Posted in

Ketika Balai Tua Berbisik

Miftahul Nurjannah Aritonang

Sastra Indonesia B 2022

Angin laut dari pesisir Kuala Tanjung mengantar harum asin dan nyanyian dedaunan kelapa setiap pagi. Matahari naik perlahan dari balik bukit, menyingkap wajah-wajah rumah panggung yang menghadap ke selat. Di tengah kampung, berdirilah sebuah bangunan tua yang dulu disebut orang sebagai Balai. Ia bukan sekadar tempat berkumpul. Dahulu, di sanalah para tetua kampung bermusyawarah, menyusun adat, dan menenun benang-benang keputusan yang mengikat seluruh warga. Kini, gentingnya nyaris habis. Dinding papan berderik setiap disentuh angin, dan dari mulut ke mulut, namanya berubah dari pusat adat menjadi pusat cerita seram. Banyak yang berkata, tiap malam Jumat, terdengar suara tangis perempuan dan langkah kaki yang tidak pernah keluar. Tidak ada yang berani mendekat. Bahkan anak-anak kampung memilih memutar arah jika harus melewati balai setelah senja.

Andi, Darman, dan Iskandar telah tumbuh bersama di kampung itu. Ketiganya bersahabat sejak kecil, melewati hujan dan panas, bermain di pantai, menyelam di sungai, dan mencoret-coret papan sekolah dengan impian-impian kecil. Mereka kini telah menginjak usia remaja, usia di mana keberanian lebih dulu datang sebelum pertimbangan. Di antara mereka, Andi dikenal tenang dan dalam, seperti laut yang menyembunyikan gelombang. Darman, si cerewet yang selalu berbicara sebelum berpikir. Sedangkan Iskandar, penyeimbang yang bijak, meski sering diliputi keraguan. Pada suatu sore menjelang malam Jumat, mereka duduk bertiga di pangkal pohon mangga dekat pelabuhan tua.

“kau percayo sama cerito balai tu?” tanya Iskandar, menggigit roti kelapa yang dibelinya dari warung Wak Nah.

“Entahlah,” jawab Andi, menatap ke arah bangunan tua yang siluetnya menghitam di kejauhan. “Tapi di sana kayak ado orang yang memanggil.”

“Kalau emang macamtu, kita masuk malam ni,” ujar Darman sambil tertawa kecil, meski matanya menyiratkan keraguan.

“Malam ini? Hah! Usoh menjelengeh kau, Darman” Iskandar memukul pelan bahu kawannya.

“Betollah. Tapi kita bertigo, yo? Biar kalau ada hantu, dia bingung mau ganggu siapo dulu.”

Langit malam itu tertutup awan. Bulan menyembunyikan wajahnya. Hanya bintang-bintang kecil yang berkelip, seperti mata-mata tua yang mengintip dari balik langit. Mereka berjalan dengan senter kecil, menelusuri jalan tanah menuju balai. Angin malam membawa bunyi dedaunan seperti bisikan. Balai itu berdiri sunyi di tepi sungai, dikelilingi semak yang mulai meninggi.

Darman melangkah paling depan. “Assalamualaikum, kalau ada olang jawablah, Kalau tak ado masuk aja kami ni ya.”

Langkah pertama menggetarkan lantai kayu yang rapuh. Setiap bunyi derit seperti mengadukan rahasia masa lalu. Di dalam, suasana lebih sunyi daripada malam itu sendiri. Senter Iskandar menyapu sudut-sudut ruangan. Seekor kucing putih muncul di atas balok kayu, menatap mereka dengan mata kuning yang bersinar. Ia melompat ke gelap, menghilang seolah bukan makhluk biasa.

“Itu bukan kucing biaso,” bisik Iskandar.

Andi jongkok, mengetuk papan yang sedikit terangkat di sudut ruangan. Papan itu dilepas perlahan, menyingkap sebuah peti kecil.

“Ada barang apa tu di dalam,” katanya.

Di dalam peti, mereka temukan selembar kain batik tua dan kertas lusuh bertuliskan aksara Jawi. Mereka tidak memahami isi tulisan itu. Keesokan paginya, mereka membawa peti itu ke rumah Nek Timah, nenek Andi yang dikenal masih menguasai huruf-huruf lama. Nek Timah membuka kertas perlahan. Wajahnya menegang. “Ini bukan sekadar tulisan. Ini petunjuk lama. Dulu, sebelum balai ini terbengkalai, pernah disembunyikan keris pusaka kampung. Disembunyikan agar tak jatuh ke tangan tamak.”

Petunjuk itu ditulis dalam pantun:

Bunga melur putih diselak daun,

Di balik terang ada bayang-bayang.

Bila kau ingin warisan zaman,

Langkahlah ke gua tanpa terang.

Hari berikutnya, mereka bertiga menyusuri bukit di belakang kampung, mencari gua yang dimaksud. Gua itu tidak besar, mulutnya tersembunyi di balik semak dan akar beringin. Mereka masuk dengan hati-hati. Dalam remang gua, mereka temukan batu besar bertanda ukiran bunga melur. Batu itu digeser perlahan, menyingkap lorong kecil. Di ujung lorong, peti tua menanti. Saat dibuka, peti itu hanya berisi sarung keris dari kain songket. Kosong.

“Main-mainin kita nyo?” keluh Darman.

Di balik sarung, secarik kertas lain ditemukan:

Yang kau cari bukan di sini,

Balai tua tak sekadar panggung sunyi.

Mereka pun kembali ke Balai. Malam mulai turun saat mereka menyelidiki panggung. Andi menemukan engsel tua tersembunyi. Papan dibuka, dan ruang sempit di bawahnya menampakkan isi: keris itu. Bilahnya bersinar lembut, seperti menahan cahaya dalam logam. Saat Andi mengangkatnya, angin berdesir pelan, membawa aroma melur. Dari balik tiang, muncul Wak Andan, tukang becak tua.

“Kalian lulus ujian,” katanya tenang.

“Ujian apa, Wak?” tanya Iskandar.

“Balai ini bukan hanya kayu. tapi ingatan kampung. Dan aku penjagonya. Kami mencari pewaris yang tidak takut pada golap.”

Andi menatap keris. “Apa yang ondak kita buat ni?”

“Jagolah. Dan jangan sampe warisan kito tu ilang.”

Hari-hari berlalu. Balai direnovasi oleh warga. Anak-anak muda kembali berlatih silat dan menari zapin di dalamnya. Tapi bisikan malam tidak hilang. Suatu malam, suara langkah berat terdengar lagi. Ketiganya berlari ke arah balai. Keris di dalam kotak kaca bergetar. Mereka masuk, membawa dupa, pelita, dan daun melur. Cahaya pelita menari-nari di antara bayang. Sosok perempuan berbaju putih muncul perlahan, melayang tanpa suara. Wajahnya kabur, tapi matanya bening.

“Jaga… warisan ini…” katanya.

Andi menggenggam keris. “Kami akan jago. Kami bersumpah.”

Sosok itu menghilang, meninggalkan aroma melur.

Malam itu, mereka terima pesan baru tertulis di balik kaca keris: Siapa menjaga, harus siap berkorban.

Balaipun kembali hidup. Bukan lagi sebagai kisah seram, tapi pusat budaya dan harapan. Tiga sahabat itu tidak lagi disebut pemburu hantu, melainkan penjaga pusaka.

“Selama kita bersama, warisan ini akan tetap bernyawa,” kata Andi suatu malam.

Di luar, angin laut berembus pelan. Balai tua tidak lagi berbisik tentang takut, melainkan tentang keberanian, persahabatan, dan cinta pada tanah yang melahirkan mereka.

TAMAT

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *