
“Inang, jangan tinggalkan saya” Teriak seorang anak kecil dengan tubuhnya yang hampir tenggelam dalam genangan air yang sangat tinggi.
Keadaan di sana hujan deras, awan mengempal sangat hitam, kilat petir bersaut-sautan, angin bertiup sangat kencang semua orang ketakutan berbondong-bondong lari demi menyelamatkan diri sendiri. Mereka berpikir ini adalah akhir dari kehidupan semua makhluk di muka bumi ini, tetapi tidak dengan sosok perempuan berambut hitam panjang dan berparas cantik sedang berenang meratapi rasa sakitnya sambil melihat kekacawan yang terjadi di kampung ini.
***
Tigo terbangun dengan napas tersengal dan tubuh basah oleh keringat dingin. Di kamar kos sempitnya di Jakarta, cahaya dari layar laptop yang tertinggal menyala menerangi wajahnya yang pucat. Mimpi itu lagi, air yang mengamuk, menenggelamkan perkampungan, dan suara jeritan anak kecil yang menggema, mengguncang sanubarinya.
Ia menatap langit-langit kamar, mencoba menenangkan diri. Sudah dua bulan terakhir mimpi itu datang nyaris setiap malam. Sebagai mahasiswa teknik sipil semester akhir, Tigo menolak mentah-mentah untuk mengaitkan mimpinya dengan hal mistis. “Pasti cuma stres skripsi,” gumamnya sambil mengusap wajah.
Namun, semua menjadi lebih rumit saat ia menerima telepon dari seseorang bernama Nai Tiurma.
“Tigo Sihotang?”
“Iya, saya.”
“Saya Bou jauh dari pihak ayahmu. Kakekmu, Opung Samosir telah meninggal. Beliau meninggalkan sesuatu untukmu di kampung halaman kami, dekat Danau Toba.”
Tigo terdiam. Ia bahkan tak pernah tahu nama lengkap kakeknya, apalagi bertemu langsung. Ibunya, yang membesarkannya sendiri di Jakarta, selalu menghindar jika topik keluarga ayah muncul. Tapi anehnya, malam setelah telepon itu, mimpi Tigo menjadi lebih jelas, seorang lelaki tua memanggilnya dari danau yang tenang, “Mulak… Mulakk, Tigo… nungga juppang be tikkim.”
Ia memutuskan. Meski ibunya menolak keras, Tigo membeli tiket pesawat ke Sumatera Utara. Ia tak lagi yakin semuanya hanya kebetulan.
Tigo berdiri di tepi dermaga kecil, memandang luasnya Danau Toba. Angin dingin menyapu wajahnya, membawa aroma tanah dan air yang asing namun akrab.
Desa Sihorbo di pinggiran Danau Toba itu terpencil, dijangkau dengan perjalanan darat berjam-jam dari Bandara Silangit. Namun yang paling membuat Tigo terkejut adalah bagaimana penduduk desa menyambutnya.
“Mauliate ma tu Debata, ro do hape ujungna anak on.” Seorang nenek tua tiba-tiba menghampiri Tigo, memeluk dan mencium pipi Tigo. Terlihat sekali rindu terhadap anaknya yan sudah lama padahal Tigo saja tidak tahu nenek tua ini siapa.
Beberapa warga menyentuh dada lalu menunduk hormat ketika dia lewat, sementara anak-anak memandangi dia dari balik pintu dengan tatapan penasaran.
“Seperti sudah ditunggu,” pikirnya.
Ia dibawa ke rumah tua bergaya Batak tradisional yang tampak lebih seperti museum daripada tempat tinggal. Di sanalah ia bertemu Nai Tiurma, perempuan paruh baya dengan mata tajam namun lembut.
“Ini rumah Opung-mu, dan ini… warisan beliau.”
Nai Tiurma menyerahkan kotak kayu tua dengan ukiran rumit. Di dalamnya ada selembar catatan berbahasa Batak yang telah menguning, jimat berbentuk ikan dari batu hitam, dan peta kuno Danau Toba dengan simbol-simbol misterius.
Malam itu, di bawah lampu redup rumah kayu, Nai Tiurma bercerita.
“Keluarga kita keturunan langsung dari Samosir, anak dalam legenda Danau Toba. Tak hanya dongeng, Tigo. Kami adalah penjaga danau.”
Tigo mengerutkan kening. “Maaf, Bou. Saya nggak percaya hal seperti itu. Legenda itu cuma cerita rakyat, kan? Fiksi.”
Nai Tiurma tidak tersinggung. Ia hanya tersenyum sabar. “Kau pernah bermimpi tentang air menenggelamkan kampung, kan?”
Tigo terdiam.
“Itu bukan mimpi biasa. Itu adalah sebuah kejadian turun temurun dari keturunan lelaki dalam keluarga kita, keturunan Samosir akan mengalaminya di usia dua puluh satu. Sebuah panggilan.”
Peta kuno itu menandai titik-titik di sekitar danau, dan catatan kakek menyebutkan “tempat energi purba harus dijaga agar amarah danau tidak bangkit kembali.”
Tigo semakin bingung. Tapi lebih aneh lagi, keesokan harinya air danau di dekat tempat ia berdiri berubah warna menjadi kehijauan berkilau. Ikan-ikan mendekat, mengitari kakinya seolah mengenal dia.
Tigo masih keras kepala. Ia yakin semua ini bisa dijelaskan. Ia mengambil sampel air, mencoba mengukur kandungan mineral. Ia bahkan mencari sinyal elektromagnetik di sekitar lokasi peta. Namun tak ada penjelasan logis.
Hingga ia menemukan gua tersembunyi, persis seperti di peta. Di dinding gua itu terdapat lukisan purba, seseorang yang berubah menjadi ikan, lalu melahirkan anak manusia. Lukisan itu sudah ada sejak ratusan tahun sebelum legenda Danau Toba pertama kali dicatat.
Dalam perjalanan kembali ke desa, Tigo bertemu dengan Tuan Situmorang, seorang pengusaha properti.
“Kamu ahli teknik, bukan? Lihatlah, saya akan bangun resort terbesar di tepi danau ini. Wisata internasional, peluang ekonomi!”
Namun Tigo sudah melihat peta. Lokasi proyek itu ada tepat di salah satu titik energi yang ditandai.
Malam itu, Tigo berdiri di tepi danau sambil menggenggam jimat ikan. Tiba-tiba tubuhnya limbung, matanya gelap.
Ia melihat kilas balik yang bukan miliknya ratusan tahun lalu, Samosir kecil menangis menyaksikan ibunya tenggelam. Danau itu terbentuk dari air mata dan kutukan. Tigo merasakan emosi sang anak, luka, marah, takut, dan janji untuk menjaga tanah kelahiran.
Mimpi Tigo berubah. Kini ia melihat masa depan, polusi, tumpahan minyak, ikan mati, danau mengering. “Molo sip ho, muruk annon muse Tao ai.” bisik suara kakek dalam mimpinya.
Tigo menyadari titik-titik dalam peta adalah titik energi yang mengatur keseimbangan danau. Ia mulai menyebarkan informasi, menulis artikel ilmiah, menghubungi komunitas pecinta lingkungan.
Namun Tuan Situmorang melaporkannya ke polisi. Tigo dituduh menyebar hoaks dan mengganggu investasi daerah. Ia dijebloskan ke sel desa.
Di situlah ia bertemu Rani, peneliti lingkungan muda dari Jakarta. Ia penasaran dengan data yang dikumpulkan Tigo dan membaca catatan warisan Tigo dengan serius.
“Halo, saya Rani, peneliti lingkungan dari Jakarta. Saya membaca postingan kamu di sosial media mengenai isu ini.”
“Ah, terima kasih Rani. Saya Tigo asal saya juga dari Jakarta, ini adalah peninggalan kakek saya yang harus saya lestarikan.”
“Ini bukan cuma mitos,” kata Rani setelah melihat peta dan korelasinya dengan laporan ekologi modern. “Aku akan bantu.”
Dengan bantuan Rani, mereka berhasil menggalang petisi, menyusun laporan kerusakan ekosistem, dan menyampaikan data ke pihak akademisi serta media lokal.
Namun proyek Situmorang sudah dimulai. Truk masuk, pohon-pohon ditebang, dan tanah digali. Hari itu, getaran aneh mengguncang desa. Air danau mulai mendidih perlahan.
Penduduk panik. Isu “kutukan danau” menyebar cepat.
Tigo sadar, tak cukup dengan data. Ia harus bertindak sebagai penjaga. Malam itu, bersama Rani dan Nai Tiurma, ia mendayung ke tengah danau.
Di titik pusat danau, ia berdiri dalam perahu kecil, mengangkat jimat ikan tinggi-tinggi.
Air di sekelilingnya bersinar. Ia menutup mata dan membiarkan suara leluhurnya masuk. Ia membaca mantra tua dalam catatan kakek, bukan sebagai takhayul, tapi sebagai warisan budaya.
Rani merekam fenomena langka pusaran kecil terbentuk di sekitar perahu, langit terbuka sedikit, dan ikan-ikan membentuk formasi seperti lingkaran pelindung.
Keesokan harinya, data dan rekaman itu viral. Tekanan publik memaksa proyek dihentikan. Tim arkeolog dan ahli lingkungan datang. Bahkan pemerintah daerah mulai mempertimbangkan konservasi titik-titik energi danau.
Tigo tidak kembali ke Jakarta. Ia tinggal di Sihorbo, mendirikan pusat edukasi lingkungan dan budaya lokal.
Rani memilih mendampinginya, menyatukan ilmu dan tradisi. Dalam riset terbaru mereka, ditemukan bahwa legenda-legenda kuno sering mengandung jejak memori ekologis leluhur.
Danau Toba kembali tenang. Tapi Tigo tahu, tugasnya baru dimulai.
Ia kini bukan hanya insinyur, tetapi juga penjaga warisan. Seorang pewaris yang bermimpi bukan karena takut, tapi karena panggilan.
Suatu malam, Rani mengaku pada Tigo bahwa nenek buyutnya berasal dari kampung yang sama, dan sering menyanyikan lagu lama tentang “wanita yang kembali ke air.” Mereka menemukan bahwa nenek buyut Rani berasal dari garis ibu legenda, sosok wanita ikan.
Tigo tersenyum. “Mungkin memang takdir. Keturunan dua dunia, bersatu kembali untuk menjaga danau ini.”