Posted in

Saur Matua: Ketika Kematian Menjadi Kehormatan

Yesika Siahaan

Sastra Indonesia
https://www.instagram.com/siahaanyesikaa

Di suatu desa di Sumatera Utara,  tepatnya di Pulau Samosir hiduplah seorang anak kecil yang sangat manis bernama Cleo Abigael Siahaan—anak terakhir dari empat bersaudara. Ketiga abang Cleo sedang merantau. Abangnya yang pertama kini berada di ibukota yaitu Jakarta bernama Felix Joshua Siahaan. Lalu, abangnya yang kedua bernama Raja Carlos Siahaan sedang merantau  di batam. Abangnya terakhirnya, bernama Marolop Hasahatan Siahaan sedang menempuh Pendidikan di Medan, kuliah di Universitas Negeri Medan jurusan Ekonomi. Cleo tinggal di sebuah rumah yang bagus di dekat danau toba. Ia sekarang sedang menempuh bangku SD kelas tiga. Bapak Cleo bernama Togu Siahaan dan mamanya bernama Mian Manullang. Bapak Cleo bekerja sebagai Kepala Desa  di kampungnya. Selain itu, Bapak Cleo mempunyai sawah dan kebun sayur. Sedangkan Mama Cleo seorang ibu rumah tangga, walaupun terkadang kegiatannya berladang dan mengecek hasil kebun dan panen mereka. Meskipun mereka orang berada yang memiliki sawah dan kebun, mereka tetap mau ikut turun mengurus tanaman – tanaman.  

Cleo adalah anak yang baik, pintar dan nurut kepada orang tua. Cleo sering kali membantu mamanya berladang. Tak heran banyak bapak-bapak dan ibu-ibu yang kenal dengannya karena ia merupakan anak yang ramah dan sopan dan ia pun sering ikut mamanya ketika menjual hasil panen ke pasar.  Terkadang, jika dia ikut kerja di kantor desa bersama bapaknya atau sekadar mengantar bekal untuk makan siang bapaknya, banyak yang ia kenali orang-orang sekitar atau kadang orang dari kampung sebelah. Cleo sangat suka dalam membersihkan rumah apalagi kamarnya, maka dari itu ia selalu membantu mamanya dalam membereskan rumah dan tidak pernah mengeluh. 

Cleo merupakan anak yang extrovert, memiliki banyak teman, baik dan ramah. Dia memiliki teman rumah, teman sekolah, teman gereja, bahkan teman yang hanya bertemu sekali saja pada saat ia datang ke kantor bapaknya. Walaupun Cleo punya banyak teman, dia tidak pernah lupa untuk membantu  mamanya di ladang dan di rumah. Cleo bisa membagi waktunya dalam bermain dan membantu orang tua. Di sekolah Cleo mempunyai tiga orang teman—Kristin, Angel, dan Joseph. Ketiganya sangat dekat dengan Cleo. Mereka satu desa, satu kelas dan satu gereja. 

Hari ini adalah hari senin, hari di mana semua siswa dari kelas 1 – 6 melakukan upacara bendera. Cleo, Kristin, Angel dan joseph sudah baris di lapangan upacara dengan rapi,  mereka mengikuti upacara dengan baik dan mematuhi peraturan sekolah dengan tertib. 30 menit berlalu upacara telah selesai dilakukan,  mereka berempat masuk ke kelas secara bersamaan, diikuti dengan siswa yang lain yang juga teman sekelas mereka. 

Hari ini ada tiga mata pelajaran, jam pertama yaitu mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam, Matematika dan Seni rupa dan budaya. Jam pertama dimulai dengan topik pembelajaran yang sangat murid-murid suka. Satu jam berlalu, selesai mata pelajaran pertama. Kemudian lanjut mata pelajaran kedua yaitu matematika, semua murid sudah siap dengan mata pelajaran ini. Cleo sangat suka pelajaran matematika karena menurutnya matematika sangat menyenangkan. Dia sangat semangat menjawab soal-soal yang diberikan oleh guru. Beberapa saat kemudian waktunya jam istirahat, semua murid berhamburan keluar kelas, ada yang ke kantin untuk membeli makan, ada yang membawa bekal dan hanya membeli air saja. Cleo dan ketiga temannya membawa bekal dan makan bersama di depan kelas. Dengan mulut mengunyah, mereka tetap sesekali bercerita.

“Kalian tau nggak? Hari minggu kemarin kakek laki-lakinya si Miska meninggal, teruskan karena rumah si Miska ini ga pala jauh dari rumahku, datang mamakku kerumah nya, aku ikut sama mamakku. Kulihat bou sama amangboru itu udah pake kebaya sama ulos ‘kan, semua lah keluarganya pakai itu. Terus ada juga musik-musik. Itu acara apa ya? Bukannya kalau udah meninggal langsung dikubur aja?” tanya Joseph penasaran. Tangannya masih sibuk mengaduk bekal.

Joseph memang bukan asli dari Batak Toba, Joseph merupakan suku Nias yang tinggal di daerah Danau Toba karena bapaknya mendapat tugas di Danau Toba. Ia tinggal bersama mama dan bapaknya sudah tiga tahun, dan selama tiga tahun itu mamanya mengajarkan banyak hal mulai dari memanggil orang lain yang lebih tua dari dia, pakaian adat dan lainnya. Maka dari itu  ia  mengerti memanggil mama dan bapak temannya dengan sebutan bou dan amangboru. 

“Ih…, serius? Pantesan si Miska gaada ku tengo dari pagi, ternyata dia lagi berduka, yaa. Kasian banget…, kalo jadi dia juga sedih, ga bisa ngebayangin kalo opung aku meninggal,” sahut Kristin.

“Iya, ya …. Kasian Miska!” kata Angel prihatin.

“Aku pun sedih denger kabarnya, kemarin bapak aku memang ada ngasih tau hal ini ke mamakku, pas aku uda ngantuk dan mau tidur mataku udah setengah merem setengah melek, tapi aku ga denger begitu jelas ternyata berita ini. Kasian, ya, Miska,” ungkap Cleo. 

“Iya…, kemarin aku ngeliat Miska, bou, amangboru, nangis kejer. Aku jadi pengen nangis juga, sedih bangettt. Ngomong-ngomong kalian belum jawab pertanyaan aku itu acara apa ko sampai ada musik-musik?” tanya Joseph sekali lagi. Dia benar-benar penasaran dengan acara yang kemarin dia lihat.

“Oh iya, lupa maaf ya, kebawa suasana, hehe. Setahuku itu acara adat, memang kalau opung-opung yang meninggal dibuat acara seperti itu, tapi aku lupa nama acaranya itu apa yah. Bapakku pernah cerita. Hm, mungkin Angel atau Kristin kalian ingat ga nama acaranya?”

“Aduh, aku juga lupa namanya apa,” jawab Angel.

“Hm, aku juga nggak tahu, lupa.”

“Iss! Kalian gimana sih? Yaudah deh, kita beresin dulu nih bekal kita, bentar lagi mau masuk kelas,” ujar Joseph.

“Oh iya, ayo …,” jawab mereka bertiga serempak.

Diikuti dengan bel tanda masuk kelas, semua murid masuk  kelas masing-masing, jam ketiga atau terakhir  dimulai. Sejam berlalu, begitu pula pelajaran mereka yang selesai. Waktu sudah menunjukkan pukul 13.00, saatnya pulang. Semua murid berhamburan pulang, mereka berempat pulang bersama, seperti biasa. 

“Temen-temen gimana kalo sekarang kita ke rumah miska? Kita liat dia yuk, kasian dia, sekalian kita nanya ke orang-orang situ tentang adat yang kita gatau namanya itu apa,” usul Cleo. Langsung disetujui oleh ketiga temannya.

Cleo, Kristin, Angel, dan Joseph sepakat untuk pergi ke rumah Miska setelah pulang sekolah. Mereka berjalan beriringan menyusuri jalan desa yang rindang dengan pepohonan dan suara angin dari Danau Toba yang berembus lembut.

Sesampainya di rumah Miska, suasana masih ramai. Tenda besar berdiri di halaman rumah. Beberapa orang mengenakan pakaian adat Batak, dan musik gondang Batak terdengar dari kejauhan. Di dalam rumah, terlihat foto hitam putih opung laki-laki Miska terpajang di atas peti mati berhias ulos.

Miska melihat teman-temannya datang dan langsung menghampiri mereka dengan mata yang sembab. Ia tersenyum kecil.

“Makasih, ya, udah datang,” ucap Miska.

Cleo memeluknya sambil berkata, “kami semua ikut sedih, Miska. Kamu yang sabar, ya. Ngomong-ngomong Kami penasaran ini acara apa namanya, tadi Joseph nanya. Kami bertiga lupa, kamu boleh ceritain ga?”

Miska mengangguk pelan. “Kata bapak mamaku ini acara adat Batak, namanya Saur Matua. Kalau orang yang meninggal itu sudah tua, sudah menikah, semua anaknya juga sudah menikah dan punya cucu. Jadi, katanya itu meninggal yang paling ‘sempurna’ menurut adat Batak.”

Joseph mengangguk mengerti. “Oh …. Jadi, makanya ada musik dan semua orang pakai ulos?”

Tiba-tiba datang seorang laki-laki paruh baya, mengenakan sortali (ikat kepala adat Batak). Ia adalah tulang (paman dari pihak ibu) Miska. Ia mendengar pembicaraan mereka dan ikut tersenyum.

“Betul, anak-anak. Dalam adat Batak, kematian Saur Matua itu bukan hanya duka, tapi juga syukuran. Karena orang yang meninggal sudah lengkap hidupnya. Jadi, kita rayakan juga. Ada gondang, ada tarian tor-tor, dan semua keluarga datang, membawa ulos sebagai tanda penghormatan,” jelas Tulang Miska.

Angel tercengang. “Berarti …, kayak perayaan ya?”

Tulang Miskah menjawab, “Ya, semacam itu. Tapi tentu tetap dengan rasa hormat. Di Saur Matua, ada susunan acara seperti mangulosi (memberi ulos), tor tor, dan manortor (menari adat), juga ada sambutan dari pihak-pihak keluarga.”

Mereka semua mendengarkan dengan penuh perhatian. Kristin mencatat di buku kecilnya, berniat menceritakannya di sekolah nanti.

Setelah itu, mereka membantu Miska membagikan air mineral untuk tamu-tamu yang datang. Mereka belajar bagaimana adat ini bukan hanya tentang kesedihan, tapi juga bentuk penghormatan terakhir kepada orang yang sudah meninggal dengan penuh kehormatan. Satu jam kemudian mereka berempat izin pulang karena waktu sudah mau sore. Mereka pulang ke rumah masing-masing.

Seminggu Kemudian ….

Di sekolah, guru mereka, Ibu Duma, meminta murid untuk menceritakan pengalaman selama seminggu terakhir. Cleo pun maju dan menceritakan tentang pengalaman mengikuti adat kematian Saur Matua di rumah Miska.

“Saya belajar bahwa adat Batak punya cara tersendiri untuk menghormati orang yang meninggal. Kalau sudah tua dan semua anaknya sudah menikah, disebut Saur Matua. Bukan hanya sedih, tapi juga ada rasa syukur karena hidupnya dianggap lengkap. Kami juga lihat ada gondang, tortor, dan semua orang pakai ulos.”

Ibu Duma tersenyum bangga. “Bagus sekali, Cleo. Adat seperti ini penting untuk dijaga dan diwariskan. Karena dari adat, kita belajar nilai-nilai kehidupan, kebersamaan, dan rasa hormat pada orang tua.”

Waktu sudah menunjukkan waktu pulang semua siswa meninggalkan sekolah, Cleo dan ketiga temannya pulang bersama. Setelah pulang sekolah Cleo membantu mamanya di ladang sampai sore. 

Malam pun tiba, Cleo duduk di beranda rumah sambil memandang Danau Toba. Ia bercerita pada bapaknya tentang pengalaman dan pelajaran yang ia dapat dari acara Saur Matua itu.

“Pak, aku jadi makin bangga jadi anak Batak. Ternyata adat kita penuh makna ya,” ungkap Cleo dengan mata yang berbinar.

Bapaknya tersenyum dan mengelus kepala Cleo. “Iya, Boru. Adat itu bagian dari jati diri kita. Kelak kamu juga harus bisa meneruskannya.”

Cleo mengangguk mantap. Angin danau menyapa wajahnya. Dalam hati, ia berjanji untuk terus menjaga adat dan nilai-nilai baik yang ia pelajari, dan kelak menjadi kebanggaan keluarga, sama seperti Opung Miska yang dihormati di akhir hidupnya. 

TAMAT

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *