
Generasi muda adalah penerus, bukan pelenyap budaya. Ciptakan inovasi, tetapi jaga esensinya.
***
Pagi yang cerah, dengan matahari menjulang tinggi menyinari salah satu desa di Muara, Tapanuli Utara. Hiruk-pikuk penduduk desa yang beraktivitas, menjadi rutinitas yang tak pernah berubah dari hari ke hari. Sama halnya dengan pak Sahat—seorang pengukir gorga atau biasa dikenal dengan sebutan panggorga, satu-satunya yang masih bertahan di desa ini. Walaupun usianya sudah tidak lagi muda, beliau masih sangat lihai saat mengukir Gorga. Setiap goresan selalu mengandung makna, dan akan menghasilkan karya yang indah. Namun, di balik itu semua, ada keresahan dalam hati pak Sahat. Anak satu-satunya yang dia miliki, seperti enggan untuk meneruskan pekerjaan turun-temurun keluarga mereka ini. Masih dengan tangan yang melukis di papan, dan saat itu dia melihat Arka—anaknya baru saja keluar dari rumah, dengan seragam sekolahnya.
“Pak, lao majo au sikkola da,1” pamit Arka. Meski sebenarnya dia tidak ingin berbicara dengan bapaknya, tak mungkin Arka pergi begitu saja. Masih memikirkan sopan santun kepada orang tua yang telah membesarkan dan mendidiknya.
“Uang jajan sudah dikasih mamak, Nang?” tanya pak Sahat. Arka hanya mengangguk dan menyalami tangan bapaknya. “Manat-manat,2” kata pak Sahat lagi.
Pak Sahat melihat dengan tatapan sendu anak semata wayangnya berjalan, meninggalkan rumah dengan keheningan yang kembali melanda. Beberapa saat diam, menghela napas, kemudian kembali melanjutkan pekerjaannya yang sempat tertunda. Tak lama, Tiur—istrinya keluar dengan membawa nampan berisi kopi hitam. Pak Sahat tersenyum menyambut kopi terenak buatan istrinya.
“Ah …, kopi na i baen istriku memang dang adong dua na,3” ungkap pak Sahat dramatis. Tiur langsung memukul pelan lengan suaminya, dan tertawa ringan.
“Bisaan kali kau, Pak.” Tiur duduk di kursi sebelah suaminya, mengamati pekerjaannya.
“Sudah selesai melukis pesanannya pak Gabe? Ku lihat dari tadi kau melamun terus, Pak? Kenapa?” tanya Tiur. Pak Sahat menghelas napas, meletakkan kuasnya, dan menatap wajah Tiur.
“Tak bisa kau bujuk anakmu untuk tetap tinggal di sini setelah tamat sekolah nanti? Tidak perlulah jauh-jauh ke kota. Toh, di sini sudah ada pekerjaan yang pasti, hanya tinggal belajar. Sayang sekali kalau dia tidak mau meneruskan warisan ini, Tiur. Hanya tinggal keluarga kita yang bisa diharapkan. Jika nanti aku sudah tidak ada, bagaimana nasib desa ini? Tidak ada yang bisa membuat Gorga. Hilang sudahlah, warisan budaya kita.”
“Nanti aku bicara dengan Arka, bapak minumlah dulu. Tenangkan pikiranmu, jangan sampai sakit karena ini.” Sahat mengangguk dan mengelus pelan kepala istrinya. “Aku ke dalam dulu, masih banyak cucian.”
Melihat Tiur kembali ke dalam, Sahat melanjutkan pekerjaannya yang sempat tertunda. Masih banyak lagi ukiran yang harus dia selesaikan hari ini, sebelum diantar ke pemesan.
Tak terasa, waktu sudah menunjukkan pukul satu siang. Sahat yang sudah lelah, meletakkan kuas dan merenggangkan tubuhnya yang kaku. Berjam-jam di depan papan lukis, membuat badannya pegal-pegal. Maklum, usia Sahat sudah tidak lagi muda. Sudah separuh abad, sudah waktunya pensiun. Namun, jika bukan Sahat, siapa lagi yang meneruskan keahlian keluarga mereka.
Tidak lama kemudian, Arka kembali dari sekolah. Dengan wajah lelah, karena habis berjalan dari sekolah sampai ke rumah. Sahat langsung menyambut anaknya, mencoba berbicara tenang. Tidak mau anaknya kembali marah padanya.
“Capek, ya? Gimana tadi sekolahnya? Ku dengar-dengar, kau hari ini tryout ‘kan?” tanya Sahat.
Arka mengangguk. “Iya, Pak. Hari ini tryout matematika, susah sekali. Untung aku sudah belajar kemarin, jadinya ya lancar walau tetap tidak semua diisi.”
“Nungga jege be i, jago gelling ni Bapak,4” sahut Sahat.
Arka tersenyum singkat, matanya memperhatikan gurat kelelahan dari wajah bapaknya. Matanya sedikit sayu hari ini, pun dengan wajahnya yang pucat.
“Marsahit Bapak?5” Tangan Arka dengan cepat meraba kening bapaknya, dan merasakan suhu hangat saat disentuh.
“Tidak apa, hanya kelelahan karena seharian ini mengukir Gorga pesanan pak Gabe. Sana, kau masuk. Bersihkan badanmu, makan. Mamakmu sudah masak makanan kesukaanmu.”
Mendengar itu mata Arka berbinar dan berkata, “Mamak masak arsik? Ayo, bapak juga masuk. Kita makan bareng.” Sahat tersenyum dan mengangguk saja. Mengikuti langkah anaknya yang sudah lebih dulu masuk ke rumah.
Setelah mengganti pakaian dengan baju santai, Arka duduk di kursi. Di meja makan, sudah banyak makanan yang menggiurkan. Masakan mamaknya memang tidak perlu diragukan lagi. Apalagi ikan yang menjadi menu utama hari ini. Melihat anaknya tampak bahagia, Tiur dan Sahat juga ikut tersenyum melihatnya.
Tiur dengan lihai mengambil nasi untuk suaminya dan anaknya. Mereka makan dengan nikmat setelahnya, tidak ada percakapan. Fokus dengan makanan yang sudah dibuat oleh perempuan satu-satunya di rumah ini. Sesaat setelah makan, Arka membantu Tiur membereskan meja makan dan meletakkan ke tempat cucian piring. Sahat sudah berpindah duduk ke resbang ruang tamu, memperhatikan anaknya dengan senyum bangga pada anaknya yang begitu rajin membantu saat di rumah.
“Sini duduk, Nang.” Arka duduk di sebelah bapaknya. Merasa lelah juga seharian ini otaknya sudah diajak berpikir dengan rumus-rumus matematika di sekolah. Ditambah dengan apa yang akan bapaknya bicarakan saat ini, mungkin membuat kepala Arka akan pecah saat itu juga.
“Ada yang mau bapak bilang? Tadi mamak di belakang sudah menyinggung soal pekerjaan bapak.” Sahat terdiam sejenak. Memikirkan kata-kata apa yang bisa dia lontarkan, tanpa membuat anaknya kembali marah.
“Habis ini, kau mau ke mana?” tanya Sahat.
“Aku mau ambil kuliah di Medan, Pak. Guruku juga sudah menyarankan aku ambil di sana, peluangnya besar untuk jurusan yang aku pilih. Boleh ‘kan, Pak?”
Sahat menghela napas, sebelum menjawab. “Jadi, kau tidak ingin meneruskan pekerjaan bapak sebagai pengukir Gorga ini?”
“Aku tidak ahli, Pak. Lagian aku juga tidak ingin tinggal di desa ini saja, terlalu monoton. Kata teman-temanku yang pernah ke Medan, di sana enak. Apa aja ada di sana, banyak yang bisa kita cobain. Tidak melulu hanya mengikuti adat-adat yang sudah ketinggalan zaman itu.”
“Tidak ada yang namanya adat ketinggalan zaman, Nang. Adanya generasi muda sudah tidak ingin lagi meneruskan warisan budaya kita. Lihatlah, dirimu. Di desa ini sudah tidak ada lagi yang meneruskan usaha Gorga selain bapak, tapi kau enggan meneruskan.”
“Itu lagi itu lagi. Sudah ‘ku bilang, kalau aku tidak ahli, Pak. Tolong mengertilah, Pak. Lagian tidak ada masa depan yang jelas kalau aku masih di desa ini. Aku ke kota juga untuk pendidikan, untuk buat bapak dan mamak bangga. Nanti bisa kerja yang layak, dan berpenghasilan tinggi.”
“Setidaknya kau mau meneruskan usaha bapak ini, Nang. Biar tidak putus di bapak, kau bisa buat usaha ini di sana nanti. Tawarin ke teman-temanmu, atau siapalah itu. Ikuti zaman sekarang pun tak apa, yang penting budaya kita tidak mati dan jadi tidak dikenal banyak orang.”
Arka tak membalas lagi, bingung. Satu sisi dia juga tidak ingin berbicara seperti ini kepada bapaknya sendiri, tapi di sisi lain dia juga tidak ingin hidup dengan kegiatan yang dia bahkan tidak suka. Di heningnya suasana itu, Tiu muncul dari dapur. Ikut duduk di samping Sang Suami, menatap mereka yang masih diam-diam saja.
“Kenapa ini? Suasananya tegang sekali,” ucap Tiur. Mencoba mencairkan suasana yang tegang.
“Biasalah, anakmu ini. Sudah kau kasih tahu ‘kan?” tanya Sahat.
“Sudah, Pak. Kau memang tidak mau, Nang?” Arka hanya mendesah mendengar pertanyaan mamaknya. Tidak menjawab, lebih memilih bangkit dan pergi ke kamarnya. Mengunci pintu rapat-rapat, seakan tidak ingin diganggu oleh apapun. Sahat dan Tiur hanya bisa menatap sendu anaknya yang sudah menghilang di balik pintu kamar itu.
Di dalam kamar, Arka merenung dengan memeluk lututnya sendiri. Mencoba berpikir dengan jernih tanpa rasa amarah yang masih mencuat. Memikirkan ucapan bapaknya yang memang ada benarnya, tetapi keinginannya untuk melanjutkan mimpi di kota membuatnya enggan untuk sekadar belajar mengukir Gorga. Selalu berkata tidak ahli, padahal karena belum pernah mencoba.
***
Esok pagi yang kembali cerah, tapi tidak dengan suasana rumah pak Sahat. Masih dihiasi dengan kecanggungan yang nyata terasa. Tidak ada percakapan selain tangannya yang lihat menyuap nasi ke mulut. Arka bahkan kali ini tidak membantu mamaknya memberes piring-piring, pun dengan Tiur yang masih diam saja. Pemuda itu belum beranjak, ingin berbicara dengan orang tuanya, tapi bingung mulai dari mana.
Dengan keberanian, akhirnya Arka berkata, “Pak, aku tetap ingin ke kota.”
Sahat menghela napas pelan, tak membantah keinginan anaknya. “Sudah bulat tekadmu itu, Nang?”
Arka mengangguk mantap. “Tapi, Pak. Aku juga mau meneruskan usaha keluarga kita ini. Nanti, pulang sekolah ajarin aku, ya, Pak. Di kota nanti, aku mau buat usaha. Buat kerajinan tangan dari bentuk gorga kita, Pak. Entah itu baju, aksesoris, gantungan kunci, pin, atau apapun itulah. Sebenarnya bisa saja di-print lewat internet, tapi aku mau hasil dari tanganku sendiri. Biar bapak dan mamak bangga kalau usahaku nanti di sana sukses,” jelas Arka. Sahat langsung tersenyum bahagia, dan memeluk anak semata wayangnya.
Tiur yang mendengar dari dapur, ikut tersenyum.
TAMAT
Catatan Kaki:
1aku pergi sekolah dulu
2hati-hati
3kopi buatan istriku memang tiada duanya
4Udah bagus itu, hebat anak bapak
5Bapak sakit?