adalah jangan lupa bersyukur atas segala nikmat Tuhan Laila, nenek tahu apa yang membawamu sampai di sini,” ucap neneknya panjang lebar.

“Nenek tahu ini Laila?” sang nenek hanya mengangguk dan tersenyum.

Laila ada di sini karena rasa sesalnya. Demi mengejar cita-cita ia akhirnya meninggalkan neneknya yang ada di pesisir Sumatera Utara. Kini cita-cita tidak tercapai dan ia kehilangan seseorang yang menyayanginya dengan tulus. Mengapa takdir begitu jahat? Atau Laila sendiri yang egois. Ia kembali saat semuanya sudah sangat-sangat terlambat. Ia ingin ada di masa itu selamanya. Tidak menjadi dewasa dan menghadapi kenyataan yang pahit. Namun, ia teringat ucapan terakhir sang nenek, ‘bersyukur’, Laila memang kurang bersyukur. Ia masih diberi kehidupan dan kesehatan, bukankah seharusnya itu adalah sesuatu yang bisa ia rayakan? Menjamu laut merayu bibir pantai Laila akhirnya sadar bahwa selama ini ia jarang merasa cukup dengan pemberian Tuhan. Namun, ia teringat ucapan terakhir sang nenek, ‘bersyukur’. Laila memang kurang bersyukur. Ia masih diberi kehidupan dan kesehatan, bukankah seharusnya itu adalah sesuatu yang bisa ia rayakan?

Ia mulai menyadari bahwa meskipun hidup tidak berjalan sesuai dengan rencana atau harapannya, ia tetap diberikan banyak hal yang patut disyukuri. Laut tetap setia menyambut langkahnya, angin tetap membelai rambutnya, dan langit senja masih menunjukkan warna terindahnya. Ia memang kehilangan banyak hal, tetapi tidak segalanya. Masih ada waktu untuk menata kembali serpihan yang pernah hancur. Mungkin tidak untuk kembali seperti dulu, namun cukup untuk membuatnya merasa utuh. Ia tersenyum pelan, mengusap pigura yang masih ia genggam erat. Dalam hatinya, ia berjanji untuk lebih menerima, lebih mencintai dirinya sendiri, dan lebih menghargai waktu yang masih dimilikinya. Karena hidup, sebagaimana laut, selalu punya cara untuk memberi harapan meski dalam bentuk yang tak terduga.

***

Menjamu laut, merayu bibir pantai, adalah cara jiwa bersujud tanpa suara.

Pada gelombang yang membawa doa, pada pasir yang mencatat jejak luka dan harapan.

Di antara angin yang menyampaikan rindu, dan gendang yang menggema dari hati para leluhur, Laila akhirnya memahami: hidup bukan tentang menjadi sempurna, melainkan tentang mengingat pulang.

Dan dalam pulang itu, syukur bersemi seperti senja yang tak pernah gagal menyala di ufuk barat. Karena laut akan selalu menerima apa pun yang kembali kepadanya baik rindu, sesal, maupun harap. Dan Laila tahu, selama laut masih bernyanyi, kenangan takkan pernah benar-benar hilang. Ia menutup matanya, membiarkan semesta menyelimutinya dengan damai, sebagaimana nenek dulu membisikkan doa di antara desir angin.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *