
“Ketika sosok mistis dari masa lalu kembali ke kampung yang melupakan janjinya, rahasia lama pun bangkit membawa peringatan”.
Di ujung senja, ketika matahari karam di balik pohon kemenyan dan angin dari Selat Malaka menyusup lewat celah-celah anyaman dinding rumah, Mak Wati duduk di tangga kayu rumah panggungnya. Tangannya tak henti menggiling daun sirih dengan kapur, gambir, dan sedikit pinang. Suara burung murai berkicau dari balik rimbun pohon rambutan yang berbuah lebat, seolah tahu bahwa malam ini, ada cerita lama yang ingin keluar dari lipatan waktu.
Di dapur, aroma kayu bakar dan sambal belacan menggantung di udara. Lampu minyak bergoyang pelan tertiup angin, membuat bayang-bayang menari di dinding bambu. Dari kejauhan, suara beduk magrib baru saja reda.
“Bulan ini lutung turun ke kampung, cucu,” kata Mak Wati, menggigit sirihnya sambil menatap Rafi yang baru saja pulang dari Medan membawa sepatu mahal dan bau kota.
“Lutung apa, Mak? Mana ada lutung di Langkat,” jawab Rafi sembari memainkan ponselnya. Layarnya penuh notifikasi, tapi tak satu pun membuatnya benar-benar hadir.
Mak Wati tertawa kecil, kering seperti daun tua. “Lutung ini bukan binatang. Ini orang. Manusia.”
Rafi menaikkan alis. Pandangannya sesaat tertuju pada Mak Wati, lalu kembali pada layar ponsel. Ia tak tahu bahwa malam ini, ia sedang duduk di ambang antara masa kini dan masa silam yang tak sepenuhnya mati.
Mak Wati meludah ke tanah, lalu berkata pelan, “Namanya Andak Sulung. Dulu, sebelum negeri ini punya listrik dan jalan aspal, dia yang jaga hutan di batas kampung. Tapi bukan jaga biasa, dia bisa bicara dengan pohon dan tahu isi hati harimau. Orang bilang dia lutung karena loncatannya tinggi, matanya hitam kelam, dan rambutnya tak pernah dipotong sejak lahir. Tapi dia Melayu, cucu. Darahnya darah kita.”
“Mak, jangan buat cerita kayak film Marvel lah. Sekarang zaman lain. Orang kampung aja udah pakai Wi-Fi,” kata Rafi sambil tertawa kecil. Namun tawanya hambar. Ada sesuatu di nada suara Mak Wati yang menggores sedikit rasa takut di dadanya.
Mak Wati memandangnya dengan mata yang pelan-pelan jadi dingin. “Kau pikir ini cerita buat main-main? Tiga malam lalu, Pak Imam lihat bayangan hitam di atas surau. Hari berikutnya, dua ekor kerbau hilang. Tadi pagi, si Lina anak Pak Karim kerasukan. Dan dia bilang, ‘Andak Sulung datang lagi. Orang kampung sudah lupa janji.’”
Rafi menelan ludah. Ponselnya mendadak tak seru lagi. Ia merasa seperti ditarik mundur ke masa lalu, ke dunia yang tak bisa dijelaskan oleh logika kota. Dunia Mak Wati. Dunia nenek moyangnya.
***
Malam itu, suara anjing menggonggong bersahutan. Tak ada bulan di langit. Udara dingin menusuk sampai ke tulang. Langit mendung, seperti menyimpan rahasia gelap. Rafi berdiri di bawah pohon durian tua dekat kuburan lama, tempat yang dulu sering ia hindari saat kecil.
Ia teringat ucapan Mak Wati: “Kalau kau ingin tahu kebenaran, bawa tanah dari bawah tangga rumah kita dan bakar di tengah simpang tiga kampung. Lutung tak bisa bohong kalau bau tanahnya sendiri.”
Dengan ragu, Rafi menyalakan korek. Tangannya gemetar. Tanah yang dibungkus kain putih dibakar perlahan. Api menyala kecil, lalu asapnya naik, membentuk pusaran aneh di udara. Suara dedaunan mendesis meski tak ada angin.
Dan dalam asap itu, sesosok bayangan muncul.
Hitam. Tinggi. Matanya bersinar merah, rambutnya menjuntai seperti akar beringin, dan di bahunya tergantung kantong kulit rusa. Suaranya berat, seolah berasal dari perut bumi.
“Apa kau cucu Wati?”
Rafi tak bisa menjawab. Tapi anggukan kecil cukup.
“Kampung ini sudah lupa bahwa aku titip satu pesan pada datukmu: jangan biarkan sungai ini mati. Jangan tebang pohon jambu kelubi di pinggir hutan, karena di sanalah roh penunggu duduk menunggu kabar. Tapi sekarang sungai jadi kubangan limbah. Pohon kelubi ditebang, dijual buat proyek jalan. Kau tahu apa yang terjadi kalau roh penunggu pindah tempat? Bencana. Tapi aku bukan pembawa bencana. Aku cuma utusan, dan waktuku hampir habis.”
Bayangan itu lenyap secepat asap terbawa angin. Rafi terduduk. Dadanya sesak. Malam terasa terlalu panjang. Dan untuk pertama kalinya sejak ia kembali ke kampung, ia merasa asing di tanah tempat ia dilahirkan.
***
Pagi harinya, kampung gempar.
Sungai yang selama ini keruh berubah jadi merah seperti darah. Ikan mengambang. Bau busuk menyebar hingga ke jalan utama. Anak-anak menangis. Orang-orang saling memandang dengan wajah pucat. Pak Lurah turun langsung, tapi hanya bisa berdiri di tepi sungai, menggeleng pelan.
Sementara itu, Mak Wati hanya duduk di tangganya, mengunyah sirih dengan tenang. Ia menatap langit yang diliputi awan kelabu, lalu berbisik:
“Lutung sudah kembali. Sekarang giliran kita menebus lupa.”
Dan di sela desir angin pagi, terdengar suara murai berkicau lagi tapi kali ini, nadanya bukan ceria. Nadanya seperti ratapan. Atau mungkin peringatan.
TAMAT