
Cerita ini bukan hanya tentang cinta, tapi juga tentang pertemuan dua keluarga, persatuan dua budaya, dan hormat pada warisan leluhur. Dalam ulos, gondang, dan doa, cinta mereka tak hanya diikat, tapi juga dimuliakan.
Manokwari, senja memeluk cakrawala jingga, menyambut Sertu Wildan Munawar Harahap, prajurit TNI berjiwa baja. Ia tinggalkan Kota Tebing Tinggi, kampung halaman, membawa tekad dan kerinduan orang tua.
“Nak, tugasmu bukan hal ringan. Tapi aku percaya, kamu lahir dari tulang punggung yang kokoh,” ujar sang ayah, suaranya parau menahan haru.
Ibunda menambahkan, “Hati ibu tak akan pernah tenang sebelum mendengar kabar bahwa kamu sehat dan baik-baik saja di sana.”
Wildan menunduk hormat, mencium tangan kedua orang tuanya, lalu berpesan kepada adik-adiknya, “Ridil, Rusdi… Jaga ayah dan ibu selama aku bertugas. Jangan buat mereka khawatir.”
Tangis pecah dalam diam, mengiringi langkah Wildan menuju belahan negeri lain.
Setibanya di Bandara Rendani, Manokwari, Wildan terkesima. “Ini… Papua?” gumamnya lirih. Kota itu damai, bersih, dan langitnya luas, jauh dari bayangan konflik yang sering ia dengar. “Tempat ini sungguh menenangkan,” bisiknya, tersenyum kecil. Udara sejuk Manokwari membelai, seolah berbisik, “Di tanah jauh ini, akan lahir cinta yang tak kau duga…” Satu setengah tahun berlalu, Manokwari bukan lagi tanah asing. Ia telah menjadi rumah kedua.
Pagi itu, langit cerah.
“Udara di sini benar-benar berbeda,” ujar Wildan kepada teman sekamarnya, Sertu Fadli.
“Sejuk saat subuh, tenang… kadang aku berpikir, mungkin aku akan sulit meninggalkan tempat ini.” Fadli tersenyum, “Itulah magisnya Manokwari. Damai, dan menyenangkan.”
Hari itu, Wildan dan pasukannya ditugaskan ke Universitas Papua (UNIPA) untuk program edukasi.
“Pasukan, hari ini kalian mewakili Kodam Kasuari. Tampilkan sikap terbaik kalian,” instruksi Komandan.
Di aula UNIPA yang dipenuhi mahasiswa antusias, Wildan tampil memukau menjelaskan kesiapsiagaan bencana. Dari sudut aula, Loria Amisyah Lubis, seorang dosen muda berhijab softpastel, memperhatikan. Matanya bersinar, bukan hanya pada materi, tapi juga pada sosok yang menyampaikannya.
Penyuluhan usai, aula mulai lengang. Loria mendekat, wajahnya teduh, senyumnya ramah.
“Selamat siang, Pak. Penyuluhan hari ini sangat bermanfaat,” sapanya lembut. “Saya Loria Amisyah, dosen dari Fakultas Kesehatan UNIPA.”
Wildan menyambut. “Selamat siang, Ibu Loria. Saya Sertu Wildan Munawar dari Kodam Kasuari.”
Obrolan mengalir, diselingi tawa.
“Mahasiswa kami sempat berbisik ke saya, ‘Pak tentara yang itu ngomongnya kalem dan sopan, Bu’,” ujar Loria.
Wildan tertawa. “Eh… boleh saya tahu, apakah Ibu asli Manokwari?” tanyanya.
“Sebetulnya bukan,” jawab Loria. “Saya dari Medan. Sudah hampir dua tahun di sini mengabdi sebagai dosen.”
Mata Wildan berbinar. “Wah, saya juga dari Sumatera Utara, Tebing Tinggi, tepatnya. Dunia ini benar-benar sempit, ya.”
Loria menatap Wildan, tersenyum lebar. “Aduh, dunia ini memang lucu. Di ujung timur Indonesia, ternyata kita bisa bertemu dengan sesama orang Sumatera Utara.”
Wildan mengangguk. “Betul, Bu. Kadang, pertemuan yang tak terduga seperti ini… bisa menjadi awal dari cerita yang panjang.”
Keduanya tertawa ringan. Angin sore berembus, membawa aroma rumput basah dan kenangan baru.
Waktu merajut kedekatan. Percakapan WhatsApp bertransformasi menjadi benang-benang halus. Hati Wildan semakin mantap; Loria adalah tempat berlabuh. Begitu pula Loria, ia melihat ketulusan Wildan. Suatu senja, mereka saling membuka hati, sepakat berjalan bersama menuju pelaminan. Kabar bahagia disampaikan kepada orang tua. Takdir bermain, ayah Loria ternyata sahabat lama ayah Wildan.
“Kau bilang Wildan? Anaknya Pak Harahap Tebing Tinggi?” tanya ayah Loria terbelalak.
“Kami sering duduk bersebelahan di rapat-rapat Kemenag. Dunia memang kecil, tapi Tuhan besar dalam menyusun skenario.”
Pertemuan dua keluarga adalah reuni. Pertunangan pun segera dilangsungkan. Pertunangan Wildan dan Loria berlangsung hangat. Mereka sepakat akad dan resepsi di rumah Loria pada 9 Januari, diikuti adat dan resepsi di rumah Wildan selama tiga hari dua malam, 10 hingga 12 Januari. Undangan tersebar, cinta mereka kini menjadi perayaan.
Pagi itu, langit seolah memberkati bumi. Udara sejuk, burung berkicau riang. Iring-iringan mobil pengantin dari keluarga Wildan memasuki halaman rumah Loria. Di dalam, Loria anggun dalam kebaya pastel.
“Bu… kenapa jantungku berdetak secepat ini?” bisiknya.
Ibunda Loria tersenyum, “Itulah tanda bahwa hatimu sedang mengetuk pintu takdir.”
Wildan turun, mengenakan jas hitam. Ayah Loria menyambut dengan pelukan hangat. “Selamat datang, Nak. Hari ini, kau akan menjadi bagian dari keluarga kami.”
Wildan membungkuk, “Terima kasih, Ayah. Saya datang membawa cinta dan niat baik.”
Penghulu memulai.
“Saya nikahkan engkau, Wildan Munawar Harahap bin Haji Syamsuddin Harahap, dengan Loria Amisyah Lubis binti Haji Muchtar Lubis, dengan mas kawin tersebut dibayar tunai.” Ucap penghulu.
Wildan, dengan suara tegas namun lembut, “Saya terima nikahnya Loria Amisyah Lubis binti Haji Muchtar Lubis, dengan mas kawin tersebut dibayar tunai.”
Hening, lalu gema “sah… sah…” memenuhi ruangan. Ibunda Wildan mengusap mata,
“Akhirnya… anakku resmi menjadi suami dari wanita yang ia cintai.” Ayahanda Wildan berbisik, “Ini bukan sekadar akad, ini adalah awal dari perjalanan menuju surga-Nya.”
Di pagi yang suci itu, cinta yang tumbuh dari Manokwari, mekar di pelaminan yang sah. Usai ijab kabul, Wildan dan Loria berganti busana adat Mandailing: Loria anggun dalam bulang emas dan merah marun, Wildan gagah dalam ampu-ampe dan baju godang. Pelaminan dihiasi motif gorga, lampu temaram, dan harum bunga sedap malam. Acara Martupang Tawar, ritual memberkahi pengantin, dimulai. Tepung tawar disiapkan dari daun sirih, bunga rampai, air jeruk purut, dan beras kunyit, melambangkan doa dan kesuburan. Ayah dan ibu Loria, disusul ayah dan ibu Wildan, menyentuh lembut tangan mereka berdua dengan ramuan itu, diikuti keluarga besar. Doa-doa berhembus, langit di Kota Tebing Tinggi seolah turun merestui.
Senja merayap, gondang mengalun. Penyerahan pengantin wanita kepada keluarga pria. Ulos rapi dibentangkan oleh bou Wildan, lalu diselempangkan di bahu Loria, tanda ia kini menjadi bagian dari keluarga Harahap.
“Tarimo ma ulos on horjaon tu roham, Loria. Ini ulos restu,” ucap Bou Wildan lembut.
Loria menahan haru, “Horas, Bou… terima kasih.” Diiringi lagu “Manarere”, keluarga Loria mengantar anak perempuan mereka ke arah pagar rumah.
“Nak… dari sini langkahmu berbeda, tapi cintaku akan tetap mengiringi,” ujar ayah Loria bergetar.
“Di pundakmu ada ulos, di hatimu ada doa kami. Bahagialah, Loria,” pesan sang ibu.
Loria tersenyum dalam tangis, berpaling menatap halaman rumah masa kecilnya, sebelum masuk ke mobil pengantin bersama Wildan menuju lembar baru.
Kini, giliran keluarga besar pria menyambut. Di halaman rumah keluarga Harahap, bus-bus besar tiba, menurunkan sanak saudara dari Gunung Tua dan Batu Pulut.
“Horas… selamat datang, saudara-saudaraku,” sambut Amang Tua Harahap.
Rumah bersinar oleh cahaya lampu dan tawa dalam bahasa Batak yang hangat. Hari pertama dimulai dengan doa dari para Raja Batak, terutama dari garis Mangaraja Sutan Harahap. Upah-upah, hidangan simbolik adat Mandailing kepala kerbau, telur rebus, ikan mas bakar, sayur rebus tersaji di atas dulang. Raja Batak tertua mengangkat tangan, menyentuhkan kepala kerbau ke pundak Wildan dan Loria.
“Anakku, Wildan dan Loria. Mangan maho, minum maho, jadi maho parumaen na marsahala,” ujar Raja Batak.
Wildan menunduk takzim, “Horas, Amang. Doa dan adat ini akan kami junjung tinggi.”
Loria menahan haru, “Terima kasih atas upah-upah dan restu ini.”
Malam turun, nyanyian gondang dan doa leluhur menggema.
Pagi di rumah itu dimulai dengan bunyi gondang. Hari ini, hari kedua perhelatan adat: Mangupa Gelar, saat nama menjadi warisan kehormatan. Di rumah adat yang ramai, para raja dan tetua berdatangan. Wildan mengenakan ambu ampe, Loria anggun dalam bulang-bulang merah. Keduanya duduk bersila di depan tungku api. Gondang ditabuh, suling Batak mengalun, mengiringi langkah mereka menuju panggung tortor.
“Manortor ma hamu, ale anak boru. Di tano asalmu, di jabatan barumu,” ucap Tetua Adat.
Wildan dan Loria manortor perlahan, diikuti para raja dan keluarga besar. Menjelang siang, pengantin diarak mengelilingi kampung, disambut masyarakat. Di alun-alun, mereka didudukkan di atas panggung tinggi. Raja Tertua bersuara lantang, “Mulai hari ini, gelar adat diberikan kepada Wildan Munawar Harahap: Raja Parulian, penuntun masa depan. Dan kepada Loria Amisyah Lubis: Boru Panuturi, pengiring cahaya rumah tangga.”
Wildan menunduk dalam, “Horas, Amang. Saya akan jaga gelar ini.”
Loria lembut, “Terima kasih atas kepercayaan ini.” Tetua adat membacakan doa berisi petuah.
Malam datang, gondang terus bertalu, semua menari dalam suka cita.
Pagi Subuh, dingin menyelimuti kampung. Wildan dan Loria bersiap. Hari ini, hari ketiga, penutup rangkaian cinta mereka: acara adat Unduh Mantu di rumah keluarga pria.
“Hari terakhir, Bang… tapi hatiku justru lebih berdebar dari sebelumnya,” bisik Loria.
Wildan menyentuh jemarinya, “Karena ini hari kita disambut sebagai satu, bukan lagi dua.”
Keduanya mengenakan pakaian adat Batak Angkola. Keluarga besar Wildan menuju Gedung Mangampu Tua, dihiasi ornamen Batak Angkola. Seruling Batak mengalun, disambut tabuhan gondang sabangunan. Langkah penuh wibawa berjalan menuju pelaminan.
“Horas! Hari ini kita menyambut parumaen,” sambut Amang Tua Wildan.
Prosesi Tepung Tawar kembali dilakukan, diawali keluarga Wildan, disusul keluarga Loria, dan para tamu.
“On ma upa-upa, ale boruku. Sai sehat ma hamu, marasiho-asihi ma ho on salelengna,” ucap Inang Boru.
Resepsi berlangsung khidmat dan hangat. Menjelang sore, Wildan dan Loria berdiri di panggung, saling menatap, dengan senyum yang menyimpan ribuan janji.
“Setelah semua ini… yang tersisa hanya kita berdua, menulis lembar baru,” bisik Wildan.
Loria tersenyum, “Dengan cinta, dan semua doa yang telah dilangitkan untuk kita.”
Begitulah, di tengah adat, restu, dan iringan gondang Batak, dua jiwa disatukan. Wildan dan Loria, kini pewaris budaya, pembawa nama, dan penjaga cinta. Cinta mereka tidak dimulai di pelaminan, tetapi dipahat oleh waktu, dan dipatri oleh adat. Kisah mereka kini ditulis dengan ulos, gondang, dan nama baik keluarga. Di bawah langit Tebing Tinggi yang senyap, cinta itu resmi menjadi abadi.
TAMAT