Di atas puncak Delleng Simpon, kabut membutakan mata menghapus arah
tentang dua hati yang saling bertaut, namun berduri akan nasib.
Namamu dan namaku serupa dalam sabda leluhur,
satu marga, satu darah, satu garis yang tak boleh bersatu.
Mereka bilang, cinta tak boleh menentang aturan,
tak boleh menukar taring adat dengan peluk harapan.
Maka mereka carikan kau pasangan dari marga jauh,
sementara aku… tinggal menjadi anganmu.
Setelah hari itu aku tak lagi menggenggam tanganmu,
Aku memilih diam, memilih untuk tunduk,
karena adat lebih dulu ada,
dan akan selalu ada.
Pergilah, dengan mata yang basah namun akan mulia,
karena kita memilih untuk kalah,
demi hormat yang tidak akan pernah bisa untuk dibantah.